Saturday, 2 March 2013

Angklung

Angklung Disahkan UNESCO Sebagai Warisan Budaya Dunia



BANDUNG, (PRLM).- Gubernur Jawa Barat menyambut gembira ketika mengetahui alat musik angklung sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Alat musik angklung diakui sebagai "The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity" pada sidang ke-5 Inter-Governmental Committee UNESCO di Nairobi, Kenya, Selasa (16/11) waktu setempat.

“Alhamdulillah, senang sekaligus bangga. Angklung yang merupakan kebudayaan asli kita bisa dilestarikan oleh dunia. Tentunya ini akan menjadi perhatian agar angklung terus berkembang,” kata Gubernur, di Kota Bandung, Kamis (18/11). Dia mengatakan, kewajiban kita setelah ditetapkannya angklung sebagai budaya dunia adalah memelihara dan melestarikannya. “Misalnya kita lestarikan dengan regenerasi tranformasi budaya, dan menghidupkan angklung di mana-mana seperti di sekolah, pertemuan, pokoknya di mana pun harus ada angklung,” tuturnya.



Untuk lebih mengembangkan lagi alat musik angklung, menurut Gubernur, pihaknya akan menampilkan angklung di Washington DC, Amerika Serikat, pada Mei Tahun 2011. “Kita diundang Duta Besar Amerika Serikat untuk melakukan perhelatan angklung terbesar di sana. Rencananya dalam performa tersebut selain menampilkan angklung, seluruh peserta yang hadir juga akan diajarkan bermain angklung,” tuturnya.
Heryawan menambahkan, pihaknya juga akan turut memperjuangkan agar segera dibentuk persatuan angklung baik di tingkat nasional maupun internasional. ”Kita akan segera bentuk persatuan angklung tingkat internasional agar angklung bisa tersosialisasikan kepada dunia, dengan tema 'how to play angklung'. Langkah ini merupakan bentuk transformasi budaya dari Jawa Barat untuk dunia,” katanya.

Ketika ditanya mengenai dukungan dana pemerintah untuk mengembangkan angklung, menurut dia, secara otomatis masalah ini merupakan bagian dari pengembangan Dinas Pariwisata Jabar. “Mengenai angklung dijadikan pelajaran di sekolah, bisa saja dilakukan. Masalah ini sudah masuk tataran teknis, ada mekanisme yang harus dilalui," tuturnya.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar Herdiwan Iing Suranta mengatakan, alat musik bambu yang menjadi ikon Jawa Barat itu diputuskan menjadi warisan budaya dunia setelah lolos pada sesi evaluasi nominasi untuk Inskripsi 2010 tentang Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity yang sidangnya dilangsungkan di Nairobi, Kenya, Selasa (16/11).Keputusan itu lahir tepatnya pada sidang kelima Inter-Governmental Committee.



”Saya mendapat kabar dari Kedutaan besar RI untuk UNESCO pada hari Selasa (16/11) lalu pukul 16.20 waktu Kenya (pukul 20.20 WIB), bahwa dalam sidang itu angklung resmi diputuskan sebagai warisan budaya dunia. Tentu saya yang paling bangga mendengar hal tersebut,” katanya. Herdiwan mengajak kepada seluruh warga masyarakat Jabar untuk mensyukuri momen itu. ”Kita ucapkan syukur bahwa kebudayaan kita memang kelas dunia. Sehingga jangan sia-siakan hal itu dan kita tarik makna tersebut yang mengindikasikan bahwa bukan hanya angklung yang hebat, tetapi seni budaya Jabar semua hebat,” katanya.

ANGKLUNG OTOMATISSeorang programer komputer mengoperasikan alat musik angklung yang telah diprogram dengan microcontroller, di Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Surabaya, Jumat (9/10). Angklung otomatis yang merupakan tugas akhir mahasiswa S-1 STIKOM jurusan Sistem Komputer, Kadek Kertayasa ini dapat bergerak sendiri menghasilkan irama musik tanpa memerlukan banyak orang untuk memainkannya.

Angklung is a renowned musical instrument made of bamboo and its originated is West Java, Indonesia. In the early days, music played an essential part of ceremonial activities, especially in the harvest times. The sound of bamboos is believed will catch the attention of the goddess Sri – who will bring fertility to the plantation, and pass the joy and happiness for mankind.
The oldest Angklung in history that still exist is called Angklung Gubrag made in Jasinga, Bogor, and has reached 400 years of age. Nowadays, some of those older Angklung remain in Sri Baduga Museum, Bandung.
As the time flown by, Angklung is not only recognized throughout Indonesia, also, spreading to other Asian countries. In the late of 20th century, Daeng Soetigna created Angklung based on diatonic tone scale. Ever since then, Angklung has been used in entertainment business as well it is even able to play diverse genres of music. And In 1966, Udjo Ngalagena a student of Mr. Daeng Soetigna developed Angklung based on traditional Sundanese tone scale Salendro, Pelog and Madenda.
Current days, many contemporary and young musicians compose music through the brilliant sound of bamboo.
Definition
The word angklung taken from the way the instrument played and the sound that creates. The word it self come from sundanesse word “angkleung-angkleungan”. It refers to the movement of angklung player. And the sound of “klung” that produced. In linguistic term, angklung came from the word “angka” = tone, and “Lung” = broken. So Angklung refers to the broken tone, or uncompleted tone
Traditional Angklung in Indonesia
Angklung Buhun Phase (Aprrox 6 Century – 15 C)
Angklung Buhun (400 AD)
The spread of traditional Angklung by Sundanese Empire through diplomatic relation since 600 AD made Angklung famous outside Java, like Bali, Sumatera and Kalimantan . Angklung Buhun is a term of Angklung that hasn’t got any influence from any other culture elements [1]. Angklung Buhun used the pitch of Carang (Salendro) and Kerep (Pelog). Internationally, we call it pentatonic.. The head function of Angklung Buhun is a medium of farming ceremony (planting time and harvest time) It is believed that Angklung voice can make Dewi Sri (Goddess of rice crop) come to the earth that would give people blessing. The players of Angklung Buhun were only 9 males of above forty years old.
Angklung Badeng Phase ( 15 Century – 19 Century )
In 15th century, islam developed rapidly in Indonesia. art and culture, including Angklung, were the fast methods in spreading Islam . In 15th century, in Sanding Malangbong, Garut regency, Angklung art developed as a medium of spreading Islam .
Angklung Modern phase
Angklung Pa Daeng (1938 – now)
Daeng Soetigna first transform Indonesian Angklung from traditional pentatonic tone scale, become Diantonic Cromatic Tone Scale. The function of the Angklung is for education and enterntainment porpuses. He Simplify the shape of the angklung. A full set contain : angklung melody, angklung accompanigment, Cuk and Angklung Bass
Angklung Pentatonic Udjo Ngalagena (1970 –now)
The rapid development of Pa Daeng Angklung (modern) in the late 60’s, have two different effect. In one side, it increase the apresiation and awareness the people on angklung. But in other hand, it slowly reduce the growth of traditional angklung. Udjo Ngalagena developed new style of pentatonic traditional angklung and also develop a new tone scale in angklung called madenda. It enrich the traditional tone scale. Nowadays, Sundanese Angklung tone scale not only played in pelog and salendro, but also in madenda. Udjo’s inovation on traditional angklung, become one of the solution in preserving the traditional Sundanesse Angklung.

Daeng Soetigna’s Angklung
Daeng Soetigna was the person who changed Angklung with Pentatonic scale into Chromatic diatonic; while Udjo Ngalagena was the person who introduce Angklung with his studio (Saung Angklung Udjo) actively to the whole world. Therefore, each of them got his own sobriquet.
Angklung Development In Indonesia
Magic of Angklung
Other things which lead to the development of meaningful values in music education are:
* Increasing awareness on music
* Emerging music sense
* Developing rhythm sense, melody and harmony, etc

The other important things of Angklung are:
* Intellectual/intelligent development
* Creativity-discipline
* Emotional and expressions channel in playing music happily
* Practice coordinating body movement when following music rhythm in terms of psychomotor nerve development
* Some health centres in other country have proved through their scientific findings that Angklung has been a health therapy medium
* Furthermore, it is expected that traditional arts be able to stimulate idealism and interests of young generation on the existence of Sundanese traditional arts/music. In addition to this, it is further hoped that young generations also get interested in preserving natural environment
All stated previously are called the ‘Magic of Angklung’.

Angklung and Character Building
From its enchantment and appeal, Angklung has a good effect because of its real function: by the art of Angklung, good values may grow, especially in character building, such as: Cooperatio, Cooperativeness, Discipline, Accuracy, Agility, Responsibility, Etc

Further Development of Indonesia Angklung
Angklung Industrial Development
Approximately there are about 200 group of Angklung maker in Indonesia, mostly live in Java
The biggest angklung Factory is Saung Angklung Udjo, produce approximatelly 17.600 pcs/month . Due to Indonesian government regulacy and new inovation of Indonesian artist in angklung, the industry growing rapidly. The demand of angklung for past 3 years increases 30% / year
Angklung Music Development
Angklung in Indonesia absorb to classified society level, and many musical genres. Start from pop, blues, rock, jazz and many other. More and more Indonesian artists creates and innovates through the Angklung. A wishful aimed that the Angklung industry would become the popular music industry such as guitar as examples, would be the Angklung of Indonesia in the future.


angklung Alat musik ASLI Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com--Alat musik angklung segera dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia pada 18 November 2010 mendatang di Nairobi, Kenya.
"Pada 18 November 2010 nanti, angklung akan diresmikan menjadi warisan budaya dunia," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar), Wardiyatmo, di Jakarta, Selasa.
Pengukuhan tersebut akan dilakukan di Nairobi, Kenya, dalam sidang UNESCO, Kamis, 18 November 2010.
Pihaknya telah mengirimkan duta yang dipimpin Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film (NBSF) Kemenbudpar untuk menyaksikan langsung pengukuhan angklung sebagai warisan budaya dunia. "Ke depan, kita targetkan warisan dunia milik Indonesia yang diakui UNESCO akan semakin banyak," katanya.
Pengukuhan angklung oleh badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia itu berarti akan menyusul batik, wayang, dan keris yang sebelumnya telah lebih dahulu dikukuhkan.
Ia mengatakan, pihaknya telah mengupayakan berbagai hal untuk dapat mencatatkan angklung sebagai warisan budaya dunia.
Perjuangan tersebut telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu hingga akhirnya angklung akan segera diakui masuk dalam "Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity".
Pihaknya mencatat warisan dunia sampai saat ini sudah sebanyak 890 situs dengan 689 berupa warisan budaya, 176 warisan alam, dan 25 campuran antara warisan budaya dan warisan alam. "Di antara jumlah itu, warisan dunia yang dimiliki Indonesia sudah sebanyak 11 buah," katanya.
Dari 11 warisan dunia yang dimiliki Indonesia sebanyak 4 di antaranya berupa alam, 3 cagar budaya, dan 4 karya budaya takbenda.
Untuk warisan dunia berupa alam terdiri dari Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Taman Nasional Lorentz, Papua, dan hutan tropis Sumatera (Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan).
Sementara untuk cagar alam yakni Kompleks Candi Borobudur yang diakui UNESCO sejak 1991, Kompleks Candi Prambanan (1991), dan situs prasejarah Sangiran.
Karya budaya takbenda milik Indonesia yang sudah dan akan diakui UNESCO yakni wayang (masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity, 2003), keris (masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity, 2005), batik (representatif list of the intangible cultural heritage of humanity, 2009), dan angklung (representative list of the intangible cultural heritage of humanity, 18 November 2010).


Spoiler for TENTANG ANGKLUNG:
Angklung dibunyikan dg cara digoyang-goyangkan adalah termasuk golongan lonceng. Seperti lonceng, angklung bersifat khidmat. Di beberapa tempat di Bali angklung biasa digunakan khusus dalam upacara Pengaben (pembakaran mayat). Namun dewasa ini hal itu terbatas pada kelomopok penduduk yang tidak memiliki angklung metalopon, seperti penduduk Banjar Tegalingah, Karangasem.

Orang Baduy di Kanekes , Banten Selatan, mempergunakan angklung sebagai alat musik upacara pada waktu menjelang menanam padi di ladang, sebutannya Angklung Buhun. Angklung Gubrag di kampong Jati, Serang, dianggap alat musik sacral, untuk mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah.

Seperti halnya di Kanekes, di sekitar Kulon Progo terdapat angklung yang digunakan dalam upacara Bersih Desa, permulaan musim menggarap sawah, disebut Angklung Krumpyung. Demikian pula di desa Ringin Anca dan Karangpatian, Ponorogo, upaca Bersih Desa biasa diiringi Orkes Angklung.

Menurut keterangan, dahulu di beberapa tempat di Kalimantan Barat terdapat angklung, yang contohnya tersimpan dalam Museum Insdisch Institut di Negeri Belanda, tercatat dalam katalogus No. 1297/1-2 dan 1767/1-3.

Di Kalimanatan Selatan sekarang masih terdapat angklung tradisional yang dikenal dengan sebutan Kurung-kurung, biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan Kuda Gepang (Sie) yang bentuk dan cara pertunjukannya hampir sama dengan Kuda Kepang di Jawa Tengah.

Di Lampung pada masa-masa yang lalu terdapat pula angklung tradisional, yang contohnya dipamerkadi Museum Leidan, Negeri Belanda dengan katalogus No. 40/58. Namun sekrang sulit untuk mendapatkan keterangan mengenai angklung tradisional di wilayah tersebut, kecuali yang dikembangkan oleh beberapa kelompok transmigran dari Jawa.


Spoiler for Perubahan Fungsi & Kegunaan Angklung:
Melihat cara-cara permainan angklung di Banten selatan dan di beberapa tempat Priangan, demikian pula peranannya dalam pertunjukan Reog Ponorogo dan permainan Kuda Kepang, kemungkinan dipergunakannya angklung sebagai alat musik tidaklah mustahil.

Hal itu dinyatakan oleh beberapa pengamat Belanda, antara lain seorang dengan initial G.J.N., dalam zaman INDIE tahun pertama, No. 21, 22 Agustus 1917 hal.330 tentang angklung di Priangan, dengan tegas mengatakan : “En geen wonder : de angkloeng is militaire muziek” (“dan tidak mengherankan: angklung memang musik militer”).

Demikian seorang dengan naman samaran “Bianca” dalam majalah de ORIENT No. 52, 24 Desember 1938, tentang angklung sunda antara lain menulis; Over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk karakter, maar het heft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (“pada umumnya musik angklung menggairahkan dan menggembirakan, tetapi juga dapat menimbulakan semangat perjuangan dan mistik”).

Demikianlah pengaruh musik angklung pada pendukungnya di Priangan pada masa lalu. Maka tidak mengherankan bila pada pertengahan abad ke XIX, ketika di Pasundan sedang giat-giatnya dilaksanakan apa yang disebut “Cultuurstelsel” atau peraturan tanam paksa oleh pemerintah Hindia Belanda diadakan larangan terhadap permainan angklung.

Alasan larangan itu, karena menurut pengamatan beberapa pembesar Belanda Kolonial, permainan angklung berpengaruh terhadap semangat perlawanan rakyat atas kekuasaan pemerintah jajahan dalam larangan itu dikecualikan permainan angklung anak-anak dan pengemis, mungkin karena dianggap tidak menimbulakan keresahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintah jajahan Belanda.

Sejak itulah angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upacara yang dianggap sakral, Setelah larangan dicabut, yaitu sejak dihapusnya sistem tanam paksa, angklung tidak banyak lagi pengaruhnya bagi penduduk, kecuali sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan rakyat seperti reog atau ogel.

Sejak tahun 1938 Daeng Soetigna dengan tekun mengadakan eksperimen-eksperimen agar angklung yang diketahui sebagai salah satu unsur seni budaya bangsanya dan merupakan warisan yang pantas dipupuk dan dikembangkan, mendapat tempat yang layak di kalangan masyarakat luas. Setelah lama dipelajari dari berbagai segi, Pak Daeng sampai pada kesimpulan, bahwa angklung dapat cepat popular harus disesuaikan dengan selera generasi muda, yaitu diubah tangga nadanya dari pentatonis menjadi diatonis. Setelah mengalami berbagai hambatan dan kegagalan, akhirnya usaha inovator itu berhasil dengan memuaskan.

Angklung kembali mendapat tempat yang layak di masyarakat. Bahkan mendapat reputasi internasional, sebagaimana terbukti dari pernyataan seorang musikus besar Australia IGOR HMEL NITSKY pada tahun 1955, sebagai berikut :

“It is with pride and admiration that take this opportunity of placing on paper my surprise delight that Daeng Soetigna has found such a practical and fasginating method af teaching the youth of Indonesia how to a appreciate and play their own historic instrument, the angklung. His original idea of enabling young children to read and understand that tonal structure by visual and practical demonstration, is to say the least, wonderful. This extraordinarily talented young teacher has also found a way in which to use is national idion to bring European music to the people of his country. The great value in giving the players the rare combination of pleasure and discipline-i.e. good teamwork which would give a unique satisfaction both to performers and audience. I doubt whether Australia is the ideal place in which he should study further, and feel that his development would be best nurtured by study and research in European contries, and I sincerely hope that he will have the opportunity of so doing, and thus be in the position to further enrich his countrymen in this practical, educational, cultural and national interest”

Dengan kreasi Pak Daeng itu ternyata kemudian, bahwa angklung dapat dijadikan sarana pendidikan untuk mempertebal jiwa gotong royong, kerjasama, disiplin, kecermatan, ketangkasan, tanggungjawab dan sebagainya, disamping pemupu rasa musikalis.

Berdasarkan hal-hal itulah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memandang perlu untuk menetapkannya sebagai alat pendidikan musik di sekolah, dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Agustus 1968, No.082/1968 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan:

1. Menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

2. Menugaskan Direktur Jenderal Kebudayaan untuk mengusahakan agar angklung dapat ditetapkan sebagai alat pendidikan musik tidak hanya dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Demikian, angklung seolah-olah melambangkan pasang surutnya sejarah bangsa Indonesia. Ketika bangsa Indonesia berada dalam telapak kaki penjajah, angklung hanya menjadi alat musik pengemis. Dengan dicapainya kemerdekaan, kembali angklung menjadi alat musik yang dibanggakan.



Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.

Asal-usul Angklung

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Angklung Kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Dogdog Lojor

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.

Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Pameran Purwa Rupa Angklung Indonesia

angklung.jpg_thumbJakarta, Seruu.comBentara Budaya Jakarta akan menggelar Pameran Purwa Rupa Angklung Indonesia pada 19-27 November 2010. Sementara peresmiannya akan dilaksanakan besok, Kamis (18/11). Penyelenggaraan kegiatan ini menandai dikukuhkannya seni musik angklung sebagai warisan budaya Indonesia oleh UNESCO yang jatuh pada tanggal 15 November 2010.
Menganal Angklung
Alat musik angklung merupakan rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu yang berasal dari Jawa Barat. Jenis bambu yang dipakai biasanya menggunakan awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Setiap nada yang dihasilkan dari bunyi tabung bambu yang berbentuk wilahan dari ukuran kecil, sedang, hingga besar, akan membentuk irama lagu yang mengasyikkan.
Asal muasal terciptanya musik angklung tak bisa dilepaskan dari pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi sebagai makanan pokok, yang melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi, pemberi kehidupan. Kendati muncul pertamakali di daerah Jawa Barat, angklung dalam perkembangannya, berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera.
Sejarah Angklung
angklung_daeng2Pameran Purwa Rupa Angklung Indonesia kali ini akan menampilkan sejarah munculnya angklung menjadi tiga bagian yaitu Bagian Angklung Tradisi, Angklung Masa Kini, dan Angklung Masa Depan. Pada bagian Tradisi akan dihadirkan 12 jenis angklung tradisi dari berbagai komunitas adat se-Indonesia. Antara lain memajang angklung berusia lebih dari 200 tahun.
Pada segmen Masa Kini dikenal seorang tokoh yang berjasa besar bagi berkembangnya angklung yaitu Daeng Soetigna yang sejak 1938 mengubah bentuk dan fungsi angklung dari fungsi ritual dengan nada pentatonik, menjadi fungsi pendidikan dengan nada diatonik kromatik.
angklung_udjo-ngalagena-widescreenAngklung peninggalan Daeng yang pertama kali dibuat, akan dipamerkan.

Incoming search terms:



Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.



Asal-usul Angklung

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya:
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.

Angklung





Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Kritik dan Sarannya silakan

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates