Saturday 2 March 2013

alat musik sasando-Makasar

foto kerajinan sasando

MAKASSAR, 8/10 - KERAJINAN SASANDO. Seorang penjaga stan Kupang, NTT, merapikan alat musik tradisional 'sasando' yang dipamerkan pada KTI Expo 2010 di gedung Celebes Covention Center (CCC) Makassar, Jumat (8/10). Pameran yang berlangsung hingga 10 Oktober 2010 tersebut memamerkan sejumlah hasil budaya dan hasil bumi yang dihasilkan oleh provensi-provensi se-Kawasan Timur Indonesia. FOTO ANTARA/GreenLee/YU/10

musik Sasando dari NTT

Pagelaran Malam Seni Budaya Indonesia bertema “Prambanan: the Legend” telah berlangsung dengan meriah di Angel Hall, kampus University of Michigan, Ann Arbor pada tanggal 20 Februari 2010. Acara ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Permias) Michigan atas dukungan Konsulat Jenderal RI di Chicago dan dihadiri oleh sekitar 350 orang penonton yang terdiri dari kalangan akademisi, mahasiswa dan masyarakat asing setempat, Konsul Jenderal RI Chicago beserta Ibu Winnie Bahanadewa dan Konsul Fungsi Pensosbud.

Sebelum acara pertunjukan, para penonton diberikan kesempatan untuk mengunjunngi beberapa stand pameran yang menampilkan barang-barang kerajinan dan kesenian Indonesia dan menikmati  makan malam bersama dengan hidangan berbagai macam makanan khas Indonesia. Makanan tersebut dimasak oleh para mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh studi di Univesity of Michigan, Ann Arbor dibantu oleh beberapa orang masyarakat Indonesia.

Pertunjukan diawali dengan menyanyikan bersama lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Sesuai dengan temanya, pagelaran seni budaya ini menampilkan drama-tari yang menceritakan legenda rakyat Jawa Tengah tentang latar belakang didirikannya Candi Prambanan, salah satu candi terkenal di Jawa Tengah yang merupakan salah satu atraksi pariwisata yang menarik di Indonesia. Dalam drama-tari ini digambarkan dua sisi kehidupan di masa lalu dan masa kini yang dikaitkan dengan sejarah legenda terbentuknya candi Prambanan, yaitu kisah cinta sepasang mahasiswa di University of Michigan yang mirip dengan cerita kisah lamaran  Putra Raja Pengging, Bandung Bondowoso kepada Putri Raja Prambanan yang terkenal cantik, Loro Jonggrang. Bedanya, kisah cinta sepasang mahasiswa tersebut berakhir bahagia dengan diterimanya seribu lilin oleh sang dara. Sebaliknya, kisah legenda candi Prambanan berakhir menyedihkan dengan dikutuknya Putri Raja Loro Jonggrang menjadi patung batu oleh Putra Raja Bondowoso karena lamarannya tetap ditolak setelah berhasil membangun 1000 candi dalam satu malam dengan bantuan para jin piaraannya.

Dalam drama-tari ini ditampilkan berbagai tarian tradisional Indonesia yang dikaitkan dengan jalan cerita, antara lain Tari Saman, tari Yapong, tari Sapu Tangan, tari Manuk Rawa, tari Topeng, Pencak Silat, dan permainan musik tradisional Angklung yang dibawakan oleh para mahasiswa Indonesia dan mahasiwa setempat, masyarakat Indonesia dan para penari dari KJRI Chicago. Secara khusus ditampilkan pula permainan alat musik tradisional Sasando yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur oleh Azalea Ayuningtyas, mahasiswi cantik yang memerankan tokoh Putri Raja Loro Jonggrang.

Konjen RI Chicago, Benny Bahanadewa dalam sambutannya antara lain menyampaikan penghargannya kepada para mahasiswa yang tergabung dalam Permias Michigan atas upaya mereka mempromosikan Indonesia ditengah kesibukan menempuh studi, juga kepada pimpinan Universitas Michigan yang telah memfasilitasi acara ini.  Konjen juga memberikan gambaran sekilas tentang keindahan dan keunikan budaya Indonesia kepada para penonton yang mayoritas adalah masyarakat AS di Michigan dan mengimbau mereka untuk mengunjungi Indonesia.

Ketua Permias Michigan, Felix V. Wangsawihardja dalam sambutannya menyampaikan terima kasih atas dukungan KJRI Chicago, Universitas Michigan, rekan mahasiswa dan masyarakat setempat pada acara pagelaran malam seni budaya Indonesia ini.  

KJRI Chicago senantiasa mendukung kegiatan dan peran mahasiswa dan masyarakat Indonesia sebagai stake holders dalam diplomasi publik, khususnya dalam upaya meningkatkan citra Indonesia di wilayah kerja. (sumber: KJRI Chicago).




Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7. Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando yang ini dari

Alat Musik Sasando

Alkisah, ada seorang pemuda bernama Sangguana di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Suatu hari ia menggembala di padang sabana. Ketika merasa lelah dan ngantuk, ia pun jatuh tertidur di bawah sebuah pohon lontar. Dalam tidur, ia bermimpi memainkan sebuah alat musik misterius. Ketika terbangun ia masih mengingat nada-nada yang dimainkannya. Saat kembali tidur, anehnya ia kembali memimpikan hal yang sama. Akhirnya, berdasarkan mimpinya itu Sangguana memutuskan membuat sebuah alat musik dari daun lontar dengan senar-senar di tengahnya.

Alat musik yang mirip harpa itu sekarang dikenal sebagai sasando. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan
di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando..


Spoiler for buka:



Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Bae Sonde Bae/Tanah Timor Lebe Bae... senandung itulah yang dinyanyikan Jeremias Ougust Pah (70), seniman senior Indonesia (maestro) sasando, alat musik tradisional khas Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika SH mengunjungi rumahnya di Jalan Timor Raya Kilometer 22 Desa Oebelo, Kabupaten Kupang Tengah, Kamis (31/7) siang.

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 28 Desember 2007 lalu, memberikan penghargaan sebagai seniman senior Indonesia (maestro) yang melestarikan dan mengembangkan seni tradisional musik sasando kepada Jeremias Ougust Pah.

Penghargaan dari pemerintah itu dibingkai dan terpampang jelas di teras depan rumah Jeremias. Teras depan rumahnya yang terbuat dari batang nipah dan bambu serta berlantai semen itulah sebuah ruang pamer sasando. Tiilangga (topi dari daun lontar), gong, gendang kecil dari tempurung, serta tenun ikat khas Rote Ndao tersaji di sana, menyambut setiap pengunjung yang datang.

“Saya ingin musik sasando itu tetap lestari di kalangan generasi muda di Tanah Timor,” demikian impian Jeremias yang langsung mengenakan pakaian adat serta tak ketinggalan tiilangga. Tak lama kemudian Jeremias mengajak SH memperlihatkan cara membuat alat musik sasando.

Di samping rumah Jeremias terdapat sebuah ruangan kecil berukuran tidak lebih dari 6 x 10 meter persegi yang dijadikan tempat pembuatan sasando dan cendera mata sasando yang bisa dipesan konsumen.
“Di ruangan kecil ini saya dan istri saya, Dorce Pah Ndoen, mencoba melestarikan musik sasando sekaligus mengembangkan kerajinan tenun ikat khas Rote Ndao. Saya berharap apa yang saya lakukan bersama istri saya ini mampu melestarikan alat musik ini sampai selamanya,” tuturnya.

Saat ditanya mengapa dia membuat pernyataan demikian, pria kelahiran Rote, 22 Oktober itu dengan wajah agak berkerut mengaku kini banyak generasi muda Timor yang mulai bosan mendengarkan suara lengkingan sasando. Di samping itu lagu-lagu yang dimainkan dengan alat musik tradisional ini hanya sebatas lagu-lagu daerah khas NTT. “Generasi muda Timor lebih suka lagu yang keras-keras dan dari luar negeri,” katanya.

Belakangan, padahal banyak orang asing sengaja datang ke rumahnya hanya untuk belajar memainkan alat musik sasando itu. “Saya pernah mengajari 15 turis dari Australia yang ingin belajar memainkan sasando. Bahkan, ada orang Jepang namanya Masamu Takashi yang secara khusus datang ke rumah saya hanya untuk belajar sasando,” katanya bersemangat.

Meski demikian, persoalan itu tidak membuat Jeremias berkecil hati. Dengan sisa-sisa kemampuannya karena termakan usia, dia tiada henti terus memperkenalkan musik sasando bagi generasi muda di Tanah Timor. Untuk mengatasi soal jarak lengkingan sasando yang sebelumnya hanya mampu terdengar 10 meter, Jeremias dengan anak kelimanya, Djitron, pada tahun 1996 membuat sasando elektrik.

Bagian pangkal sasando disambungkan kabel listrik ke sound system atau pengeras suara. Yang terjadi kemudian, nada-nada yang dikeluarkan sasando pun dapat diperdengarkan sampai jarak lebih jauh dari sekadar 10 meter.


Dihargai Orang Jepang
Jeremias pun memperkenalkan alat musik sasando hingga ke Yokohama, Jepang, beberapa tahun lalu. Didampingi istrinya, Dorce Pah Ndoen, Jeremias dengan sepuluh jari tangan memperlihatkan kelincahannya memetik senar sasando yang bertuliskan: “Semua yang bernapas memuji Tuhan.”

Sambutan masyarakat Yokohama pun membuat dirinya menitikkan air mata. Itulah pengalaman yang paling berkesan bagi Jeremias. “Kalau orang asing saja menghargai alat musik tradisional ini, seharusnya orang muda di Tanah Timor lebih mencintainya,” ungkapnya dengan berkaca-kaca.

Jeremias mempelajari sasando sejak usia lima tahun. Ia belajar memainkan sasando dari sang ayah, Ougust. Ketika itu, Ougust Pah ditunjuk Raja Rote untuk memainkan alat musik apa saja untuk menghibur tamu di kerajaan. Setelah sang ayah meninggal pada 1972, Jeremias menggantikan peran ayahnya sebagai penerus dan pengembang sasando.

Pada tahun 1985, ia memutuskan pindah ke Kupang dan menetap di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Di tempat ini, ia mulai mengembangkan dan memperkenalkan sasando kepada kalangan luas.

Agar sasando tak punah ditelan masa, Jeremias mengajari anak kelimanya, Djitron Pah. “Saya berharap anak saya itu bisa melanjutkan impian saya agar musik sasando tetap lestari sepanjang massa,” tambahnya.
Ketika SH pamit untuk meneruskan perjalanan, Jeremias mengambil sasandonya dan kembali melantunkan lagu khas Rote dengan lirik berbeda. Begini liriknya:… Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Meski miskin, lapar, dan kering/NTT tetap Lebe Bae..... n

POS KUPANG/ALFRED DAMA FESTIVAL SASANDO




POS KUPANG/ALFRED DAMA
FESTIVAL SASANDO--Para musisi sasando beruji kemampuan dalam memainkan alat musik sasando



DERETAN peserta lomba musik sasando duduk dengan rapi, mulai dari anak-anak hingga dewasa, menunggu saat dimulainnya perlombaan di Aula Rumah Jabatan Gubernur NTT, pertengahan Desember 2009 lalu. Tempat yang biasanya digunakan untuk rapat, seminar atau pertemuan lainnya menjadi tempat Lomba Sasando yang digelar Kementerian Kebudayaan Seni dan Pariwisata RI.

Lomba terbesar dalam skala nasional ini untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Tingginya prestise lomba ini pun memacu para seniman sasando untuk menampilkan yang terbaik. Bahkan festival ini seakan menarik kembali para seniman sasando di berbagai penjuri bumi Flobamora untuk berkumpul dan berkreasi untuk menampilkan yang terbaik bagi NTT.

Perlombaan musik sasando ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa waktu sebelumnya dan digelar di setiap daerah seperti di TTU, Kupang, TTS dan Rote. Namun yang dilakukan saat itu adalah perlombaan musik sasando untuk memperebutkan pila Presiden SBY.

Gagasan untuk menggelar perlombaan ini, berawal dari kunjungan Presiden SBY ke Kupang pada 14 Juni 2009 lalu. Pada saat itu SBY memberi arahan agar masyarakat NTT perlu melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan kesenian tradisional. Niat dan gagasan ini akhirnya diwujudkan dengan beberapa tahapan mulai dari seminar dan perlombaan hingga festival sasando.

Muncul pertanyaan pula, apakah jika tidak ada gagasan itu, kegiatan akbar itu bisa digelar? Festival Musik Sasando Piala Presiden RI yang bertema 'Ku Yakin Sampai di Sana' berlangsung sukses, pada Kamis hingga Minggu (17-20/12/2009).

Sebanyak 300 pemusik sasando yangterlibat dalam kegiatan yang baru pertama di gelar di Kupang ini. Pesertanya adalah dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang, TTS dan TTU, sedangkan dari Rote Ndao tidak sempat hadir karena cuaca buruk.
Puncak kegiatan ini adalah Konser Musik Sasando yang menampilkan perpaduan para musisi sasando dengan Dwiki Darmawan Orkestra di Aula El Tari Kupang, Minggu (20/12/2009).

Festival yang digagas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI bersama Korem 161 Wirasakti Kupang ini menjadi obat kerinduan para pecinta sasando di NTT. Festival ini seperti memanggil dan mengumpulkan kembali para pencinta sasando dari berbagai tempat di NTT untuk bersama memberi citra yang lebih kuat pada musik sasando.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, Ir. Jero Wacik, S.E, mengatakan, Presiden SBY dan dirinya akan terus mendorong agar semua musik tradisional tetap eksis. Upaya itu dilakukan guna menghindari aset-aset budaya dan seni itu dari kepunahan.

Penguasaan kemampuan bermain alat musik ini hanya ada di kalangan tertentu saja tergambar jelas dalam Festival Musik Sasando Piala Presiden kali ini. Tergambar jelas bahwa para juaranya dari keluarga tertentu saja. Mungkin hanya keluarga atau orang tertentu saja yang secara khusus menaruh minat pada musik jenis musik tradisional ini, tapi perlu disadari bila tidak ada pengembangan yang luas pada sasando, maka tidak mustahil suatu saat sasando akan tinggal cerita.

Sebenarnya sasando sudah menjadi ikon NTT sehingga jika orang membicarakan soal sasando maka masyarakat Indonesia langsung tahu, alat musik tersebut berasal dari NTT.

Upaya Pemprop NTT, menjadikan sasando sebagai salah satu bahan ajaran muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah merupakan bentuk terobosan dan patut diberi apresiasi, sebab untuk menjadikan sasando bahan mulok, perlu ada aturan dari pemerintah daerah.

Kondisi yang sama pula harus diterapkan pada pengelola sekolah atau kursus musik, yang pelu menambah mata ajaran sasando. Karena, kemungkinan ada peminat musik ini, tetapi tempat belajar musik ini yang tidak ada.

Karena itu, para pemusik sasando diharapkan memberi ruang kepada siapa saja untuk berniat belajar musik ini. Menjaga agar tetap eksklusif dalam bermusik hanya akan menjadikan sasando kurang berkembang, baik dalam dinamika musik maupun peminatnya. Sasando sendiri sudah kita ketahui, adalah sejenis alat musik petik dengan ruang resonator dari haik (anyaman dari daun lontar) yang sudah terkenal di kalangan masyarakat NTT.

Memang alat musik ini boleh dikatakan unik, karena merupakan salah satu instrument musik petik dengan keunikan ada pada bentuk, cara memainkannya dan juga bahan pembuatannya. Alat musik ini cukup terkenal belakangan ini di tengah-tengah masyarakat, namun pertanyaannya, apakah semua masyarakat NTT mengenal sasando, ataukah semua masyarakat bisa memainkannya. Ataukah jangan sampai suatu saat alat musik ini punah dan masyarakat NTT harus 'berguru' lagi ke daerah lain untuk memainkan sasando yang sebenarnya?.

Sejarah atau asal-usul sasando ini, kita semua hanya peroleh dari ceritra-ceritra secara turun-temurun yang sudah diwariskan secara lisan maupun tulisan, namun yang pasti alat musik ini terdiri dari dua jenis, yaitu sasando gong dan sasando biola.

Perkembangan alat musik ini berjalan terus seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula modifikasi bentuk serta kualitas bunyi dengan pergantian dawai. fifik diganti dengan tulangan daun lontar, kulit bambu berganti senar kawat, senar tunggal diganti dawai rangkap, akustik berkembang pula ke elektronik, sasando gong berkembang ke sasando biola.

Menjadi kebanggan tentu bagi orang Rote dan juga NTT umumnya akan bentuk dan keindahan, bunyi dari sasando yang telah mengalami modifikasi, namun dipihak lain pemain sasando semakin hari semakin berkurang. Tentu menjadi sebuah pertanyaan yang muncul, mengapa pelestarian sasando menjadi menurun atau mengalami hambatan? bahkan sekarang ini pemain sasando biola pun tinggal sedkit saja. Bahkan secara umum jumlah pemain sasando tidak lebih dari 20 orang.

Menyadari akan hal itu, masyarakat NTT umumnya perlu memasyarakatkan dan melestarikan alat musik ini sehingga kekayaan seni budaya dapat dikembangkan serta dipertahankan. keterlibatan semua elemen masyarakat sangat diperlukan dalam melestarikan dan mengembangkan alat musik ini.(yel)

Festival Sasando

SBY Dukung Pergelaran Festival SasandoAlat musik tradisional Sasando
KUPANG -- Presiden Republik Indonesia (RI), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) siap mendukung program kementrian Pariwisata untuk menggelar festival Sasando tingkat nasional memperebutkan piala Presiden.

Sasando adalah salah satu alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Alat musik tersebut terbuat dari daun lontar yang dikeringkan dan diberi tiga helai senar yang dimain membentuk sebuah lagu.

"Saya mendukung kegiatan tersebut, bila perlu festival yang digelar tersebut memperebutkan piala presiden," kata SBY ketika melakukan pertemuan dengan para tokoh adat, agama, masyarakat dan cendekiawan serta alim ulama di Restauran Nelayan Kupang, Minggu malam.

Program tersebut, kata SBY, sudah menjadi agenda dari Depbudpar atas usul Menbudpar Jero Wacik, direncanakan kegiatan tersebut akan digelar pada Desember 2009 ini.

Tujuan dari pergelaran festival Sasando tersebut guna melestarikan budaya bangsa dan negara yang akhir-akhir ini mulai hilang, karena perubahan jaman. "Ini merupakan salah satu bentuk untuk mempertahankan identitas bangsa Indonesia," katanya.

Banyak alat musik tradisional yang punya nilai jual di dunia internasional sudah dilupakan, sehingga perlu dikembangkan kembali untuk menunjukan citra bangsa Indonesia. "Seperti alat musik Sasando. Alat musik ini punya nilai seni dan budaya yang harus dipertahankan oleh bangsa Indonesia," katanya.

Pada kesempatan itu, SBY beserta Ibu Ani Yudhoyono dan rombongan disuguhi petikan alat musik tradisional Sasando yang dimainkan oleh putra-putri NTT. SBY cukup terkesan dengan petikan Sasando yang dimainkan, sehingga memberikan aplaus bagi mereka.

SBY saat itu juga menghimbau kepada masyarakat NTT untuk tetap mempertahankan identitas bangsa di mata dunia internasional. "Kita harus bisa jaga kebinekaan di antara sesama anak bangsa," katanya. - ant/ahi

sejarah sasando




Tak banyak yang tahu musik etnis Sasando ternyata disukai sekelompok penikmat musik khas Indonesia di Australia dan Eropa. Tapi, di Indonesia sendiri, dari 200 juta lebih penduduknya, banyak yang belum paham apa itu musik sasando. Karena itu, dalam rangka memperkenalkan musik tersebut agar lebih dekat dengan rakyat Indonesia, Depbudpar mengggelar festival musik sasando dengan hadiah utama Piala Presiden. Menurut rencana, festival itu akan dilangsungkan Kamis besok, 17 Desember hingga Minggu 20 Desember, di Kupang, NTT.

Anda sudah tahu banyak apa itu musik sasando? Bagi masyarakat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, tempat asal usul musik sasando, musik tersebut sangat dikenal sebagai musik keseharian. Musik itu berbahan baku daun pohon lontar. Di Pulau Rote, pohon lontar pada saat ini bukan saja dijadikan sumber kehidupan karena menghasilkan tuak, sopi, gula lempeng, gula semut, wadah pembungkus tembakau/rokok, tikar, haik, sandal, topi, atap rumah, dan balok bahan bangunan, melainkan lebih dari itu dianggap punya nilai lebih karena daun pohon lontar makin sering dijadikan resonator musik yang dikenal dengan sebutan sasandu atau sasando.

Asal mula alat musik langka itu, menurut banyak tokoh adat di Pulau Rote, telah dikenali sejak Rote menjadi bagian dari daerah kerajaan. Dalam legenda memang muncul banyak versi mengenai sejarah munculnya sasando. Konon, awalnya adalah ketika seorang pemuda bernama Sangguana terdampar di Pulau Ndana saat pergi melaut. Ia dibawa oleh penduduk menghadap raja di istana. Selama tinggal di istana inilah bakat seni yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang hingga sang putri pun terpikat. Ia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah bentuk maupun suaranya.

Diilhami mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang ia beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya, Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan, dan Sangguana menjawab, "Sari Sandu". Alat musik itu pun ia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hitu yang artinya sekali dipetik tujuh dawai bergetar.

Keindahan bunyi sasando mampu menangkap dan mengekspresikan beraneka macam nuansa dan emosi. Karena itu, dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur, sasando adalah alat musik pengiring tari, penghibur keluarga saat berduka, menambah keceriaan saat bersukacita, serta sebagai hiburan pribadi. Kini musik sasando dikenal sebagai alat musik yang menghasilkan melodi terindah dari Pulau Rote.

Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi, tanpa chord (kunci), senar sasando harus dipetik dengan dua tangan, seperti harpa. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan memainkan accord. Ini menjadi keunikan sasando karena seseorang dapat menjadi melodi, bass, dan accord sekaligus.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Melingkar dari atas ke bawah tabung adalah ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) direntangkan dan bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Tabung sasando ini diletakkan dalam sebuah wadah setengah melingkar terbuat dari daun pohon gebang (semacam lontar) yang menjadi tempat resonansi sasando. Hingga kini, semua bahan yang dipakai untuk membuat sasando terbuat dari bahan alami, kecuali senar dari kawat halus.

Jenis-jenis sasando dibedakan dari jumlah senarnya, yaitu sasando engkel (dengan 28 dawai), sasando dobel (dengan 56 dawai, atau 84 dawai), sasando gong atau sasando haik, dan sasando biola. Karena itu, bunyi sasando sangat bervariasi. Hampir semua jenis musik bisa dimainkan dengan sasando, seperti musik tradisional, pop, slow rock, bahkan dangdut. Ada kalanya perbedaan pada cara permainan tipe sasando tertentu tergantung gaya permainan di tiap daerah, kemampuan pemain dan tidak adanya sistem notasi musik, khususnya untuk sasando gong.

Sasando, When Melody-Bass-Rhythm Collide in Harmony

Once upon a time, there was a boy named Sangguana who lived in Rote Island. One day, he tended to savannah. Felt tired and asleep, he slept under a palmyra tree. That’s when the dream came. Sangguana dreamt that he played beautiful music with a unique instrument. The sound, the melody, was so enchanting.

Then he woke up. Surprisingly, Sangguana still remembered the tones he played in the dream. But he wanted to hear it one more time. So he tried to sleep again. And yes, he dreamt the same song and same instrument. Sangguana was enjoying his dream. However, he had to wake up.

Didn’t want to lose those beautiful sounds, Sangguana in no time created a music instrument from palmyra with the strings in the middle, based on his memory from the dream. Et voilĂ ! A very unique music instrument!

A few weeks ago, I myself saw that instrument, and listened the sound Sangguana had heard in his dream. A talented local boy played the instrument in Indonesia Mencari Bakat, one of TransTV shows. It sounds like a harp, but it’s not.

We simply named it sasando.

In Rote language, “sasandu” means vibrating or sounded instrument. Yes, sasando comes from Rote Island, East Lesser Sunda province. It has 28 or 56 strings. The sasando with 28 strings called sasando engkel, and with 56 strings called double strings.

The shape of sasando alone is distinctive. The principal part is a long cylinder made of bamboo. The central is circle from the top to the bottom and there are some wedges where the strings are stretched, from the top to the bottom. These wedges give different tones to each picked string. Then, this sasando tube is placed in a place made of a kind of plaited palmyra leaves. This is where the resonance of sasando comes from.

Sasando is played with two hands from different direction, from left to right and from right to left. The left hand plays melody and bass, while the right hand plays accord. So this is instrument where the melody, bass and rhythm collide in harmony. So it’s not easy to play, of course.

Perhaps due to that difficulty, the number of sasando player has decreasing. Many of the old generation have died when the young is not interesting to even recognize this. Maybe that is why the government through the Minister of Culture and Tourism, Jero Wacik, at December 28th, 2007 gave an award to Jeremias Ougust Pah for having conserved and developed the traditional art using sasando.

It makes me think, hey, is there any band (even Indonesian band) that uses sasando as one of the instrument? Why not? Trust me, it will be exceptionally awesome.

NOTE: Actually, there are some version of sasando’s creating history. Beside Sangguana version, there are Lumbilang-Balialang version, and few others. Unless you are writing a thesis about it, you better leave those versions alone.

Alat Musik Tradisional dari Rote

Indonesia kaya akan berbagai kesenian daerah yang mengagumkan, termasuk di dalamnya adalah berbagai alat musik tradisional dengan kekhasan bunyiannya. Salah satu alat musik yang harus diperhatikan untuk tetap dipelihara adalah sebuah alat instrumen petik asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur yang bernama Sasando, yaitu alat musik yang ditemukan sejak abad 15.

sasando2Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Bentuk sasando mirip dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi keunikannya adalah bagian utama sasando berbentuk tabung panjang seperti harpa yang biasanya terbuat dari bambu. Sasando mempunyai media pemantul suara yang terbuat dari daun pohon gebang (sejenis pohon lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote) yang dilekuk menjadi setengah melingkar.
Sasando berbentuk tabung panjang yang biasanya terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah yang diberi ganjalan-ganjalan, di mana senar-senar (dawai-dawai) direntangkan di tabung dari atas ke bawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda pada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.
Bunyi sasando sangat unik jika dibandingkan dengan gitar, biasa sasando lebih bervariasi. Hal ini karena sasando memiliki 28 senar. Itulah sebabnya memainkan sasando tidaklah mudah karena seorang pemain sasando harus  mampu membuat ritme dan feeling bunyi nada yang tepat dari seluruh senar yang ada. Sasando dengan 28 senar ini dinamakan sasando engkel, sedangkan jenis sasando dobel memiliki 56 senar, bahkan ada yang 84 senar.
Cara memainkan sasando adalah dengan dipetik seperti memainkan gitar. Tetapi sasando tidak memiliki chord (kunci) dan senarnya harus dipetik dengan dua tangan, sehingga lebih mirip harpa. Sampai sekarang hampir semua bahan yang dipakai untuk membuat sasando adalah bahan asli, kecuali senarnya.
tii-langgaPada kenyataannya, tidak banyak lagi orang yang mampu memainkan alat musik ini. Orang-orang tua yang selalu bangga memainkan sasando bagi anak-anak mereka atau dalam upacara-upacara adat, lengkap dengan topi TiiLangga, pakaian dan tarian adat, sudah banyak yang meninggal. Sementara itu generasi muda tak banyak yang tertarik untuk sekadar mengenal apalagi belajar memainkan.
Kritik dan Sarannya silakan

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates