(((OOgabungan, kumpulan dua a
tau lebih pesat kegiatan, tempat
Aglomerasi
industri adalah pemusatan berbagai macam industri dalam suatu wilayah agar
dapat memberikan keuntungan yang lebih besar kepada berbagai industri pada
wilayah tersebut.
Salah satu
keuntungan dengan adanya aglomerasi industri adalah menghemat biaya produksi
karena dapat terjadinya hubungan funsional antara pabrik/industri yang ada di
lokasi tersebut. Hubungan fungsional itu terjadi karena ada beberapa industri
yang belum mampu memenuhi seluruh kebutuhannya secara mandiri.
Secara umum ada tiga macam
hubungan funsional antar industri, yaitu:
1. Hubungan produksi (Production
Linkages)
Di dalam
hubungan ini terdapat barang-barang yang bergerak dari perusahaan ke perusahaan
lain sebagai proses rangkaian industri. Contohnya industri susu akan
menyalurkan sebagian produksinya ke industri minuman yogurt atau industri kain
akan menyalurkan sebagian produksinya untuk industri pakaian jadi.
2. Hubungan pelayanan (Service
Lingkage)
Pada
dasarnya sebuah perusahaan tidak akan mampu mencukupi kebutuhuannya sendiri.
Salah satu dari kebutuhan yang diperlukan oleh suatu perusahaan adalah hubungan
pelayanan dari perusahaan lain, misalnya dalam hal jasa cleaning service,
penyediaan makanan, kurir, dll.
3. Hubungan pemasaran (market
Linkages)
Hubungan
pemasaran akan melibatkan bagian yang terpisah, yaitu bagian yang bertugas
menjual dan mendistribusikan hasil produksi dari sebuah industri. Di dalam
pengertian itu terdapat hubungan antara perusahaan yang akan membuat kemasan,
para tengkulak, dan agen-agen penjualan. Hubungan tersebut sangat penting dalam
rangka mendistribusikan hasil produksi sampai kepada konsumen akhir.
Keterkaitan Sarana dan Prasaran Transportasi dengan
Aglomerasi Industri
Transportasi
merupakan salah satu faktor penting dalam mendirikan industri. Keadaan
transportasi meliputi jaringan jalan dan sarana transportasi yang memadai
sehingga dapat mendukung kelancaran proses produksi dan distribusi. Adanya
sarana dan prasarana transportasi yang memadai tentunya akan lebih mempermudah
perusahaan untuk mengangkut bahan baku ke pabrik dan mendistribusikannya ke
pasar. Oleh karena itu transportasi merupakan alasan utama untuk mendirikan
industri di sepanjang jalan, pelabuhan, dan station kereta. Lokasi-lokasi pada
daerah ini dapat mengurangi biaya produksi dari segi transportasi.
- Teori aglomerasi menyataka
MENGIDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB
GEJALA AGLOMERASI INDUSTRI
1. Pengertian
Aglomerasi Industri
Aglomerasi Industri yaitu pemusatan industri di suatu kawasan tertentu dengan tujuan agar
pengelolanya dapat optimal. Gejala aglomerasi industri itu disebabkan karena
hal-hal berikut :
- Adanya persaingan industri yang semakin hebat dan semakin banyak.
- Melaksanakan segala bentuk efisiensi di dalam penyelenggaraan industri.
- Untuk meningkatkan produktivitas hasil industri dan mutu produksi.
- Untuk memberikan kemudahan bagi kegiatan industri.
- Untuk mempermudah kontrol dalam hubungan tenaga kerja, bahan baku, dan pemasaran.
- Untuk menyongsong dan mempersiapkan perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik yang dimulai tahun 2020.
- Melakukan pemerataan lokasi industri sesuai dengan jumlah secara tepat dan berdaya guna serta menyediakan fasilitas kegiatan industri yang berwawasan lingkungan.
Proses
aglomerasi (pemusatan) industri keberhasilannya banyak ditentukan oleh faktor
teknologi lingkungan, produktivitas, modal, SDM, manajemen dan lain-lain.
Pada
Negara-negara yang sedang mengalami aglomerasi industri, terdapat dualisme
bidang teknologi. Dualisme teknologi adalah suatu keadaan dalam suatu bidan
ekonomi tertentu yang menggunakan tehnik dan organisasi produksi yang sangat
berbeda karakteristiknya. Kondisi ini mengakibatkan perbedaan besar pada
tingkat produktivitas di sektor modern dan sektor tradisional, seperti keadaan
berikut ini :
a. Jumlah penggunaan modal dan peralatan yang digunakan.
b. Penggunaan pengetahuan teknik, organisasi, dan
manajemen.
c. Tingkat pendidikan dan keterampilan para pekerja.
Faktor-faktor
ini menyebabkan tingkat produktivitas berbagai kegiatan sektor modern sering
kali tidak banyak berbeda dengan kegiatan yang sama yang terdapat di Negara
maju. Sebaliknya sektor tradisional menunjukkan perbedaan banyak karena keadaan
sebagai berikut :
a. Terbatasnya pembentukan modal dan peralatan industri.
b. Kekurangan pendidikan dan pengetahuan.
c. Penggunaan teknik produksi yang sederhana.
d. Organisasi produksi yang masih tradisional.
2. Perbandingan Industri Indonesia dengan Industri
Negara Maju
Persebaran
industri di Negara maju (development
countries) atau disebut Negara-negara G7 (Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Jepang) berbeda dengan Negara yang
sedang berkembang (developing countries).
Pada umumnya, Negara-negara yang maju industrinya juga dikenal dengan sebutan
industri padat modal. Sebaliknya, bagi Negara-negara berkembang, sebagian
industri yang dimilikinya merupakan industri dengan sebutan “berdiri di atas
dua kaki” (walk on two legs). Maksudnya,
padat modal juga dikembangkan, sedangkan padat karya tetap dipertahankan
mengingat biasanya di Negara berkembang berpenduduk padat.
Indonesia
merupakan salah satu Negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar.
Pembangunan industri di Indonesia ditujukan untuk membuka lapangan pekerjaan
baru, memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk kegiatan ekspor. Untuk memacu
pertumbuhan industri modern seperti industri di Negara maju tidaklah mudah.
Jika industri bergeser ke padat modal, maka dalam proses produksinya digunakan
mesin-mesin canggih sehingga banyak orang akan kehilangan pekerjaan.
3. Kawasan Industri dan Kawasan Berikat
Untuk
mewujudkan usaha-usaha pembangunan dan pengembangan industri di Indonesia, maka
setiap pemerintah provinsi, baik dalam kerangka nasional maupun wilayah daerah,
bahkan dalam rangka kerja sama regional dengan Negara-negara tetangga,
dibentuklah suatu kawasan-kawasan industri dan kawasan berikat.
Kawasan
Industri (Industrial Estate)
Kawasan Industri adalah daerah yang khusus disediakan pemerintah pusat maupun daerah untuk
kegiatan industri. Kawasan ini umumnya merupakan suatu bagian dalam tata
rencana kota atau daerah yang disertai sarana lengkap untuk kegiatan industri.
Sarana tersebut antara lain meliputi infrastruktur perhubungan, jalan,
nasional, dan internasional (angkutan darat, laut, maupun udara), tenaga
listrik, telekomunikasi, sistem pembuangan sampah, limbah, dan sebagainya.
Dengan pengelompokan daerah tempat tinggal, dagang, rekreasi, dan industri
tersebut, diusahakan suatu tata kehidupan masyarakat yang teratur, terkendali,
dan serasi dilihat dari segi demografi, ekologi, dan polusi (pencemaran udara
dan lingkungan).
Keputusan
pembentukan kawasan industri dikeluarkan dalam rangka usaha pemerintah untuk
mendorong dan mempercepat pertumbuhan industri, memenuhi kebutuhan dalam negeri
dan ekspor, serta untuk makin mengundang para industriawan asing memindahkan
pabrik pengolahannya ke Indonesia.
Dalam
keputusan pembentukan kawasan industri tersebut, pemerintah menetapkan bahwa
pengusaha swasta nasional maupun asing, koperasi, BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) diperbolehkan membangun dan
mengelola kawasan industri di Indonesia. Sebelumnya, pembangunan dan pengelolaan
kawasan industri adalah monopoli pemerintah yaitu Departemen Perindustrian.
Tujuan
pembangunan kawasan industri adalah :
a. untuk mempercepat pertumbuhan industri.
b. untuk memberikan kemudahan bagi kegiatan industri.
c. Untuk mendorong
kegiatan industri supaya berlokasi di kawasan industri.
d. Menyediakan fasilitas lokasi industri yang berwawasan
lingkungan.
Hak dan kewajiban pengusaha kawasan industri :
a. Perusahaan kawasan industri berhak memindahkan hak
atau menyewakan bagian-bagian tanah kawasan industri kepada perusahaan industri
yang berlokasi di kawasan industrinya.
b. Perusahaan kawasan industri berhak mendapat imbalan
atau pendapatan dari jasa pengusahaan kawasn industri, misalnya dari
kegiatan-kegiatan :
-
pemindahan penggunaan dan pemindahan
hak, penyewaan kapling industri maupun bangunan pabrik siap pakai.
-
pengoperasian prasarana dan sarana
penunjang teknis.
-
pemeliharaan dan perbaikan prasarana
dan sarana penunjang teknis.
-
pengamanan kawasan industri.
c. Perusahaan kawasan industri berkewajiban membantu
pengurus permintaan dan penyelesaian Hak Guna Bangunan (HGB) bagi perusahaan
industri yang berada di kawasan industri, sesuai dengan ketentuan kepala Badan
Pertahanan Nasional (BPN).
d. Perusahaan kawasan industri wajib mematuhi ketentuan
dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan serta rencana pemantauannya yang mencakup
:
-
pembuatan AMDAL (Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan).
-
melakukan penataan lokasi industri
sesuai dengan jenisnya.
-
Membangun, mengelola, dan memelihara
fasilitas sarana dan prasarana kawasan industri.
-
Menyediakan dan mengelola fasilitas
pengolahan limbah industri.
-
Membantu perusahaan yang berlokasi
di kawasan itu dalam pengurusan perizinannya.
e. Perusahaan kawasan industri wajib membuat dan
memberlakukan ketentuan tata tertib bagi perusahaan industri yang berada di
kawasannya.
f.
Perusahaan kawasan industri dan perusahaan
industri wajib melaksanakan standar teknis yang ditetapkan Menteri
Perindustrian.
g. Perusahaan kawasan industri wajib menyampaikan laporan
secara berkala kepada Menteri Perindustrian mengenai kegiatan usahanya.
Perkembangan
kawasan industri di Indonesia sejalan dengan pembangunan di Indonesia. Sebelum
dikeluarkannya Keputusan Presiden No.53 Tahun 1989 tentang kawasan industri, di
Indonesia telah beroperasi lima (5) kawasan industri milik pemerintah. Kelima
kawasan industri tersebut adalah :
a.
PT JAKARTA INDUSTRIAL ESTATE
Pulogadung (PT JIEP) di Jakarta seluas 1550 hektar.
b.
PT RUNGKUT INDUSTRIAL ESTATE
Surabaya (PT RIES) seluas 570 hektar.
c.
PT KAWASAN INDUSTRI Cilacap di Jawa
Tengah seluas 243 hektar.
d.
Kawasan Industri Medan seluas 200
hektar.
e.
Kawasan Industri Makasar (Ujung
Pandang) seluas 224 hektar.
Kawasan-kawasan
industri tersebut dilengkapi dengan bangunan pabrik siap pakai, fasilitas umum industri
kecil, dan fasilitas pergudangan yang mutakhir. Di samping itu, juga ditunjang
dengan berbagai parasarana dan sarana seperti jalan ke kawasan industri,
jaringan jalan lingkungan, saluran distribusi listrik, telekomunikasi, air
bersih, instalasi penyediaan air bersih, saluran air hujan, jaringan pengumpul
limbah industri, penampungan sementara limbah padat, fasilitas perbankan,
kantor pos, kantor pelayanan telkom, poliklinik, kantin, tempat ibadah, pos
keamanan, halte angkutan umum, dan lain-lain.
Pesatnya
pertambahan penduduk dan sempitnya lahan untuk dijadikan kawasan industri
menyebabkan ada perluasan kawasan industri di luar wilayah yang telah
disediakan.
Dampak
perkembangan atau pemekaran kota adalah kawasan industri yang semula sudah jauh
di luar kota, kemudian terletak ditengah-tengah kota. Itulah sebabnya tidak
jarang kawasan industri itu ditata kembali untuk disesuaikan dengan tata ruang
yang direncanakan. Kondisi ini termasuk di antaranya letak terminal bus,
lapangan udara, dan sebagainya.
Kawasan
Berikat (Bounded Zone)
Kawasan
berikat merupakan kawasan pengolahan untuk ekspor. Oleh karena itu, kawasan ini
disebut juga Export Processing Zone
karena barang-barang yang diproduksi dalam kawasan ini umumnya dimaksudkan
untuk ekspor.
Kawasan berikat sendiri adalah kawasan dengan batas-batas tertentu, yang terletak di dalam
daerah pabean, tetapi memiliki peraturan dan tata cara pemasukan barang yang
berbeda dengan cara pemasukan barang ke daerah pabean biasa, karena sifat
pemasukan barang ke kawasan tersebut bersifat sementara.
Fungsi
kawasan berikat adalah sebagai tempat penyimpanan dan pengolahan produk atau
komoditas perdagangan yang berasal dari luar negeri, sebelum barang tersebut
dipasarkan. Kawasan berikat juga digunakan untuk menyimpan, menimbun, dan
mengolah atau mengemas komoditas yang berasal dari dalam negeri untuk tujuan
ekspor.
Latar
belakang pembentukan kawasan berikat diawali dengan banyaknya Negara-negara
berkembang di Asia yang berusaha meningkatkan ekspor produksinya. Salah satu
caranya dengan membuka kawasan berikat yang dimulai sejak awal tahun 1970-an.
Komoditas
perdagangan yang disimpan atau ditimbun dalam kawasan berikat tidak dikenakan
bea masuk, cukai, atau pungutan lain. Perusahaan-perusahaan industri yang
berlokasi dalam batas wilayah kawasan berikat menikmati kemudahan-kemudahan dan
fasilitas istimewa dalam hal impor bahan baku, bahan penunjang, dan
barang-barang modal, keringanan pajak, sarana dan prasarana yang lengkap dan
murah, serta kebebasan dari peraturan-peraturan atau pembatasan industri yang
berlaku di dalam Negara tersebut.
4. Relokasi
Industri
Relokasi industri yaitu pemindahan industri dari Negara maju ke Negara berkembang. Alasan
relokasi industri, yaitu sebagai berikut :
a. Di Negara berkembang upah buruh lebih murah
dibandingkan dengan Negara maju.
b. Mengurangi tingkat polusi atau pencemaran.
c. Negara yang dituju mempunyai tenaga kerja yang sesuai.
d. Memperbesar dan memperluas usaha industri.
e. Memperluas pemasaran hasil industri.
Keuntungan relokasi industri bagi Negara yang dituju
yaitu sebagai berikut :
a. Menambah dan memperluas lapangan pekerjaan.
b. Menambah pendapatan Negara dari sektor pajak.
c. Alih teknologi dari Negara maju.
d. Permodalan langsung dari Negara yang memindahkan
industri.
5. Bentuk Kerja Sama Industri
Antarnegara
Kerjasama industri antar Negara
dapat dilakukan dalam bidang :
MODAL
Negara-negara
yang sedang berkembang, termasuk Indonesia dalam rangka membangun industri yang
besar membutuhkan bantuan dari luar negeri berupa pinjaman modal atau kredit.
Untuk
melaksanakan pembangunan, Indonesia juga menerima bantuan kredit atau pinjaman
modal (kapital) dari luar negeri. Tentu saja bantuan kredit dari luar negeri
ini diterima dengan tidak mengesampingkan politik luar negeri bebas dan aktif.
Indonesia juga menerima bantuan kredit dari Negara manapun asal tidak ada
ikatan-ikatan tertentu.
Karena modal
yang diterima luar negeri merupakan pinjaman, maka dalam jangka waktu tertentu
Indonesia harus mengembalikannya dengan disertai bunga. Kredit dari luar negeri
biasanya merupakan kredit jangka panjang. Menurut waktu pelunasannya, kredit
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
a. Kredit jangka panjang, waktu pelunasannya lebih dari 5
tahun.
b. Kredit jangka menengah, waktu pelunasannya antara 1
sampai 5 tahun.
c. Kredit jangka pendek, waktu pelunasannya kurang dari 1
tahun.
BAHAN BAKU
Kerjasama dalam hal bahan baku dilakukan
jika suatu Negara tidak ada atau kurang memiliki bahan baku suatu industri.
Dalam kerjasama bahan baku dapat diimpor bahan baku luar negeri. Indonesia juga
mengimpor barang-barang dari luar negeri, sebab banyak barang yang dibutuhkan,
tetapi tidak dapat dibuat atau dihasilkan di dalam negeri.
TEKNOLOGI
Pada umumnya kerjasama dalam bidang ini
berupa transfer atau alih teknologi. Indonesia juga melakukan alih teknologi
dengan beberapa Negara. Misalnya, dengan melaksanakan alih teknologi, yakni PT
Dirgantara dengan perusahaan penerbangan di Spanyol, Jerman, Perancis, dan
Amerika Serikat.
Dengan alih
teknologi ini, kemampuan Dirgantara Indonesia berkembang dengan menghasilkan
suku cadang pesawat terbang dan pesawat terbang dengan standar internasional.
TENAGA KERJA
Kerajsama
dibidang tenaga kerja biasa dilakukan bagi Negara berkembang, seperti Indonesia
perlu mendatangkan tenaga ahli dari Negara maju.
Sebaliknya
seringkali Negara maju memerlukan tenaga kerja untuk industri yang bersifat
padat karya. Negara maju akan membuka pabrik di Negara yang banyak memiliki
sumber daya manusia dalam jumlah besar.
Sebagai
contoh, pabrik sepatu merek luar negeri, seperti Nike, Adidas, Reebok membuka
pabriknya di Indonesia.
n bahwa perluasan are
pesat, (seperti jalan raya,
pelabuhan laut dan udara, telekomunikasi, daerah pertokoan, lembaga diklat,
penelitian dan lembaga jasa lainn
TEORI LOKASI
Pertimbangan utama dalam menentukan alternatif lokasi
industri yaitu ditekankan pada biaya transportasi yang rendah. Pada prinsipnya
beberapa teori lokasi tersebut untuk memberikan masukan bagi penentuan lokasi
optimum, yaitu lokasi yang terbaik dan menguntungkan secara ekonomi. Berikut
ini merupakan penjelasan mengenai beberapa teori lokasi.
:
a.Theory of industrial location (teori lokasi industri) dari Alfred Weber
Teori ini dimaksudkan untuk menentukan suatu lokasi industri dengan mempertimbangkan risiko biaya atau ongkos yang paling minimum, dengan asumsi sebagai berikut:
1) Wilayah yang akan dijadikan lokasi industri memiliki: topografi, iklim dan penduduknya relatif. homogen.
2) Sumber daya atau bahan mentah yang dibutuhkan cukup memadai.
3) Upah tenaga kerja didasarkan pada ketentuan tertentu, seperti Upah Minimum Regional (UMR).
4) Hanya ada satu jenis alat transportasi.
5) Biaya angkut ditentukan berdasarkan beban dan jarak angkut.
6) Terdapat persaingan antarkegiatan industri.
7) Manusia yang ada di daerah tersebut masih berpikir rasional.
Persyaratan tersebut jika dipenuhi maka teori lokasi industri dari Alfred Weber dapat digunakan. Weber menggunakan tiga faktor (variabel penentu) dalam analisis teorinya, yaitu titik material, titik konsumsi, dan titik tenaga kerja. Ketiga titik (faktor) ini diukur dengan ekuivalensi ongkos transport. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, penggunaan teori Weber tampak seperti pada gambar berikut ini :
a.Theory of industrial location (teori lokasi industri) dari Alfred Weber
Teori ini dimaksudkan untuk menentukan suatu lokasi industri dengan mempertimbangkan risiko biaya atau ongkos yang paling minimum, dengan asumsi sebagai berikut:
1) Wilayah yang akan dijadikan lokasi industri memiliki: topografi, iklim dan penduduknya relatif. homogen.
2) Sumber daya atau bahan mentah yang dibutuhkan cukup memadai.
3) Upah tenaga kerja didasarkan pada ketentuan tertentu, seperti Upah Minimum Regional (UMR).
4) Hanya ada satu jenis alat transportasi.
5) Biaya angkut ditentukan berdasarkan beban dan jarak angkut.
6) Terdapat persaingan antarkegiatan industri.
7) Manusia yang ada di daerah tersebut masih berpikir rasional.
Persyaratan tersebut jika dipenuhi maka teori lokasi industri dari Alfred Weber dapat digunakan. Weber menggunakan tiga faktor (variabel penentu) dalam analisis teorinya, yaitu titik material, titik konsumsi, dan titik tenaga kerja. Ketiga titik (faktor) ini diukur dengan ekuivalensi ongkos transport. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, penggunaan teori Weber tampak seperti pada gambar berikut ini :
(a) (b) (c)
Segitiga Weber dalam menentukan lokasi industri(Sumber: Ilmu Pengetahuan Populer, 2000)
Keterangan:
M = pasar
P = lokasi biaya terendah.
R1, R2 = bahan baku
Gambar
(a) : apabila biaya angkut hanya didasarkan pada jarak.
(b) : apabila biaya angkut bahan baku lebih mahal dari pada hasil industri.
(c) : apabila biaya angkut bahan baku lebih murah dari pada hasil industri.
b. Teori lokasi industri optimal (Theory of optimal
industrial location) dari Losch
Teori ini didasarkan pada permintaan (demand), sehingga dalam teori ini diasumsikan bahwa lokasi optimal dari suatu pabrik atau industri yaitu apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas, sehingga dapat dihasilkan pendapatan paling besar. Untuk membangun teori ini, Losch juga berasumsi bahwa pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen, jika disuplai oleh pusat (industri) volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh dari pusat industri semakin berkurang volume penjualan barang karena harganya semakin tinggi, akibat dari naiknya ongkos transportasi. Berdasarkan teori ini, setiap tahun pabrik akan mencari lokasi yang dapat menguasai wilayah pasar seluas-luasnya. Di samping itu, teori ini tidak menghendaki wilayah pasarannya akan terjadi tumpang tindih dengan wilayah pemasaran milik pabrik lain yang menghasilkan barang yang sama, sebab dapat mengurangi pendapatannya. Karena itu, pendirian pabrik-pabrik dilakukan secara merata dan saling bersambungan sehingga berbentuk heksagonal.
c. Teori susut dan ongkos transport (theory of weight loss and transport cost)
Teori ini didasarkan pada hubungan antara faktor susut dalam proses pengangkutan dan ongkos transport yang harus dikeluarkan, yaitu dengan cara mengkaji kemungkinan penempatan industri di tempat yang paling menguntungkan secara ekonomi. Suatu lokasi dinyatakan menguntungkan apabila memiliki nilai susut dalam proses pengangkutan yang paling rendah dan biaya transport yang paling murah. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa:
1) Makin besar angka rasio susut akibat pengolahan maka makin besar kemungkinan untuk penempatan industri di daerah sumber bahan mentah (bahan baku), dengan catatan faktor yang lainnya sama.
2) Makin besar perbedaan ongkos transport antara bahan mentah dan barang jadi maka makin besar kemungkinan untuk menempatkan industri di daerah pemasaran.
d. Model gravitasi dan interaksi (model of gravitation and interaction) dari Issac Newton dan Ullman
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa tiap massa mempunyai gaya tarik (gravitasi) untuk berinteraksi di tiap titik yang ada di region yang saling melengkapi (regional complementarity), kemudian memiliki kesempatan berintervensi (intervening opportunity), dan kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang (spatial transfer ability). Teori interaksi ialah teori mengenai kekuatan hubungan-hubungan ekonomi (economic connection) antara dua tempat yang dikaitkan dengan jumlah penduduk dan jarak antara tempat-tempat tersebut. Makin besar jumlah penduduk pada kedua tempat maka akan makin besar interaksi ekonominya. Sebaliknya, makin jauh jarak kedua tempat maka interaksi yang terjadi semakin kecil. Untuk menggunakan teori ini perhatikan rumus berikut.
Teori ini didasarkan pada permintaan (demand), sehingga dalam teori ini diasumsikan bahwa lokasi optimal dari suatu pabrik atau industri yaitu apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas, sehingga dapat dihasilkan pendapatan paling besar. Untuk membangun teori ini, Losch juga berasumsi bahwa pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen, jika disuplai oleh pusat (industri) volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh dari pusat industri semakin berkurang volume penjualan barang karena harganya semakin tinggi, akibat dari naiknya ongkos transportasi. Berdasarkan teori ini, setiap tahun pabrik akan mencari lokasi yang dapat menguasai wilayah pasar seluas-luasnya. Di samping itu, teori ini tidak menghendaki wilayah pasarannya akan terjadi tumpang tindih dengan wilayah pemasaran milik pabrik lain yang menghasilkan barang yang sama, sebab dapat mengurangi pendapatannya. Karena itu, pendirian pabrik-pabrik dilakukan secara merata dan saling bersambungan sehingga berbentuk heksagonal.
c. Teori susut dan ongkos transport (theory of weight loss and transport cost)
Teori ini didasarkan pada hubungan antara faktor susut dalam proses pengangkutan dan ongkos transport yang harus dikeluarkan, yaitu dengan cara mengkaji kemungkinan penempatan industri di tempat yang paling menguntungkan secara ekonomi. Suatu lokasi dinyatakan menguntungkan apabila memiliki nilai susut dalam proses pengangkutan yang paling rendah dan biaya transport yang paling murah. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa:
1) Makin besar angka rasio susut akibat pengolahan maka makin besar kemungkinan untuk penempatan industri di daerah sumber bahan mentah (bahan baku), dengan catatan faktor yang lainnya sama.
2) Makin besar perbedaan ongkos transport antara bahan mentah dan barang jadi maka makin besar kemungkinan untuk menempatkan industri di daerah pemasaran.
d. Model gravitasi dan interaksi (model of gravitation and interaction) dari Issac Newton dan Ullman
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa tiap massa mempunyai gaya tarik (gravitasi) untuk berinteraksi di tiap titik yang ada di region yang saling melengkapi (regional complementarity), kemudian memiliki kesempatan berintervensi (intervening opportunity), dan kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang (spatial transfer ability). Teori interaksi ialah teori mengenai kekuatan hubungan-hubungan ekonomi (economic connection) antara dua tempat yang dikaitkan dengan jumlah penduduk dan jarak antara tempat-tempat tersebut. Makin besar jumlah penduduk pada kedua tempat maka akan makin besar interaksi ekonominya. Sebaliknya, makin jauh jarak kedua tempat maka interaksi yang terjadi semakin kecil. Untuk menggunakan teori ini perhatikan rumus berikut.
Keterangan:
I = gaya tarik menarik diantara kedua region.
d = jarak di antara kedua region.
P = jumlah penduduk masing-masing region.
e. Teori tempat yang sentral (theory of cental place) dari Walter Christaller
Teori ini didasarkan pada konsep range (jangkauan) dan threshold (ambang). Range (jangkauan) adalah jarak tempuh yang diperlukan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan masyarakat, sedangkan threshold (ambang) adalah jumlah minimal anggota masyarakat yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan suplai barang. Menurut teori ini, tempat yang sentral secara hierarki dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Tempat sentral yang berhierarki 3 (K = 3), merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang bagi daerah sekitarnya, atau disebut juga kasus pasar optimal.
2) Tempat sentral yang berhierarki 4 (K = 4), merupakan situasi lalu lintas yang optimum. Artinya, daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien.
3) Tempat sentral yang berhierarki 7 (K = 7), merupakan situasi administratif yang optimum. Artinya, tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya.
Untuk menerapkan teori ini, diperlukan beberapa syarat di antaranya sebagai berikut:
1) Topografi atau keadaan bentuk permukaan bumi dari suatu wilayah relatif seragam sehingga tidak ada bagian yang mendapat pengaruh lereng atau pengaruh alam lain dalam hubungannya dengan jalur angkutan.
2) Kehidupan atau tingkat ekonomi penduduk relatif homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer yang menghasilkan padi-padian, kayu, dan batubara.
TEORI LOKASI MENURUT PARA AHLI ;
1.
Teori lokasi dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan
ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara
geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya
terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara
umum, pemilihan lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa
faktor seperti: bahan baku lokal (local input); permintaan lokal (local
demand); bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input); dan permintaan
luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007)
2.
Von Thunen (1826)
mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas
dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat
sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin
jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke
pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih)
antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki
kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya
untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat
ke pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram
cincin. Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di
pusat kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.
3.
Weber (1909)
menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber pemilihan
lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan
bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan
tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total
biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat
keuntungan yang maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi
lokasi industri, yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan
aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi
dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational
triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi
optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan
indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan
sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan
(isodapane).
4.
Teori Christaller
(1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan
distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu
sistem geometri, di mana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran
yang sangat berarti dan model ini disebut sistem K = 3. Model Christaller
menjelaskan model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau
luas pasar dari setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.
5.
Teori Lokasi dari
August Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan
Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan
bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat
digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli
karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch
cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
6.
D.M. Smith
memperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan menjelaskan konsep
average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata) yang
terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka dapat
dibuat kurva biaya rata-rata (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi.
Selisih antara average revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka
itulah lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.
7.
McGrone (1969)
berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit ditangani
dalam keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis dinamik.
Ketidaksempurnaan pengetahuan dan ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa
depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan
pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit
dioperasikan.
8. Menurut Isard (1956), masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya
dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang
berbeda-beda. Isard (1956) menekankan pada faktor-faktor jarak, aksesibilitas,
dan keuntungan aglomerasi sebagai hal yang utama dalam pengambilan keputusan
lokasi. Richardson (1969) mengemukakan bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan
cenderung untuk berlokasi pada pusat kegiatan sebagai usaha untuk mengurangi
ketidakpastian dalam keputusan yang diambil guna meminimumkan risiko. Dalam hal
ini, baik kenyamanan (amenity) maupun keuntungan aglomerasi merupakan faktor
penentu lokasi yang penting, yang menjadi daya tarik lokasi karena aglomerasi
bagaimanapun juga menghasilkan konsentrasi industri dan aktivitas lainnya.
9. Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat
besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini
sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah
pengaruh dari potensi tersebut. Model ini dapat digunakan untuk menentukan
lokasi yang optimal.
10. Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa
menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya
dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara
komprehensif diperlukan gabungan dari berbagai pengetahuan dan disiplin.
Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain
ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang,
daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah
pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri),
stabilitas politik suatu negara dan, kebijakan daerah (peraturan daerah).
1 comments:
Wah materinya yang tentang kawasan industri banyak juga jadi bingung mau pahaminnya :D, tp bolehlah buat dibaca-baca biar lebih tahu tentang masalah ekonomi yang begini.
Thanks ya sudah di sharing. Sukses terus.
Post a Comment