Pada temu karya Taman Budaya
se-Indonesia 27 -30 Juli 2009 di samping ditampilkan kesenian dari 33 provinsi
tidak ketinggalan pula pagelaran musik gamad dari Kota Padang. Gamad adalah
kesenian yang mengabungkan kesenian berbagai etnis.
Hal ini dikatakan oleh
Koordinator Pagelaran Musik Gamad yang juga pengurus Himpunan Keluarga Gamad
Padang (Hikagapa), Utjok Chalifendri kepada MinangkabauOnline. Utjok
menambahkan, gendang ketipung pada gamad berasal dari India, tarian dan
sebahagian lagu dari Melayu, alat musik akordion dari Eropa dan bahasa pantun
dari Minangkabau.
“Gabungan dari unsur itulah
melahirkan musik gamad yang menjadi kesenian khas kota Padang. Asal usul musik
gamad bisa di telusuri sampai ke tanah Melayu, karena kemiripan musik dan
tariannya. Tapi asal musik gamad juga bisa di telusuri sampai ke Eropa melalui
tari Balanse Madam dan alat musik akordion yang terdapat dalam gamad,” katanya.
“Pusat gamad adalah kota
Padang. Tapi jangan heran musik gamad cukup terkenal di Minangkabau. Ada tiga
etnis pendukung musik gamad, Nias, Keling dan etnis Minangkabau. Etnis Nias
adalah paling banyak keterlibatannya dalam musik gamad. Separo pemusik gamad
berasal dari etnis Nias. Artinya pusat musik gamad berada pada pemukiman etnis
Nias. Walau pun begitu gamad tidak terasa berasal dari satu etnis. Gamad telah
menjadi media sosialisasi antar etnis. Masing-masing etnis memberikan
kontribusi budaya dalam pembentukan musik gamad. Orang Nias melalui tari
Balanse Madam, etnis Keling melalui alat musik gendang dan kemampuan manajemen
dan pemasaran etnis Minangkabau melalui lagu dan aneka ragam pantun,” papar
Utjok.
Musik gamad dimainkan oleh
anak kapal. Dalam gerak meninggalkan tari Balanse Madam. Tari ini tidak
berkembang dengan baik, karena ada aturan dalam adat di Minangkabau perempuan
dilarang keluar malam. Alat musik yang dimainkan oleh orang Portugis bukanlah
milik nenek moyangnya tapi dari benua Afrika. Musik itu pindah ke semenanjung
Balkan baru sampai ke Portugis. Bisa dipastikan hampir semua alat musik yang
berada di pesisir pantai Sumatera (Melayu Deli) dan Jawa punya ikatan yang
sangat kuat dengan Portugis.
Awalnya gamad hanya memakai
biola, akordion, gitar dan gendang. Namun alat musik Marakas, sring bass dan
terompet ikut meramaikan kasanah musik gamad lirik pun masih mengunakan pantun
sebagai kekuatan utama. Pada tahun 1920 gamad sudah berkembang di kota Padang.
Pada masa itu pagelaran musik gamad dilakukan sembunyi- sembunyi. Hanya ada dua
tempat waktu itu untuk mengelar musik gamad itu pun atas izin pemerintah
Belanda. Pertama di Sri Darma sekarang gedung Bagindo Azis Chan dan gedung
bulat (sekarang menjadi gedung Juang 45 di Pasar Mudik).
Awal kemerdekaan gamad masih
berkibar. Berkat perhatian Walikota Padang yang waktu itu dijabat oleh Zainal
Abidin Sutan Pangeran (1953) gamad di perlombakan di kantor Walikota Padang.
Tapi sayang pada perang PRRI musik gamad hilang dari peredaran. Setelah
pemberontakan PKI pertengahan tahun 60-an musik gamad kembali terdengar ketika
alat musik eliktrik sudah mulai dipakai. Pemerintah kota Padang sangat besar
perhatiannya terhadap musisi musik gamad. Zainal Abidin Sutan Pangeran
menjadikan seniman gamad karyawan Balai Kota. MT Japang dan Juned (Ayah Yan
Juned) menjadi mantri pasar. Dasar walikota waktu menjadikan dua orang musisi
musik gamad menjadi karyawan agar musisi gamad itu tidak memikirkan uang untuk
keluarga lagi. “Perlakuan seperti ini tidak lagi kita dapatkan dari
pemerintah,” kata Utjok.
Pada tahun yang sama sempat pula grup musik gamad
Fajar Timur direkam dalam pita besar bermerek Colombia, rekaman pun berlansung
di Singapura. Barulah pada tahun 1995 musik gamad mengalami kemunduran, baik
dari segi grup maupun penampilan. Musik gamad jarang mendapat undangan pada
setiap perkawinan.
Gamad adalah kesenian musik khas Padang dari pengaruh musik Portugis. Ini
dapat dilihat dari alat-alat musik khas Portugis (Eropa) yang dipakai seperti
biola, akordion, saksofon, terompet, dan gendang rampak. Hanya saja lagunya
sudah khas Padang dengansyair-syair yang penuh ratap dan beriba hati, meski terkadang dinyanyikan dengan lenggang-lenggok.
“Orang-orang Portugis suka berpesta dengan bernyanyi diiringi grup musik di atas kapal, saat itulah orang Minang dan Nias ikut serta, kemampuan menguasai alat musik dan bernyanyi ini kemudian mereka bawa ke darat sebagai cikal bakal gamad,” kata Taswir Zubir, Ketua Hikagapa (Himpunan Keluarga Gamad Padang).
Oleh seniman Gamad permainan musik ala Portugis disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk syair-syair berbahasa Minang, membuat gamad mempunyai ciri khasnya sendiri.
Kini musik gamad mulai terancam hilang karena tidak banyak lagi yang bisa memainkan musik gamad. Bahkan kini tidak ada lagi yang bisa memainkan terompet untuk musik Gamad karena orangnya sudah meninggal beberapa tahun lalu.
“Yang bisa memainkan saksofon dan akordeon saja kini saya perkirakan tinggal dua orang,” kata Taswir mengaku lebih menguasai biola.
Karena tak ingin musik Gamad benar-benar punah,13 tahun lalu para pencinta musik Gamad membuat komunitas yang bernama Hikagapa. Anggotanya adalah keluarga besar pencinta musik gamad mulai yang hanya bisa menikmati saja hingga pemusik dan penyanyi Gamad dengan jumlah hampir 100 orang.
Saat ini ada 10 grup gamad di Padang. Grup-grup ini juga sering diundang para perantau Minang ke Jakarta atau daerah lain untuk mengisi acara pesta perkawainan. Namun, sebagian besar pemusik dan penyanyi ini hanya menjadikan gamad sebagai hobi dan mereka memiliki pekerjaan lain untuk menghidupi diri.
Musik Gamad yang Pluralis
Musik Gamad dalam sejarahnya adalah musik yang menampung berbagai etnis yang ada di Kota Padang. Pada mulanya gamad tak hanya dimainkan oleh orang Minang dan Nias, tetapi juga orang India yang tinggal di Padang. Kemahiran orang India memainkan gendang membuat mereka ikut ambil bagian dalam grup gamad. Penyesuaian permainan musik ala Portugis dengan kondisi lokal, termasuk syair-syair berbahasa Minang, membuat gamad mempunyai ciri khasnya sendiri.
Para pemusik, penyanyi, dan penggemar gamad dari
berbagai etnis seperti Minang, Nias, dan India yang juga berlatar belakang
agama yang berbeda (sebagian besar orang Minang dan India beragama Islam,
sedangkan Nias beragama Protestan), membuat musik ini penuh nuansa pluralisme.
Hingga kini orang Nias tetap mengambil peran sebagai pemusik, penyanyi, maupun penonton setia Gamad di Padang.
Taswir Zubir masih punya mimpi membuat festival lomba lagu Gamad untuk menemukan bibit penyanyi gamad baru yang cantik dan lincah mendendangkan cengkok nada-nada tinggi lagu Gamad.
Hingga kini orang Nias tetap mengambil peran sebagai pemusik, penyanyi, maupun penonton setia Gamad di Padang.
Taswir Zubir masih punya mimpi membuat festival lomba lagu Gamad untuk menemukan bibit penyanyi gamad baru yang cantik dan lincah mendendangkan cengkok nada-nada tinggi lagu Gamad.
Musik gamat di kota Padang Rizaldi juga
mengungkapakan bahwa kalau ditilik dari ciri-ciri musik tersebut, yaitu melalui
instrumen musik yang digunakan diantaranya: biola, accordeon, dan gitar, jelas
kesemuanya itu adalah hasil teknologi budaya Barat dan berbeda konsepnya dengan
instrumen musik pribumi Minangkabau, baik dari bentuk fisik maupun sistem
tangga nada maupun harmoni. Dalam hal ini bagi masyarakat pribumi khususnya
Padang (Minangkabau Pesisir), instrumen musik tersebut diadaptasikan dengan budaya
musik masyarakat setempat, sehingga lahirlah genre musik baru yang disebut gamat.
Sebalik-nya unsur budaya musik pribumi yang dapat dibaurkan dengan instrumen
musik Barat antara lain: vokal, karena instrumen ini sifatnya fleksibel dapat
menyesuaikan dari berbagai macam tangganada dan instrumen. Dengan demkian akan
terlihatlah bahwa keberadaan musik gamat dikota Padang adalah merupakan
sebuah akulturasi antara budaya pribumi dan
budaya Barat yang meliputi; Minangkabau, Melayu, dan Portugis.
Tumbuh dan berkembangnya musik gamat di kota Padang adalah sejak
tahun 1920-an, yang fungsi awalnya adalah sebagai hiburan keluarga dan terus
berkembang, sehingga digunakan untuk acara perhelatan perkawinan. Sungguhpun
pada masa itu, musik gambus dan keroncong juga ikut berkembang, tetapi kehadirannya
tidak mempengaruhi perkembangan musik gamat di kota tersebut. Namun
semenjak itulah dinamikan musik gamat di kota Padang berkembang sampai
sekarang, dapat dijadikan budaya tradisional dalam berbagai acara pesta
perkawinan baik oleh masyarakat Padang maupun masyarakat pesisir Minangkabau
lainnya.
A. Musik Gamat Sebagai Seni
Pertunjukan Pentas
Bertitik tolak dari keberadaan musik
gamat di kota Padang, sangat berpengaruh sekali tumbuh dan berkembangnya
musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan, karena secara geografis kota
Padang merupakan daerah perbatasan wilayah utara Kecamatan Koto XI Tarusan.
Dengan demikian, tak mengeherankan kedua daerah ini mempunyai kebudayaan
relatif sama, karena terletak dikawasan pantai yang berdekatan disebut daerah Rantau
Pesisir Minangkabau.
Menurut seorang ulama dan juga
sebagai musisi, Khatib Mahyuddin mengatakan, bahwa kehadiran musik gamat di
kecamatan Koto XI Tarusan adalah dilatar belakangi oleh tumbuh dan
berkembangnya musik gambus pada tahun 1930 sampai pada tahun 1945. Oleh karena
sebagian besar pemain musik gamat pada masa itu berasal dari kelompok
musik gambus, maka kehadiran musik tersebut merupakan jembatan untuk berdirinya
musik gamat.
Berkembangnya musik gambus di daerah
kecamatan Koto XI Tarusan adalah hasil belajar yang didapat oleh khatib
Mahyuddin dari kota Padang, pada saat itu ia sekolah (mengaji agama) Tarbiah
Islamiah di Teluk Bayur dan Gauang Padang. Musik ini dikembangkannya di daerah
kecamatan Koto XI Tarusan, bersama temannya bernama Yusup, pada saat itu ia
memainkan harmonium, sedangkan Yusup memainkan biola. Berdasarkan kreatifitas
dari kedua orang tersebut, sehingga terbentuklah permainan musik duet dan
berkembang sampai menjadi sebuah kelompok musik gambus. Namun instrumen musik yang dimainkan juga berkembang meliputi; biola,
gitar, harmonium, gambus, benyol, kulele, rumba, marwas, tipa, gendang dan
instrumen lainnya. Pesatnya perkembangan musik gambus tersebut dapat digunakan
untuk acara-acara adat-istiadat seperti acara perhelatan perkawinan, bahkan
pertunjukannya sampai keluar dari wilayah Kecamatan Koto XI Tarusan seperti
Bayang (Pasar Baru). Namun musik ini tidak bertahan lama karena kalah saingan
dengan tumbuhnya dan berkembangnya musik gamat dan orkes (penamaan
kelompok musik)
Menurut Nazaruddin seorang musisi musik gamat mengatakan bahwa
kehadiran musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan sudah ada semenjak
tahun 1932. Pada saat itu kelompok musik gamat bernama Muda Setia.
Adapun jenis instrumen yang dimainkan adalah terdiri dari; biola, harmonium,
gitar, gendang dan tambourin. Keberadaan musik gamat pada waktu itu,
hanya berfungsi untuk kepuasan dan hiburan para pemain dan keluarga (belum
digunakan untuk acara pesta perkawinan). Namun tumbuh dan berkembang musik gamat
di kecamatam Koto XI Tarusan adalah bawaan dari pemuda-pemuda daerah
tersebut yang pada saat itu banyak berkerja di Padang maupun sebagai
pelajar dan
sebagainya
Menurut Sutan Darwis, sejak tahun 1940 terbentuknya organisasi pemuda
bernama KASGAN di kecamatan Koto XI Tarusan yaitu untuk menampung wadah
berbagai kegaitan seperti kesenian dan olah raga. Semenjak ada organisasi
tersebut terjadinya dikotomi jenis musik yaitu musik gamat dan orkes.
Kehadiran kelompok orkes pada saat itu hanya berfungsi sebagai hiburan dan
kepuasan para pemain saja, kalau ada digunakan masyarakat untuk acara-acara
perhelatan perkawinan sangat jarang sekali. Kecuali acara-acara yang sifatnya
untuk para keluarga anggota atau pemain itu sendiri. Adapun instrumen yang dimainkan
pada kelompok orkes terdiri dari; biola, gitar, string bass, accordeon, conga,
tipa, gendang, kolele dan sebagainya. Namun pada akhirnya lima tahun kemudian
musik orkes mengalami berkembangan, tidak saja difungsikan sebagai hiburan
pribadi para pemain saja, akan tetapi sudah mulai digunakan untuk acara
perhelatan perkawinan.
Tak mengherankan semenjak berdirinya organisasi pemuda itu pulalah fungsi
musik gamat di tengah-tengah masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, mulai
berkembang dari pada masa sebelumnya, keberadaannya tidak saja sebagai hiburan
para pemain dan keluarga, akan tetapi sudah digunakan untuk acara-acara
adat-istiadat seperti acara perhelatan perkawinan. Oleh karena musik ini sudah
merupakan suatu wadah pertunjukan dalam kegiatan sosial budaya masyarakat, maka
disiplin dalam kegiatan seperti, latihan, pertunjukan, bahkan tata kerama
sebagai pemainpun sudah mulai diperhatikan, sesuai dengan aturan-aturan yang
ada pada kelompok musik tersebut. Bentuk pertunjukan pada saat itu belum memakai
pentas hanya bermain di dalam rumah. Tata kerama bermain di dalam rumah ini,
sesuai dengan aturan kedisiplinan mereka, si pemain tidak boleh
berpindah-pindah tempat duduk yang telah ditentukan dari awal bermain musik gamat
sampai akhir, sungguhpun mereka ada yang bernyanyi berdiri atau menari dan
sebagainya, namun mereka harus kembali ke tempat duduk asalnya. Selanjutnya
para pemain yang berada di tempat pertunjukan (di rumah perhelatan) tidak boleh
melihat-lihat kekamar pengantin, karena secara adat dianggap tidak sopan. Kalau
hal demikian terjadi ada sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut.
Dengan demikian pada waktu itu di daerah kecamatan Koto XI Tarusan sudah adanya
tata tertib atau aturan-aturan kedisiplinan dalam mewujudkan sebuah pertunjukan
musik.
Pada tahun 1974-1985 kelompok musik orkes mengalami perubahan dengan tumbuh
dan berkembangnya musik band dengan berbagai instrumen elektronik, sehingga
sebagian pemain orkes yang muda-muda berpindah pada kelompok musik tersebut.
Instrumen pada kelompok musik band meliputi; tiga buah gitar elektrik
(masing-masingnya digunakan untuk permainan melodi, akor, dan bass),
seperangkat drums, dan vokal dan seperangkat sound sistem. Dengan munculnya
teknologi elektronik untuk musik band, jenis lagu-lagu yang disajikan tidak
saja meliputi; pop, rock, melayu dan dangdut, tetapi sudah dimulai juga
penggabungannya dengan kelompok musik gamat. Adapun fungsinya adalah
sebagai hiburan yang digunakan dalam acara pesta perkawinan. Sudah merupakan
kebiasaan dalam acara perhelatan perkawinan pertunjukan musik band dilaksanakan
pada siang hari, sedangkan untuk penggabungan musik gamat dengan musik
band yang secara aturan pertunjukannya tetap membawakan lagu-lagu gamat dilaksanakan
pada malam hari. Pada saat itu pulalah tempat pertunjukan berpindah dari
dalam rumah ke atas pentas, karena situasinya tidak memungkin lagi dimainkan
didalam ruangan tertutup.
Pada tahun 1986 berdasarkan pengamatan penulis, kedua jenis musik ini kalah
bersaing dengan masuknya kibord elektrik yang memiliki teknologi canggih,
dimana dengan bermacam-macam jenis musik yang dimainkan oleh satu orang musisi
untuk mewujudkan musik yang diinginkannya, cukup melalui satu instrumen saja,
yang secara keseluruhan dapat disajikan melalui program kibord elektrik
tersebut. Hal lain disebabkan instrumen elektronik yang dimiliki oleh kelompok
musik band dan gamat ini, disamping tidak mampu lagi bersaing dengan
perkembangan zaman, juga tidak mampunya organisasi mereka membeli instrumen
elektronik baru yang harganya relatif mahal.
Secara ekonomis keberadaan musik kibord elektrik ini disamping biaya
jem-putannya relatif kecil, dibandingkan dengan musik band dan gamat, dan
terjangkau oleh masyarakat umum, sehingga cenderung masyarakat berpikir praktis
terhadap pengguna-an musik kibord elektrik yang efisien itu. Status musik
kibord elektrik ini bukan milik organisasi akan tetapi adalah milik anggota
masyarakat itu sendiri yang sifatnya pribadi. Dengan munculnya musik tersebut,
akibatnya kedua jenis musik seperti band dan gamat yang dilengkapi oleh
peralatan elektronik sederhana itu, mengalami kemacetan dalam perkembangannya.
B. Musik Gamat Sebagai Seni Pertunjukan Prosesi
Berdasarkan
pokok pikiran dan uraian di atas, tak mengherankan bahwa perubahan mungkin saja
terjadi, karena keinginan-keinginan kelompok masyarakat atau keinginan
individu-individu yang ada dalam kelompok masyarakat pendukungnya. Dalam
artian, ketika ada suatu krisis dalam masyarakat yang bersangkutan, berarti
bahwa dalam masyarakat itu ada sejumlah orang yang menentang keadaan karena
mereka sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat sekelilingnya
dan tidak merasa puas dengan keadaan itu.
Tak dapat
dipungkiri bahwa tanpa adanya kemampuan untuk menciptakan gagasan baru dan
mengubah pola laku yang ada, tidak ada masyarakat manusia yang dapat bertahan.
Sungguhpun kebudayaan tersebut kokoh, mantap, tetapi kadang-kadang dengan
kelenturannya juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang berubah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan merupakan karakteristik dari
semua kebudayaan yang dilakukan oleh para individu-idividu atau
kelompok-kelompok, sehingga dapat berkembang menurut tuntutan zaman.
Berkembangnya
suatu kebudayaan sesuai dengan tututan zaman, adalah produksi perubahan dari
waktu ke waktu karena bermacam-macam sebab. Hal yang demikian dipertegas oleh
Havilland sebagai berikut.
Semua kebudayaan pada
suatu waktu berubah karena bermacam-macam sebab. Salah satu sebabnya adalah
perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat
adaptif. Sebab lain adalah bahwa, melulu karena kebetulan, atau karena sesuatu
sebab lain, suatu bangsa mungkin mengubah pandangannya tentang lingkungannya
dan tentang tempatnya sendiri di dalamnya. Atau, kontak dengan bangsa lain
mungkin menyebabkan diterimanya gagasan “asing”, yang menyebabkan perubahan
dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Ini bahkan dapat berupa
pemasukannya secara besar-besaran tatacara asing melalui penaklukan kelompok
yang satu oleh kelompok yang lain.
Berkaitan
dengan masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, baik yang tradisional maupun yang
modern, selalu ada keyakinan yang bersifat kontradiktif terhadap warisan budaya
dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Hal ini pada sati sisi mereka
menyadari, “sekali air besar sekali tepian berubah”. Dalam artian, bahwa aturan
adat-istiadat mereka dapat menyesuaikan diri dengan gerak perkembangan zaman
dan mereka menyadari adanya sesuatu yang harus mereka terima dari perkembangan
keadaan dan perubahan tersebut.
Pada sisi lain,
juga ada pandangan yang melihat segala sesuatunya harus dipertahankan, karena
ada keyakinan bahwa mereka harus memilihara dan menjaga “warisan budaya” yang
diterima dari nenek moyang mereka. Dengan demikian pada dasarnya masyarakat
yang paling tradisional pun, dapat “menerima” adanya perubahan, walaupun
kadang-kadang dihadapi dengan sikap kritis dan hati-hati. Namun dalam
sosio-kultural masyarakat setempat, antara kehendak untuk melakukan perubahan,
atau memperbarui sesuatu yang mereka miliki dengan keinginan untuk
“mempertahankannya”, lebih sering berjalan seiring, sehingga menjadi sumber
dinamika dan kekuatan budaya dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Pada umumnya
perkembangan kesenian yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat selalu mengikuti
proses perubahan. Menurut Soemardjan, cepat atau lambat proses perubahan
tersebut dapat berlangsung adalah tergantung pada sikap golongan di dalam
masyarakat yang menerimanya. Hal demikian cenderung terjadi pada generasi muda
yang karena umurnya masih merasa bebas untuk membentuk hari depannya, terutama
generasi terpelajar di dalam masyarakat kota, menunjukan gejala lebih mudah
menerima unsur-unsur kebudayaan lain dari pada yang sudah mereka alami. Lebih
lanjut penegasan tersebut dijelaskannya sebagai berikut.
… generasi muda pada
umumnya cenderung untuk menghargai hal-hal yang baru, juga dalam bidang
kesenian, sehingga generasi muda itu cenderung untuk memberikan apresiasi yang
tinggi terhadap kesenian dalam bentuk dan penampilan yang baru pula. Dalam
proses meningkatnya umur para warga generasinya maka lambat laun generasi muda
itu menjadi generasi dewasa, dan kemudian menjadi generasi tua yang konservatif
dan mempertahankan kebudayaan serta kesenian yang mereka kenal dalam hidup
mereka. Secara umum dapat dikatakan bahwa generasi tua berfungsi memelihara
kelestarian kebudayaan untuk diwariskan kepada generasi muda yang menyusulnya.
Adapun generasi muda berfungsi menerima dan memanfaatkan segala unsur
kebudayaan yang mereka warisi, tetapi dengan diadaptasikan melalui
inovasi-inovasi supaya lebih sesuai dengan keperluan hidup yang nyata dan
mengikuti selera zaman yang mereka alam
Bentuk pertunjukan prosesi musik gamat dalam
bentuk lain yang melodinya disajikan melalui instrumen gitar elektrik Oleh
karena itu jumlah kelompok musik gamat sebagai musik prosesi yang
berkembang di kecamatan Koto XI Tarusan pada saat ini ada empat kelompok yang
terdiri dari; tiga kelompok yang melodinya disajikan melalui instrumen biola,
sedangkan yang satu kelompok lagi melodinya disajikan melalui gitar elektrik.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelepor
pelaku perubahan bentuk pertunjukan musik gamat dari bentuk pertunjukan
yang disajikan di dalam rumah atau dipentaskan ke bentuk pertunjukan prosesi
dalam budaya masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, adalah para pekerja musik
itu sendiri. Secara bertahap dengan proses waktu yang cepat, sehingga dapat
dilegitimasi oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang ini.
0 comments:
Post a Comment