Thursday, 18 April 2013

KESENIAN KHAS KOTA PADANG GAMAD



Pada temu karya Taman Budaya se-Indonesia 27 -30 Juli 2009 di samping ditampilkan kesenian dari 33 provinsi tidak ketinggalan pula pagelaran musik gamad dari Kota Padang. Gamad adalah kesenian yang mengabungkan kesenian berbagai etnis.
Hal ini dikatakan oleh Koordinator Pagelaran Musik Gamad yang juga pengurus Himpunan Keluarga Gamad Padang (Hikagapa), Utjok Chalifendri kepada MinangkabauOnline. Utjok menambahkan, gendang ketipung pada gamad berasal dari India, tarian dan sebahagian lagu dari Melayu, alat musik akordion dari Eropa dan bahasa pantun dari Minangkabau.
“Gabungan dari unsur itulah melahirkan musik gamad yang menjadi kesenian khas kota Padang. Asal usul musik gamad bisa di telusuri sampai ke tanah Melayu, karena kemiripan musik dan tariannya. Tapi asal musik gamad juga bisa di telusuri sampai ke Eropa melalui tari Balanse Madam dan alat musik akordion yang terdapat dalam gamad,” katanya.
“Pusat gamad adalah kota Padang. Tapi jangan heran musik gamad cukup terkenal di Minangkabau. Ada tiga etnis pendukung musik gamad, Nias, Keling dan etnis Minangkabau. Etnis Nias adalah paling banyak keterlibatannya dalam musik gamad. Separo pemusik gamad berasal dari etnis Nias. Artinya pusat musik gamad berada pada pemukiman etnis Nias. Walau pun begitu gamad tidak terasa berasal dari satu etnis. Gamad telah menjadi media sosialisasi antar etnis. Masing-masing etnis memberikan kontribusi budaya dalam pembentukan musik gamad. Orang Nias melalui tari Balanse Madam, etnis Keling melalui alat musik gendang dan kemampuan manajemen dan pemasaran etnis Minangkabau melalui lagu dan aneka ragam pantun,” papar Utjok.
Musik gamad dimainkan oleh anak kapal. Dalam gerak meninggalkan tari Balanse Madam. Tari ini tidak berkembang dengan baik, karena ada aturan dalam adat di Minangkabau perempuan dilarang keluar malam. Alat musik yang dimainkan oleh orang Portugis bukanlah milik nenek moyangnya tapi dari benua Afrika. Musik itu pindah ke semenanjung Balkan baru sampai ke Portugis. Bisa dipastikan hampir semua alat musik yang berada di pesisir pantai Sumatera (Melayu Deli) dan Jawa punya ikatan yang sangat kuat dengan Portugis.
Awalnya gamad hanya memakai biola, akordion, gitar dan gendang. Namun alat musik Marakas, sring bass dan terompet ikut meramaikan kasanah musik gamad lirik pun masih mengunakan pantun sebagai kekuatan utama. Pada tahun 1920 gamad sudah berkembang di kota Padang. Pada masa itu pagelaran musik gamad dilakukan sembunyi- sembunyi. Hanya ada dua tempat waktu itu untuk mengelar musik gamad itu pun atas izin pemerintah Belanda. Pertama di Sri Darma sekarang gedung Bagindo Azis Chan dan gedung bulat (sekarang menjadi gedung Juang 45 di Pasar Mudik).
Awal kemerdekaan gamad masih berkibar. Berkat perhatian Walikota Padang yang waktu itu dijabat oleh Zainal Abidin Sutan Pangeran (1953) gamad di perlombakan di kantor Walikota Padang. Tapi sayang pada perang PRRI musik gamad hilang dari peredaran. Setelah pemberontakan PKI pertengahan tahun 60-an musik gamad kembali terdengar ketika alat musik eliktrik sudah mulai dipakai. Pemerintah kota Padang sangat besar perhatiannya terhadap musisi musik gamad. Zainal Abidin Sutan Pangeran menjadikan seniman gamad karyawan Balai Kota. MT Japang dan Juned (Ayah Yan Juned) menjadi mantri pasar. Dasar walikota waktu menjadikan dua orang musisi musik gamad menjadi karyawan agar musisi gamad itu tidak memikirkan uang untuk keluarga lagi. “Perlakuan seperti ini tidak lagi kita dapatkan dari pemerintah,” kata Utjok.
Pada tahun yang sama sempat pula grup musik gamad Fajar Timur direkam dalam pita besar bermerek Colombia, rekaman pun berlansung di Singapura. Barulah pada tahun 1995 musik gamad mengalami kemunduran, baik dari segi grup maupun penampilan. Musik gamad jarang mendapat undangan pada setiap perkawinan.
Gamad adalah kesenian musik khas Padang dari pengaruh musik Portugis. Ini dapat dilihat dari alat-alat musik khas Portugis (Eropa) yang dipakai seperti biola, akordion, saksofon, terompet, dan gendang rampak. Hanya saja lagunya sudah khas Padang dengan
syair-syair yang penuh ratap dan beriba hati, meski terkadang dinyanyikan dengan lenggang-lenggok.
“Orang-orang Portugis suka berpesta dengan bernyanyi diiringi grup musik di atas kapal, saat itulah orang Minang dan Nias ikut serta, kemampuan menguasai alat musik dan bernyanyi ini kemudian mereka bawa ke darat sebagai cikal bakal gamad,” kata Taswir Zubir, Ketua Hikagapa (Himpunan Keluarga Gamad Padang).
Oleh seniman Gamad permainan musik ala Portugis disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk syair-syair berbahasa Minang, membuat gamad mempunyai ciri khasnya sendiri.
Kini musik gamad mulai terancam hilang karena tidak banyak lagi yang bisa memainkan musik gamad. Bahkan kini tidak ada lagi yang bisa memainkan terompet untuk musik Gamad karena orangnya sudah meninggal beberapa tahun lalu.
“Yang bisa memainkan saksofon dan akordeon saja kini saya perkirakan tinggal dua orang,” kata Taswir mengaku lebih menguasai biola.
Karena tak ingin musik Gamad benar-benar punah,13 tahun lalu para pencinta musik Gamad membuat komunitas yang bernama Hikagapa. Anggotanya adalah keluarga besar pencinta musik gamad mulai yang hanya bisa menikmati saja hingga pemusik dan penyanyi Gamad dengan jumlah hampir 100 orang.
Saat ini ada 10 grup gamad di Padang. Grup-grup ini juga sering diundang para perantau Minang ke Jakarta atau daerah lain untuk mengisi acara pesta perkawainan. Namun, sebagian besar pemusik dan penyanyi ini hanya menjadikan gamad sebagai hobi dan mereka memiliki pekerjaan lain untuk menghidupi diri.


Musik Gamad yang Pluralis
Musik Gamad dalam sejarahnya adalah musik yang menampung berbagai etnis yang ada di Kota Padang. Pada mulanya gamad tak hanya dimainkan oleh orang Minang dan Nias, tetapi juga orang India yang tinggal di Padang. Kemahiran orang India memainkan gendang membuat mereka ikut ambil bagian dalam grup gamad. Penyesuaian permainan musik ala Portugis dengan kondisi lokal, termasuk syair-syair berbahasa Minang, membuat gamad mempunyai ciri khasnya sendiri.
Para pemusik, penyanyi, dan penggemar gamad dari berbagai etnis seperti Minang, Nias, dan India yang juga berlatar belakang agama yang berbeda (sebagian besar orang Minang dan India beragama Islam, sedangkan Nias beragama Protestan), membuat musik ini penuh nuansa pluralisme.
Hingga kini orang Nias tetap mengambil peran sebagai pemusik, penyanyi, maupun penonton setia Gamad di Padang.
Taswir Zubir masih punya mimpi membuat festival lomba lagu Gamad untuk menemukan bibit penyanyi gamad baru yang cantik dan lincah mendendangkan cengkok nada-nada tinggi lagu Gamad.
Musik gamat di kota Padang Rizaldi juga mengungkapakan bahwa kalau ditilik dari ciri-ciri musik tersebut, yaitu melalui instrumen musik yang digunakan diantaranya: biola, accordeon, dan gitar, jelas kesemuanya itu adalah hasil teknologi budaya Barat dan berbeda konsepnya dengan instrumen musik pribumi Minangkabau, baik dari bentuk fisik maupun sistem tangga nada maupun harmoni. Dalam hal ini bagi masyarakat pribumi khususnya Padang (Minangkabau Pesisir), instrumen musik tersebut diadaptasikan dengan budaya musik masyarakat setempat, sehingga lahirlah genre musik baru yang disebut gamat. Sebalik-nya unsur budaya musik pribumi yang dapat dibaurkan dengan instrumen musik Barat antara lain: vokal, karena instrumen ini sifatnya fleksibel dapat menyesuaikan dari berbagai macam tangganada dan instrumen. Dengan demkian akan terlihatlah bahwa keberadaan musik gamat dikota Padang adalah merupakan sebuah akulturasi antara budaya pribumi dan budaya Barat yang meliputi; Minangkabau, Melayu, dan Portugis.
Tumbuh dan berkembangnya musik gamat di kota Padang adalah sejak tahun 1920-an, yang fungsi awalnya adalah sebagai hiburan keluarga dan terus berkembang, sehingga digunakan untuk acara perhelatan perkawinan. Sungguhpun pada masa itu, musik gambus dan keroncong juga ikut berkembang, tetapi kehadirannya tidak mempengaruhi perkembangan musik gamat di kota tersebut. Namun semenjak itulah dinamikan musik gamat di kota Padang berkembang sampai sekarang, dapat dijadikan budaya tradisional dalam berbagai acara pesta perkawinan baik oleh masyarakat Padang maupun masyarakat pesisir Minangkabau lainnya.

A. Musik Gamat Sebagai Seni Pertunjukan Pentas
Bertitik tolak dari keberadaan musik gamat di kota Padang, sangat berpengaruh sekali tumbuh dan berkembangnya musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan, karena secara geografis kota Padang merupakan daerah perbatasan wilayah utara Kecamatan Koto XI Tarusan. Dengan demikian, tak mengeherankan kedua daerah ini mempunyai kebudayaan relatif sama, karena terletak dikawasan pantai yang berdekatan disebut daerah Rantau Pesisir Minangkabau.
Menurut seorang ulama dan juga sebagai musisi, Khatib Mahyuddin mengatakan, bahwa kehadiran musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan adalah dilatar belakangi oleh tumbuh dan berkembangnya musik gambus pada tahun 1930 sampai pada tahun 1945. Oleh karena sebagian besar pemain musik gamat pada masa itu berasal dari kelompok musik gambus, maka kehadiran musik tersebut merupakan jembatan untuk berdirinya musik gamat.
Berkembangnya musik gambus di daerah kecamatan Koto XI Tarusan adalah hasil belajar yang didapat oleh khatib Mahyuddin dari kota Padang, pada saat itu ia sekolah (mengaji agama) Tarbiah Islamiah di Teluk Bayur dan Gauang Padang. Musik ini dikembangkannya di daerah kecamatan Koto XI Tarusan, bersama temannya bernama Yusup, pada saat itu ia memainkan harmonium, sedangkan Yusup memainkan biola. Berdasarkan kreatifitas dari kedua orang tersebut, sehingga terbentuklah permainan musik duet dan berkembang sampai menjadi sebuah kelompok musik gambus. Namun instrumen musik yang dimainkan juga berkembang meliputi; biola, gitar, harmonium, gambus, benyol, kulele, rumba, marwas, tipa, gendang dan instrumen lainnya. Pesatnya perkembangan musik gambus tersebut dapat digunakan untuk acara-acara adat-istiadat seperti acara perhelatan perkawinan, bahkan pertunjukannya sampai keluar dari wilayah Kecamatan Koto XI Tarusan seperti Bayang (Pasar Baru). Namun musik ini tidak bertahan lama karena kalah saingan dengan tumbuhnya dan berkembangnya musik gamat dan orkes (penamaan kelompok musik)
Menurut Nazaruddin seorang musisi musik gamat mengatakan bahwa kehadiran musik gamat di kecamatan Koto XI Tarusan sudah ada semenjak tahun 1932. Pada saat itu kelompok musik gamat bernama Muda Setia. Adapun jenis instrumen yang dimainkan adalah terdiri dari; biola, harmonium, gitar, gendang dan tambourin. Keberadaan musik gamat pada waktu itu, hanya berfungsi untuk kepuasan dan hiburan para pemain dan keluarga (belum digunakan untuk acara pesta perkawinan). Namun tumbuh dan berkembang musik gamat di kecamatam Koto XI Tarusan adalah bawaan dari pemuda-pemuda daerah tersebut yang pada saat itu banyak berkerja di Padang maupun sebagai
pelajar dan sebagainya
Menurut Sutan Darwis, sejak tahun 1940 terbentuknya organisasi pemuda bernama KASGAN di kecamatan Koto XI Tarusan yaitu untuk menampung wadah berbagai kegaitan seperti kesenian dan olah raga. Semenjak ada organisasi tersebut terjadinya dikotomi jenis musik yaitu musik gamat dan orkes. Kehadiran kelompok orkes pada saat itu hanya berfungsi sebagai hiburan dan kepuasan para pemain saja, kalau ada digunakan masyarakat untuk acara-acara perhelatan perkawinan sangat jarang sekali. Kecuali acara-acara yang sifatnya untuk para keluarga anggota atau pemain itu sendiri. Adapun instrumen yang dimainkan pada kelompok orkes terdiri dari; biola, gitar, string bass, accordeon, conga, tipa, gendang, kolele dan sebagainya. Namun pada akhirnya lima tahun kemudian musik orkes mengalami berkembangan, tidak saja difungsikan sebagai hiburan pribadi para pemain saja, akan tetapi sudah mulai digunakan untuk acara perhelatan perkawinan.
Tak mengherankan semenjak berdirinya organisasi pemuda itu pulalah fungsi musik gamat di tengah-tengah masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, mulai berkembang dari pada masa sebelumnya, keberadaannya tidak saja sebagai hiburan para pemain dan keluarga, akan tetapi sudah digunakan untuk acara-acara adat-istiadat seperti acara perhelatan perkawinan. Oleh karena musik ini sudah merupakan suatu wadah pertunjukan dalam kegiatan sosial budaya masyarakat, maka disiplin dalam kegiatan seperti, latihan, pertunjukan, bahkan tata kerama sebagai pemainpun sudah mulai diperhatikan, sesuai dengan aturan-aturan yang ada pada kelompok musik tersebut. Bentuk pertunjukan pada saat itu belum memakai pentas hanya bermain di dalam rumah. Tata kerama bermain di dalam rumah ini, sesuai dengan aturan kedisiplinan mereka, si pemain tidak boleh berpindah-pindah tempat duduk yang telah ditentukan dari awal bermain musik gamat sampai akhir, sungguhpun mereka ada yang bernyanyi berdiri atau menari dan sebagainya, namun mereka harus kembali ke tempat duduk asalnya. Selanjutnya para pemain yang berada di tempat pertunjukan (di rumah perhelatan) tidak boleh melihat-lihat kekamar pengantin, karena secara adat dianggap tidak sopan. Kalau hal demikian terjadi ada sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan demikian pada waktu itu di daerah kecamatan Koto XI Tarusan sudah adanya tata tertib atau aturan-aturan kedisiplinan dalam mewujudkan sebuah pertunjukan musik.
Pada tahun 1974-1985 kelompok musik orkes mengalami perubahan dengan tumbuh dan berkembangnya musik band dengan berbagai instrumen elektronik, sehingga sebagian pemain orkes yang muda-muda berpindah pada kelompok musik tersebut. Instrumen pada kelompok musik band meliputi; tiga buah gitar elektrik (masing-masingnya digunakan untuk permainan melodi, akor, dan bass), seperangkat drums, dan vokal dan seperangkat sound sistem. Dengan munculnya teknologi elektronik untuk musik band, jenis lagu-lagu yang disajikan tidak saja meliputi; pop, rock, melayu dan dangdut, tetapi sudah dimulai juga penggabungannya dengan kelompok musik gamat. Adapun fungsinya adalah sebagai hiburan yang digunakan dalam acara pesta perkawinan. Sudah merupakan kebiasaan dalam acara perhelatan perkawinan pertunjukan musik band dilaksanakan pada siang hari, sedangkan untuk penggabungan musik gamat dengan musik band yang secara aturan pertunjukannya tetap membawakan lagu-lagu gamat dilaksanakan pada malam hari. Pada saat itu pulalah tempat pertunjukan berpindah dari dalam rumah ke atas pentas, karena situasinya tidak memungkin lagi dimainkan didalam ruangan tertutup.
Pada tahun 1986 berdasarkan pengamatan penulis, kedua jenis musik ini kalah bersaing dengan masuknya kibord elektrik yang memiliki teknologi canggih, dimana dengan bermacam-macam jenis musik yang dimainkan oleh satu orang musisi untuk mewujudkan musik yang diinginkannya, cukup melalui satu instrumen saja, yang secara keseluruhan dapat disajikan melalui program kibord elektrik tersebut. Hal lain disebabkan instrumen elektronik yang dimiliki oleh kelompok musik band dan gamat ini, disamping tidak mampu lagi bersaing dengan perkembangan zaman, juga tidak mampunya organisasi mereka membeli instrumen elektronik baru yang harganya relatif mahal.
Secara ekonomis keberadaan musik kibord elektrik ini disamping biaya jem-putannya relatif kecil, dibandingkan dengan musik band dan gamat, dan terjangkau oleh masyarakat umum, sehingga cenderung masyarakat berpikir praktis terhadap pengguna-an musik kibord elektrik yang efisien itu. Status musik kibord elektrik ini bukan milik organisasi akan tetapi adalah milik anggota masyarakat itu sendiri yang sifatnya pribadi. Dengan munculnya musik tersebut, akibatnya kedua jenis musik seperti band dan gamat yang dilengkapi oleh peralatan elektronik sederhana itu, mengalami kemacetan dalam perkembangannya.
B. Musik Gamat Sebagai Seni Pertunjukan Prosesi
Berdasarkan pokok pikiran dan uraian di atas, tak mengherankan bahwa perubahan mungkin saja terjadi, karena keinginan-keinginan kelompok masyarakat atau keinginan individu-individu yang ada dalam kelompok masyarakat pendukungnya. Dalam artian, ketika ada suatu krisis dalam masyarakat yang bersangkutan, berarti bahwa dalam masyarakat itu ada sejumlah orang yang menentang keadaan karena mereka sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat sekelilingnya dan tidak merasa puas dengan keadaan itu.
Tak dapat dipungkiri bahwa tanpa adanya kemampuan untuk menciptakan gagasan baru dan mengubah pola laku yang ada, tidak ada masyarakat manusia yang dapat bertahan. Sungguhpun kebudayaan tersebut kokoh, mantap, tetapi kadang-kadang dengan kelenturannya juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang berubah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan merupakan karakteristik dari semua kebudayaan yang dilakukan oleh para individu-idividu atau kelompok-kelompok, sehingga dapat berkembang menurut tuntutan zaman.
Berkembangnya suatu kebudayaan sesuai dengan tututan zaman, adalah produksi perubahan dari waktu ke waktu karena bermacam-macam sebab. Hal yang demikian dipertegas oleh Havilland sebagai berikut.
Semua kebudayaan pada suatu waktu berubah karena bermacam-macam sebab. Salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Sebab lain adalah bahwa, melulu karena kebetulan, atau karena sesuatu sebab lain, suatu bangsa mungkin mengubah pandangannya tentang lingkungannya dan tentang tempatnya sendiri di dalamnya. Atau, kontak dengan bangsa lain mungkin menyebabkan diterimanya gagasan “asing”, yang menyebabkan perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Ini bahkan dapat berupa pemasukannya secara besar-besaran tatacara asing melalui penaklukan kelompok yang satu oleh kelompok yang lain.
Berkaitan dengan masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, baik yang tradisional maupun yang modern, selalu ada keyakinan yang bersifat kontradiktif terhadap warisan budaya dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Hal ini pada sati sisi mereka menyadari, “sekali air besar sekali tepian berubah”. Dalam artian, bahwa aturan adat-istiadat mereka dapat menyesuaikan diri dengan gerak perkembangan zaman dan mereka menyadari adanya sesuatu yang harus mereka terima dari perkembangan keadaan dan perubahan tersebut.
Pada sisi lain, juga ada pandangan yang melihat segala sesuatunya harus dipertahankan, karena ada keyakinan bahwa mereka harus memilihara dan menjaga “warisan budaya” yang diterima dari nenek moyang mereka. Dengan demikian pada dasarnya masyarakat yang paling tradisional pun, dapat “menerima” adanya perubahan, walaupun kadang-kadang dihadapi dengan sikap kritis dan hati-hati. Namun dalam sosio-kultural masyarakat setempat, antara kehendak untuk melakukan perubahan, atau memperbarui sesuatu yang mereka miliki dengan keinginan untuk “mempertahankannya”, lebih sering berjalan seiring, sehingga menjadi sumber dinamika dan kekuatan budaya dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Pada umumnya perkembangan kesenian yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat selalu mengikuti proses perubahan. Menurut Soemardjan, cepat atau lambat proses perubahan tersebut dapat berlangsung adalah tergantung pada sikap golongan di dalam masyarakat yang menerimanya. Hal demikian cenderung terjadi pada generasi muda yang karena umurnya masih merasa bebas untuk membentuk hari depannya, terutama generasi terpelajar di dalam masyarakat kota, menunjukan gejala lebih mudah menerima unsur-unsur kebudayaan lain dari pada yang sudah mereka alami. Lebih lanjut penegasan tersebut dijelaskannya sebagai berikut.
… generasi muda pada umumnya cenderung untuk menghargai hal-hal yang baru, juga dalam bidang kesenian, sehingga generasi muda itu cenderung untuk memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kesenian dalam bentuk dan penampilan yang baru pula. Dalam proses meningkatnya umur para warga generasinya maka lambat laun generasi muda itu menjadi generasi dewasa, dan kemudian menjadi generasi tua yang konservatif dan mempertahankan kebudayaan serta kesenian yang mereka kenal dalam hidup mereka. Secara umum dapat dikatakan bahwa generasi tua berfungsi memelihara kelestarian kebudayaan untuk diwariskan kepada generasi muda yang menyusulnya. Adapun generasi muda berfungsi menerima dan memanfaatkan segala unsur kebudayaan yang mereka warisi, tetapi dengan diadaptasikan melalui inovasi-inovasi supaya lebih sesuai dengan keperluan hidup yang nyata dan mengikuti selera zaman yang mereka alam
Bentuk pertunjukan prosesi musik gamat dalam bentuk lain yang melodinya disajikan melalui instrumen gitar elektrik Oleh karena itu jumlah kelompok musik gamat sebagai musik prosesi yang berkembang di kecamatan Koto XI Tarusan pada saat ini ada empat kelompok yang terdiri dari; tiga kelompok yang melodinya disajikan melalui instrumen biola, sedangkan yang satu kelompok lagi melodinya disajikan melalui gitar elektrik. Dengan demikian berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelepor pelaku perubahan bentuk pertunjukan musik gamat dari bentuk pertunjukan yang disajikan di dalam rumah atau dipentaskan ke bentuk pertunjukan prosesi dalam budaya masyarakat kecamatan Koto XI Tarusan, adalah para pekerja musik itu sendiri. Secara bertahap dengan proses waktu yang cepat, sehingga dapat dilegitimasi oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang ini.

Kritik dan Sarannya silakan

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates