Tuesday 23 July 2013

PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA DAN UPAYA PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA dan MEMPERSIAPKAN KEMERDEKAAN INDONESIA




     I . PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA

    A. Latar Belakang Timbulnya Pergerakan Nasional.
Sejak menginjakkan kakinya di bumi Indonesia pada tahun 1956, penjajah
Belanda kurang memperhatikan kesejahteraan golongan pribumi (orang-orang
Indonesia). Mereka terus mengeruk kekayaan alam dan menindas rakyat Indonesia,
tanpa mau memperhatikan nasib rakyat itu sendiri. Pada akhir abad ke-19, C.Th.van
Deventer mengkritik keadaan itu melalui salah satu karangannya yang berjudul
Utang Budi.
C.Th van Deventer antara lain menyetakan bahwa kemakmuran Belanda
diperoleh berkat kerja dan jasa orang Indonesia. Oleh sebab itu, bangsa Belanda
sebagai bangsa yang maju dan bermoral harus membayar utang budi kepada bangsa
Indonesia. Caranya adalah dengan menjalankan Politik Balas Budi atau dikenal
dengan sebutan Politik Etis.
Politik Etis yang diuslkan olehC.Th van Deventer berisi tentang perbaikanperbaikan
dalam bidang irigasi (pengairan), transmigrasi (perpindahan), dan
edukasi (pendidikan). Akan tetapi pelaksanaannya tidak terlepas dari kepentingan
pemerintah Hindia Belanda. Politik Etis sebenarnya merupakan bentuk penjajahan
kebudayaan yang halus sekali. Program edukasi itu sendiri sebenarnya merupakan
pelaksanaan dari Politik Asosiasi yang berarti penggantian kebudayaan asli tanah
jajahan dengan kebudayaan penjajah.
Walaupun menyimpang dari tujuan semula, beberapa pelaksanaan dari
Politik Etis telah membawa pengaruh yang baik. Misalnya, dengan didirikannya
sekolah-sekolah untuk golongan pribumi. Tujuannya adalah untuk memperoleh
tenaga baru pegawai rendah yang bersedia digaji lebih murah dari pada tenaga
bangsa-bangsa Belanda.
Banyaknya penduduk pribumi yang bersekolah telah menghasilkan kaum
cerdik pandai dikalangan penduduk pribumi. Kaum cerdik pandai inilah yang
mempelopori kesadaran kebangsaan, yaitu suatu kesadaran tentang perlunya
persatuan dan kesatuan bangsa. Peristiwa timbulnya kesadaran berbangsa disebut
Kebangkitan Nasional Indonesia. Kaum cerdik pandai ini pula yang mempelopori
dan memimpin pergerakan nasional pada awal abad ke-20.

   B. Organisasi-Organisasi dan Tokoh-Tokoh Pergerakan Nasional.
1. Budi Utomo.
Pada tahun 1906 di Yogyakarta dr. Wahidin Sudirohusodo mempunyai
gagasan untuk mendirikan studiefonds atau dana pelajar. Tujuannya adalah
mengumpulkan dana untuk membiayaai pemuda-pemuda bumi putra yang pandai,
tetapi miskin agar dapat memneruskan ke sekolah yang lebih tinggi. Untuk
mewujudkan gagasan nya tersebut, beliau mengadakan perjalanan keliling jawa.
Ketika sampai di Jakarta, dr. Wahidin Sudirohusodo bertemu dengan
mahasiswa-mahasiswa STOVIA. STOVIA adalah sekolah untuk mendidik dokterdokter
pribumi. Mahasiswa-mahasiswa tersebut antara lain Sutomo, Cipto
Mangunkusumo, Gunawan Mangunkusumo, Suraji, dan Gumbrek. Dr. Wahidin
Sudirohusodo memberikan dorongan kepada mereka agar membentuk suatu
organisasi. Dorongan tersebut mendapat sambutan baik dari para mahasiswa
STOVIA.
Pada tanggal 20 Mei 1908 bertempat di Gedung STOVIA. Para mahasiswa
STOVIA mendirikan organisasi yang diberi nama Budi Utomo. Budi Utomo artinya
budi yang utama. Tanggal berdirinya Budi Utomo yaitu 20 Mei dijadikan sebagai
Hari Kebangkitan Nasional.
2. Serikat Dagang Islam.
Revolusi Nasional Cina yang dipelopori oleh dr. Sun Yat Sen pada tanggal
10 Oktober 1911 telah berpengaruh terhadap orang-orang Cina perantauan di
Indonesia. Mereka segera mendirikan ikatan-ikatan yang bercorak nasionalis Cina.
Kedudukan mereka dibidang ekonomi sangat kuat. Mereka menguasai penjualan
bahan-bahan batik. Para pedagang batik pribumi merasa terdesak atau dirugikan.
Untuk menghadapi para pedagang Cina itu, pada tahun 1911 para pedagang
batik Solo dibawah pimpinan H. Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam
(SDI). Tujuan berdirinya Sarikat Dagang Islam adalah :
a. Memajukan perdagangan.
b. Melawan monopoli pedagang tionghoa, dan
c. Memajukan agama Islam.
Serikat Dagang Islam mengalami perkembangan pesat karena bersifat nasionalis,
religius, dan ekonomis.
3. Indische Partij.
Indische Partij didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 .
Pendirinya adalah dr. E.F.E Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar
Dewantara.
IP bertujuan mempersatukan bangsa Indonesia untuk mencapai
kemerdekaan. Tokoh-tokoh IP menyebarluaskan tujuannya melalui surat kabar.
Dalam waktu singkat IP mempunyai banyak anggota. Cabang-cabangnya tersebar di
seluruh Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda menganggap organisasi ini
membahayakan kedudukannya. Pada bulan Maret 1913 Pemerintah Hindia Belanda
melarang kegitan IP. Pada bulan Agustus tahun yang sama para pemimpin IP dijatuhi
hukuman pengasingan.
4. Partai Nasional Indonesia.
Pada tanggal 4 Juli 1927 para pengurus Algemeene Studie Club
(Kelompok Belajar Umum) di Bandung mendirikan perkumpulan baru
yang dinamakan Perserikatan Nasional Indonesia. Mereka adalah Ir. Soekarno,
Mr. Sartono, dr. Samsi, Mr. Iskaq Cokrohadisuryo, Mr. Budiarto, Mr. Ali
Sastroamijoyo, Mr. Sunario, dan Ir. Anwari. Perkumpulan ini kemudian berganti
nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI), dll.
C. Usaha Mempersatukan Partai-Partai.
Di Indonesia terdapat berbagai pergerakan yang terpisah-pisah satu sama
lain. Keadaan ini kurang menguntungkan bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk
menuju Indonesia merdeka. Beberapa tokok pergerakan segera menyadari keadaan
ini. Mereka berusaha mempersatukan organisasi-organisasi pergerakan yang ada pada
waktu itu.
1. Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI) didirikan pada tanggal 17 Desember 1927. Anggopta PPPKI terdiri atas
Partai Nasional Indonesia, Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen
Bond, Kaum Betawi, dan Indonesische Studie Club. Tujuan PPPKI adalah :
a. Menyamakan arah aksi kebangsaan serta memperkuat dan
memperbaiki organisasi dengan melakukan kerjasama diantara
anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para anggotanya yang dapat
memperlemah aksi kebangsaan.
Pengurus PPPKI disebut Majelis Pertimbangan yang terdiri atas ketua,
penulis, bendahara, dan wakil-wakil dari partai-partai yang tergabung didalamnya.

2. Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
GAPI adalah organisasi kerja sama antara partai-partai politik di
Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 21 Mei 1939. GAPI berdiri atas
prakarsa Muhammad Husni Thamrin. Anggota GAPI adalah Parindra,
Pasundan,Gerindo, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan Politik Katolik
Indonesia. GAPI membentuk pengurus yang disebut Secretariat Tetap. Pengurus
Sekretariat Tetap dijabat oleh Abikusno Cokrosuyoso dari PSII 9Penulis Umum ),
Muhammad Husni Thamrin dari Parindra (bendahara), dan Mr. Amir Syarifuddin dari
Gerindo (pembantu penulis).
GAPI beberapa kali mengadakan kongres. Pada Kongres Rakyat Indonesia
yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Desember 1939 dihasilkan beberapa
keputusan sebagai berikut :
a. Menuntut Indonesia berparlemen. Tuntutan ini dilakukan sebagai reaksi
atas ditolaknya Petisi Sutarjo dalam Volskraad sehingga Volskraad
dianggap bukan parlemen.
b. Diakuinya Merah Putih sebagai bendera persatuan, Indonesia Raya
sebagai lagu persatuan, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
D. Pergerakan Kaum Wanita.
Pada awalnya pergerakan wanita Indonesia dilakukan oleh perorangan.
Pelopor pergerakan wanita pada masa itu adalah R.A Kartini dan R. Dewi Sartika .
Keduanya ingin mengangkat derajat kaum wanita melalui pendidikan.
Perhatian yang besar dari R.A Kartini dan R. Dewi Sartika terhadap kaum
wanita telah mengilhami pergerakan kaum wanita untuk membentuk organisasi. Pada
awalnya tujuan organisasi perempuan itu untuk memperbaiki kedudukan sosialnya.
Namun, dalam perkembangannya organisasi itu juga berwawasan kebangsaan.
1. Kongres I Perempuan Indonesia.
Pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 beberapa perkumpulan perkumpulan
wanita Indonesia mengadakan Kongres Perempuan Indonesia. Tujuan kongres adalah
mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan wanita Indonesia. Dalam
kongres tersebut antara lain diputuskan mendirikan gabungan perkumpulan wanita
yang bernama Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI).
2. Istri Sedar (IS).
Pada tangga 22 Maret 1930 di Bandung didirikan perkumpulan Istri
Sedar. Pendirinya adalah Nona Suwarni Joyoseputro. Tujuannya menuju pada
kesadaran wanita Indonesia dan derajat hidup Indonesia untuk mempercepat dan
menyempurnakan Indonesia merdeka. Meskipun bukan merupakan organisasi politik,
tetapi dalam kampanyenya Istri Sedar sering menyarakan sikap antipenjajah. Oleh
sebab itu, organisasi ini mendapat pengawasan dari Pemerintah Hindia Belanda.
E. Sumpah Pemuda
1. Pergerakan Pemuda Berdasarkan Kedaerahan
para pemuda tidak tinggal diam melihat penderitaan yang dialami
bangsanya. Mereka segera mendirikan perkumpulan-perkumpulan kepemudaan.
Mula-mula perkumpulan itu bersifat kedaerahan. Akhirnya, perkumpulanperkumpulan
tersebut menjadi bersifat nasional. Perkumpulan- perkumpulan
kepemudaan yang bersifat kedaerahan antara lain :
a. Tri Koro Darmo
Tri Koro Darmo didirikan pada tanggal 7 maret 1915 di gedung Kebangkitan
Nasional, Jakarta. Tri Koro Darmo artinya Tiga Tujuan Mulia. Tri Koro Darmo
didirikan oleh dr. Satiman Wiryosanjoyo (ketua), Wongsonegoro (wakil ketua), dan
Sutomo (sekretaris). Sebagian beasar anggotannya adalah murid-murid sekolah
menengah asal Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada kongres I yang diselenggarakan
di Solo pada tanggal 12 Juni 1918, nama Tri Koro Darmo diubah menjadi Jong
Javanen Bond (Jong Java).
b. Jong Minahasa
Perkumpulan ini didirikanpada tanggal 6 Januari 1918. tujuannya adalah
mempererat rasa persatuan sesama pemuda yang berasal dari Minahasa dan
memajukan kebudayaan daerah Minahasa. Tokoh-tokohnya antara lain : T.A.
Kandou, J.S. Warouw, L. Palar, dan R.C.L Senduk.
2. Pergerakan Pemuda dalam Bentuk Kelompok Belajar
a. Indonesiche Studie Club (ISC)
Didirikan di Surabaya pada tanggal 11 Juni 1924. pendirinya adalah dr. Sutomo.
Tujuan ISC adalah memberi semangat kaum terpelajar agar memiliki kesadaran
terhadap masyarakat, memperdalam pengetahuan politik, serta mendiskusikan
masalah-masalah pelajaran dan perkembangn sosial politik Indonesia. ISC kemudian
menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia.
b. Algemeene Studie Club (ASC)
Didirikan di Bandung oleh Ir. Soekarno dan Ir. Anwari. Tujuannya sama dengan
ISC. Asas perjuangannya adalah nonkooperasi. ASC kemudian menjadi Partai
Nasional Indonesia.
3. Pergerakan Pemuda Berdasarkan Kebangsaan dan Keagamaan
a. Perhimpunan Indonesia (PI)
Didirikan di Belanda pada tahun 1908. Mula-mula bernama Indonesiche
Vereeniging, pada tahun 1925 diubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia.
Pada tahun 1927 pemerintah Belanda menahan para pengurus PI antara lain : Moh.
Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, A. M. Joyodiningrat, dan Ali Sastroamijoyo. Mereka
kemudian diadili di pengadialan Den Haag, Belanda.
b. Jong Islamienten Bond
Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 1 Januari 1926 oleh anggotanya yang
keluar dari Jong Java. Tokoh-tokohnya antara lain : R. Sam Haji Agus Salim, Moh.
Rum, Wiwoho, Hasim, Sadewo, M. Juari, dan Kasman Singodimejo.


Organisasi Pergerakan Nasional Budi Utomo Menghadapi Kekuasaan Kolonial Hindia Belanda Tahun 1908
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan modern yang pertama di Indonesia dengan memiliki struktur organisasi pengurus tetap, anggota, tujuan dan juga rencana kerja dengan aturan-aturan tertentu yang telah ditetapkan. Budi utomo pada saat ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu STM yang memiliki siswa yang suka tawuran, bikin rusuh, bandel, dan sebagainya. Biasanya anak sekolah tersebut menyebut dengan singkatan Budut / Boedoet (Boedi Oetomo). Pada artikel kali ini yang kita sorot adalah Budi Utomo yang organisasi jaman dulu, bukan yang STM.
Budi Utomo didirikan oleh mahasiswa STOVIA dengan pelopor pendiri Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang bertujuan untuk memajukan Bangsa Indonesia, meningkatkan martabat bangsa dan membangkitkan Kesadaran Nasional. Tanggal 20 Mei 1908 biasa diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia.
Sebagai suatu organisasi yang baik, Budi Utomo memberikan usulan kepada pemerintah Hidia Belanda sebagai mana berikut ini :
1. Meninggikan tingkat pengajaran di sekolah guru baik guru bumi putera maupun sekolah priyayi.
2. Memberi beasiswa bagi orang-orang bumi putera.
3. Menyediakan lebih banyak tempat pada sekolah pertanian.
4. Izin pendirian sekolah desa untuk Budi Utomo.
5. Mengadakan sekolah VAK / kejuruan untuk para bumi putera dan para perempuan.
6. Memelihara tingkat pelajaran di sekolah-sekolah dokter jawa.
7. Mendirikan TK / Taman kanak-kanak untuk bumi putera.
8. Memberikan kesempatan bumi putra untuk mengenyam bangku pendidikan di sekolah rendah eropa atau sekolah Tionghoa - Belanda.
Kongres pertama budi utomo diadakan di Yogyakarta pada oktober 1908 untuk mengkonsolidasikan diri dengan membuat keputusan sebagai berikut :
1. Tidak mengadakan kegiatan politik.
2. Bidang utama adalah pendidikan dan kebudayaan.
3. Terbatas wilayah jawa dan madura.
4. Mengangkat R.T. Tirtokusumo yang menjabat sebagai Bupati Karanganyar sebagai ketua.
Pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan Budi Utomo sebaga badan hukum yang sah karena dinilai tidak membahayakan, namun tujuan organisasi Budi Utomo tidak maksimal karena banyak hal, yakni :
1. Mengalami kesulitan dinansial
2. Kelurga R.T. Tirtokusumo lebih memperhatikan kepentingan pemerintah kolonial daripada rakyat.
3. Lebih memajukan pendidikan kaum priyayi dibanding rakyat jelata.
4. Keluarga anggota-anggota dari golongan mahasiswa dan pelajar.
5. Bupati-bupati lebih suka mendirikan organisasi masing-masing.
6. Bahasa belanda lebih menjadi prioritas dibandingkan dengan Bahasa Indonesia.
7. pengaruh golongan priyayi yang mementingkan jabatan lebih kuat dibandingkan yang nasionalis.
Keterangan :
Bumi Putera adalah bukan bank atau lembaga keuangan bisnis lainnya, tetapi yang dimaksud dengan bumi putera adalah warga pribumi yang pada zaman dahulu dianggap sebagai warga tingkat rendah dibanding warga ras eropa, cina, arab, dan lain-lainnya.





Nasionalisme, Islam, dan Kebangkitan Indonesia
Gerakan kebangkitan nasional muncul sebagai gerakan modern pada pergantian abad ke-19 dan ke-20. Munculnya Budi Utomo [1908], Syarikat Dagang Islam atau SDI [1911] yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam atau SI [1912], Muhammadiyah [1912], kemudian Nahdlatul Ulama [1926], dan Sumpah Pemuda [1928], semua itu diyakini sebagai gerakan dan artikulasi politik yang menjadi fondasi kesadaran nasionalisme, yang kelak menjadi faktor pendorong utama dalam perjuangan meraih kemerdekaan bangsa pada 1945.
Sebelumnya gerakan rakyat melawan kolonialisme berlangsung secara sporadis dan tak terorganisasi secara baik. Namun setelah lahirnya organisasi-organisasi tadi, gerakan rakyat kian menemukan bentuk yang jelas dan arah yang pasti tentang masa depan bangsa yang diinginkan.
Ide persatuan bangsa berbasis Islam yang diusung H. Agus Salim menjadi antitesis terhadap gerakangerakan sukuistik atau kesukuan yang marak ketika itu seperti Jong Java, Jong Sunda, Jong Betawi, Jong Sumatera, dan lain-lain. Salim menginisiasi lahirnya Jong Islamitten Bond [JIB] yang melampaui sentimen-sentimen kesukuan. Sebab, kendati Islam bersifat “sektarian”, namun ideologi JIB adalah ideologi persatuan nasional atau kebangsaan, melebihi ideologi keislaman. Salim melihat bahwa Islamlah ketika itu satu-satunya ideologi yang bisa mempersatukan seluruh bangsa.
Dari sini pula kemudian lahir persatuan pemuda Indonesia yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda pada 1928, yang mempersatukan segenap Jong, dan menjadi katalisator bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Hampir 100 tahun setelah kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, kita juga menyaksikan lahirnya kebangkitan nasional yang lain, yaitu gerakan reformasi pada tahun 1998. Gerakan reformasi Mei 1998 telah mengantarkan bangsa Indonesia pada “kemerdekaan” jilid kedua, yaitu lahirnya demokrasi dan kebebasan politik. Hal ini menunjukkan bahwa gejala kebangkitan bukan merupakan puncak, melainkan sebuah awal dari peristiwa besar. Gejala kebangkitan hanya menandai proses menuju suatu masa depan yang diimpikan.
Belajar dari sejarah itu, memasuki seabad kebangkitan nasional ini, sebaiknya kita gelorakan kembali spirit untuk merajut kembali rasa nasionalisme, semangat kebersamaan membangun rasa keindonesiaan dengan mengubur kepentingan kelompok atau golongan yang merongrong kohesi nasional. Kita harus bersatu padu membangun kebersamaan Indonesia yang sedang sakit. Janganlah kita masih terkotak-kotak karena kepentingan-kepentingan kelompok atau golongan, kesukuan dan partai. Sudah banyak pembelajaran yang patut kita renungkan dan mesti kita sikapi. Lihat hasil pertikaian antar-kelompok yang pernah terjadi.
Teroris pun dengan leluasa keluar masuk di negeri tercinta ini, dan berhasil memporak-porandakan rasa kenyamanan yang telah kita bangun bersama pemerintah. Semua ini sungguh melukai nalar sehat dan nurani rakyat yang senantiasa damba pada perdamaian. Peristiwa ini pasti akan menyisakan barisan sakit hati atau ketidak-puasan kelompok-kelompok tertentu.
Kadangkala muncul sekelompok orang yang merasa berhasil, merasa paling besar, merasa paling penting, merasa paling berjasa, sehingga melunturkan rasa kepedulian dan kebersamaan serta tujuan akhir perjuangan para pendahulu kita. Empati kita terkikis, rasa memiliki dan menjadi bagian warga negara ini luntur karena ego dan kepentingan kelompok atau golongan serta keserakahan kita yang ingin mendapatkan lebih dan tidak mau berbagi. Padahal tanpa adanya dukungan dan kebersamaan dari orang lain maka sebenarnya kita tidak bisa berbuat dan mendapatkan apa-apa serta tak punya arti apa-apa.
Maka hal terpenting yang kita harus lakukan saat ini adalah menyatukan kembali nasionalisme keindonesiaan kita yang tercabik-cabik. Lalu karena dengan semangat kebersamaan akhirnya berhasil ditransformasikan menjadi gerakan kebangkitan nasional yang modern, rasional dan bersatu. Muaranya pun jelas, yaitu tujuan bersama meraih kemerdekaan bangsa.
Kalau kita tidak menggelorakan semangat keindonesiaan lalu diwujudkan dengan karya nyata yang untuk memajukan rakyat, maka 20 atau 30 tahun yang akan datang kita tidak akan menyaksikan perubahan besar apa pun, dan kita akan tetap menjadi bangsa yang kerdil dan terkucil dalam pergaulan dunia. Dan mimpi para pejuang dan pendiri negeri ini yang ingin menjadikan negeri ini menjadi negeri besar, adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi toto tentrem kartoraharjo akan kandas dan hanya akan tetap menjadi mimpi. Saatnya kita bangun bersama semangat nasionalisme untuk membangun dan mewujudkan mimpi besar itu dan memberikan yang terbaik untuk anak cucu kita.


MASA BERTAHAN PERGERAKAN NASIONAL
MENJELANG RUNTUHNYA HINDIA BELANDA
(1930-1942)

PENDAHULUAN
Sejarah Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya dirubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi yang disebut diatas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Masa pergerakan nasional di Indonesia terbagi menjadi tiga masa. Dari masa kooperatif, masa radikal, terakhir masa bertahan.
Banyak sekali organisasi-organisasi radikal yang melakukan aksinya. Antara lain yaitu ISDV. ISDV adalah organisasi yang berhaluan komunis. Pergerakannya sangat radikal. Organisasi pergerakan nasional lainnya yang palin berpengaruh bagi perkembangan bangsa yaitu PNI. PNI dipelopori tokoh yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan yaitu Bung Karno. Tetapi akhirnya karena Gubernur Jenderal pada saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan maka organisasi ini dinyatakan terlrang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI meruoakan organisasi yang terakhir yang menandai berakhirnya masa pergerakan radikal.

A. BERAKHIRNYA MASA NONKOOPERASI
Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisi ekonomi atau malaise yang melanda dunia memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa pasal-pasal karet dan exorbitante rechten secara lebih efektif. Kedua, diterapkannya pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang dilakukan pengawasan ekstra ketat oleh polisi-polisi Hindia Belanda yang diberi hak menghadiri rapat-rapat yang diselenggarakan oleh pattai politik. Selain itu juga dilakukan pelarangan bagi pegawai pemerintah untuk menjadi anggota partai politik. Ketiga, tanpa melalui proses terlebih dahulu Gubernur Jenderal dapat menyatakan suatu organisasi pergerakan atau kegiatan yang dilakukannya bertentangan dengan law and order sesuai dengan Koninklijk Besluit tanggal 1 September 1919. Peraturan itu merupakan modifikasi dari pasal 111 R.R. (Regrering Reglement). Keempat, banyak tokoh pergerakan kebangsaan di Indonesia yang diasingkan, seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir.[1]
Hal diatas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). . Periode awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam hal ini, Gubernur Jenderal de Jonge secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau “pemurnian” artinya menumpas segaa kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi . Maka dari itulah gerak-gerik Partindo dan PNI Baru senantiasa diawasi secara ketat. Aksi massa dan politik agitasi Soekarno selama lebih kurang satu tahun dari pertengahan 1932 sampai pertengahan 1933 merupakan titk puncak perkembangan Partindo. Jumlah anggotanya naik dari 4.300 menjadi 20.000 orang. Soekarno dkk juga melakukan safari ke 17 cabang di Jawa Tengah untuk berbicara di muka rapat yang penuh sesak. Dalam pidatonya Soekarno banyak membicarakan tentang kemerdekaan Indonesia.
Dalam situasi yang semakin panas dapat diduga bahwa penguasa sudah siap untuk bertindak. Tindakan pertama adalah ialah pemberangusan surat kabar Fikiran Rakyat pada tanggal 19 Juli 1933 yang membuat sebuah cartoon. Pada 1 Agustus semua rapat Partindo dan PNI Baru dilarang dan hari tu juga Soekarno ditahan. Selanjutnya pada bulan Desember 1933 Moh. Hatta dan Sjahrir ditangkap. Dengan tangan besinya Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggunng jawab atas keadaan di Hindia Belanda, dan baginya dibayangkan bahwa dalam masa 300 tahun berikutnya pemerintah itu akan masih tegak berdiri . Politik represifnya berhasil menghentikangerakan politik nonkooperasi sama sekali.
Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno~menurut dokumen-dokumen arsip kolonial~telah menulis surat kepada pemerintah Hindia Belanda sampai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi, bahkan selanjutnya tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu hal itu menggemparkan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada yang penuh keheranan atau kekecewaan, ada pula yang merasa jengkel atas perubahan sikap yang berbalik 180 derajat itu.[2]

B. REORIENTASI STRATEGI DAN REORGANISASI PERGERAKAN
Pemerintah Hindia Belanda tidak bersedia memulihkan hak politik bagi pergerakan nasional di Indonesia. Tetapi Hindia Belanda masih membiarkan organisasi pergerakan yang moderat untuk hidup. Hal itu juga disebabkan beberapa hal seperti menjamin demokrasi yang makin tumbuh pasca Perang Dunia I, keamanan yang diciptakan organisasi itu, dan sebab-sebab lainnya yang dianggap tidak merugikan pihak Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak hendak mematikan pergerakan di Indonesia. Mereka tahu bahwa perasaan rakyat yang tidak tersalurkan karena dibungkam oleh pemerintah akan mencari jalan lain yang dapat menimbulkan gerakan-gerakan eksplosif yang tidak diinginkan. Pemerintah Hindia Belanda hanya hendak melemahkan aktivitas prgerakan yang bersifat radikal-revolusioner. Yang diharapkan oleh pemerintah kolonial adalah semacam nasionalisme yang lunak dan kompromis, yang dapat digunakan sebagai alat untuk membendung perasaan rakyat yang membara dan menyalurkan ke arah pergerakan yang tidak membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.[3]
Kita lihat bagaimana pemerintah Hindia Belanda tidak menghilangkan pergerakan nasional di Indonesia tetapi dilemahkan dengan mengadakan vergaderverbod (larangan berkumpul). Tokoh-tokoh pergerakan Indonesia banyak yang diasingkan sehingga ruang gerak baginya dan organisasinya semakin sempit. Akan tetapi hal itu tidak membuat pergerakan nasional berhenti.
Sementara itu suasana politik dunia semakin tegang, tambahan pula Jepanag dengan pemerintahan militernya menjalankan pula politik ekspansionisme di daerah pasifik. Baik di negeri Belanda maupun di Indonesia kaum nasionalis menyadari bahwa dalam menghadapi fasisme tidak adaalternatif lain daripada memihak demokrasi. Maka dari itu perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dilakukan secara mutlak bersikap anti. Ada kebersamaan yang mendekatkan kaum nasionalis dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan Perhimpunan Indonesia yang mulai melakukan haluan kooperasi. Pergerakan nasional yang berada di Indonesia juga mulai bersikap kooperatif.

C. AKTIVITAS PERGERAKAN
Sejak tahun-tahun 1930-an peranan lembaga politik kolonial (Volksraad) makin meningkat. Lembaga itulah yang satu-satunya alat yang dibenarkan pemerintah kolonial untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan pelbagai golongan. Sebab itu suara yang muncul dalam volksraad yang berasal dari golongan cooperatie itu sangat penting untuk mengetahui pemikiran-pemikiran bangsa Indonesia sejak sekitar tahun 1930 sampai 1942. Dalam masa dari tahun 1935 sampai 1942, partai-partai politik bangsa Indonesia menjalankan taktik-taktik parlementer yang moderat. Hanya organisasi-organisasi nonpolitik dan partai-partai yang bersedia bekerjasama dan setuju punya wakil dalam dewan-dewan ciptaan Belanda yang terjamin mendapat sedikit kekebalan dari gangguan pengawasan polisi. Dan satu-satunya forum yang secara relatif bebas menyatakan pendapat politik adalah dewan perwakilan ciptaan pemerintah kolonial Belanda itu. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi gerakan nasionalis untuk mengusahakan perubahan ialah dengan jalan mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda secara langsung melalui dewan tersebut, tidak dengan mengatur dukungan massa.[4]
Tokoh-tokoh pergerakan mulai memunculkan ide tentang pembentukan Fraksi Nasional di dalam volksraad. Akhirnya fraksi ini dapat didirikan tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta beranggotakan 10 orang yang berasal dari daerah Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
1. Petisi Soetardjo
Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua Persatuan Pegawai Bestuur/ Pamongpraja Bumiputera dan wakil dari organisasi ini di dalam sidang Volksraad pada bulan Juli 1936. Isi petisi itu secara garis besar adalah tentang permohonan supaya diadakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Negeri Belanda di mana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama.[5] Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencana yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-undang Dasar Kerajaan Belanda.[6] Petisi itu ada yang menyetujui dan ada yang tidak. Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak setuju, maka alasannya bukanlah soal isi petisi itu tetapi seperti yang diajukan oleh Gesti Noer ialah caranya mengajukan seperti menengadahkan tangan. Antara tokoh-tokoh Indonesia terjadi pro-kontra tentang petisi itu. Tetapi akhirnya petisi Soetardjo ditolak oleh Ratu Belanda pada bulan November 1938.
2. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Meskipun akhirnya Petisi Soetardjo itu ditolak, petisi itu ternyata mempunyai pengaruh juga yaitu membantu membangkitkan gerakan masionalis dari sikap mengalah yang apatis yang telah menimpanya sejak gerakan nonkooperasi dilumpuhkan. Suatu gagasan untuk membina kerjasama diantara partai-partai poltik dalam bentuk federasi timbul kembali pada tahun 1939. Pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasilah didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia (GAPI). [7] Tujuan GAPI adalah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan persatuan nasional. Kemudian tujuan itu dirumuskan dalam semboyan “Indonesia Berparlemen”. Sikap kurang menentukan kemerdekaan itu disebabkan adanya keprihatinan atas kemungkinan meletusnya Perang Pasifik. GAPI melakukan berbagai kampanye yang bertujuan menarik simpati rakyat untuk mendukung perjuangannya di dalam ketatanegaraan. Pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie tot bestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya dikenal dengan nama Komisi Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan pergerakan mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia. Laporan itu terbit pada tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia, sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya.[8]

3. Mosi Thamrin
Pergerakan nasional terus berkembang dengan semakin meningkat dan mendalamnya kesadaran akan identitasnya. Dalam keadaan yang demikian, istilah-istilah Hindia Belanda (Nederlandsch Indie), pribumi (Inlander), atau kepribumian (Inlandsch) sangat sensitif di mata kaum pergerakan yang kesadaran akan identitasnya sudah mendalam. Mosi Thamrin mengusulkan agar istilah-istilah tersebut diganti dengan Indonesie (Indonesia), Indonesier (bangsa Indonesia) dan keindonesiaan (Indonesisch), khususnya di dalam dokumen-dokumen pemerintah. Keberatan pemerintah terhadap mosi ini adalah bahwa perubahan istilah itu membawa implikasi politik dan ketatanegaraan, seperti apa yang termaktub dalam UUD Kerajaan Belanda. Di samping itu ada argumentasi “ilmiah” ialah bahwa Indonesia bukan nama geografis, dan bangsa Indonesia juga tidak menunjukan pengertian etnologis.[9]

D. SIKAP PEMERINTAH KOLONIAL
Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan mosi dari berbagai tokoh pergerakan yang melakukan kooperasi di dalam volksraad, ternyata sikap pemerintahan kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya bagi bangsa Indonesia ialah pada satu pihak jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan dipihak lain gerkan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi orang menruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat sendiri. Pada saat Belanda dikuasai Jerman sedangkan di Asia terhadap ancaman Jepang semakin nyata, ternyata sikap pemrintahan Belanda tetap tidak berubah. Pemerintahan kolonial Belanda ternyata tidaklah sekhawatir yang diduga orang Indonesia mengenai situasi Internasional. Pemerintah kolonial meremehkan ancaman dari Jepang Andaikata mereka takut kalah, tidak ada kemungkinan ketakutan ini akan mendorong para penguasa kolonial untuk merangkul kaum nasionalis, yang mereka benci dan curigai. Yang paling mungkin dijanjikan Belanda ialah untuk mempertimbangkan perubahan konstistusi setelah perang.


PERANAN STOVIA DALAM PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA

Hasil dan Pembahasan
Kondisi Sosial dan Politik Masyarakat Jawa Awal Abad ke-20
Periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 merupakan suatu babakan penting dalam sejarah Indonesia, karena pada periode tersebut mulai muncul manusia-manusia dengan kesadaran baru yang menginginkan suatu kehidupan yang pantas bagi bangsanya. Keinginan yang masih samar-samar ini merupakan semboyan Soetomo di dalam pidatonya pada saat kelahiran BO pada tanggal 20 Mei 1908. Ia menyadari bahwa cita-cita itu tidak akan dapat terwujud jika hanya diperjuangkan oleh para pelajar saja. Oleh karena itu, dengan sadar ia mengajak kepada teman-temannya agar membicarakan gagasan itu di dalam lingkungan rumah tangga mereka, dengan para orang tua agar dapat menggugah perhatian mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, keinginan itu menjadi semakin mengkristal, menjadi sebuah cita-cita luhur anak bangsa yang menginginkan kemerdekaan bangsanya dari belenggu penjajahan Belanda yang telah sekian lama menguasai bumi Indonesia. Munculnya kesadaran ini antara lain dipicu oleh adanya diskriminasi-diskriminasi dan perbedaan antara priyayi dan rakyat yang semakin tajam, serta adanya penerapan politik etis, terutama bidang pendidikan. Politik ini dijalankan oleh Pemerintah Belanda kepada bangsa Indonesia sebagai upaya untuk membalas jasa atas perlakuan mereka yang telah memeras kekayaan bangsa Indonesia selama ini. Gagasan politik Etis ini dilatarbelakangi oleh adanya artikel karya C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Hindia selama tahun 1800-1897, yang berjudul “Een Eereschuld” (Suatu hutang kehormatan) di dalam de Gids, majalah berkala Belanda. Dinyatakannya bahwa Negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia di dalam menerapkan kebijaksanaan. Politik Etis Jajahan ini dicanangkan pada pidato tahunan Kerajaan Belanda pada bulan September 1901 yang berisi “suatu kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat di Hindia Belanda”. Pesan kerajaan ini dilanjutkan dengan menyatakan keprihatinan terhadap keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Timur dan meminta agar dibentuk komisi untuk memeriksa keadaan ini.
Politik Etis yang dijalankan ini meliputi tiga upaya untuk menyejahterakan bangsa Indonesia, yaitu sistem irigasi, emigrasi atau transmigrasi, dan pendidikan. Sebenarnya tujuan kaum Liberal sebagai pencetus ide ini bagus, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Akan tetapi, pada pelaksanaannya semua kembali bermuara kepada kepentingan ekonomi di pihak Pemerintah Hindia Belanda. Maksudnya segala peningkatan kesejahteraan rakyat itu tetap dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan bukan bagi kemakmuran rakyat itu sendiri.
Contoh pelaksanaan Politik Etis yang menguntungkan pihak Pemerintah Hindia Belanda adalah dibukanya perkebunan-perkebunan tebu di Jawa yang disertai dengan sistem irigasi yang bagus. Akan tetapi, mereka menggunakan tanah-tanah rakyat yang mereka sewa dengan harga yang rendah serta menggunakan tenaga rakyat yang mereka bayar rendah pula. Dengan demikian, adanya irigasi itu bukan untuk meningkatkan produksi para petani, tetapi justru dimanfaatkan sendiri untuk Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu dibukanya perkebunan-perkebunan tembakau di Deli yang menggunakan tenaga kerja yang berasal dari Jawa dengan pertimbangan bahwa penduduk di Jawa sudah padat dan mereka lebih terampil bekerja dari pada penduduk setempat, mengakibatkan adanya transmigrasi dalam beberapa gelombang. Adapun pendidikan formal yang mereka tawarkan kepada penduduk pribumi pada mulanya hanya untuk memenuhi pegawai administrasi yang semakin mereka perlukan dan yang dapat mereka bayar dengan murah.
Sebenarnya perhatian masalah pendidikan formal di Hindia Belanda, terutama di Jawa, telah ada sejak tahun 1818 dengan adanya peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa penduduk bumiputra diperbolehkan untuk sekolah di sekolah-sekolah Belanda. Selanjutnya pemerintah akan menetapkan peraturan-peraturan mengenai tata tertib yang diperlukan sekolah-sekolah bagi penduduk bumiputra itu. Akan tetapi, ternyata kondisi politik di Jawa tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat segera merealisasikan peraturan itu. Hal ini diakibatkan oleh adanya perang Jawa dan Cultuur Stelsel yang sangat menyita perhatian pemerintah. Baru pada tahun 1848 peraturan itu dapat terealisasikan. Sifat pendidikan yang ditawarkan ini berbeda dengan pendidikan pada awal abad ke-20, karena pendidikan di sini lebih diutamakan bagi calon pegawai dinas pemerintahan dan tanggungjawabnya diserahkan kepada bupati setempat. Baru pada tahun 1854 tanggungjawab pendidikan bumiputra secara tegas diatur dalam undang-undang. Meskipun demikian, kaum misionaris Katolik sejak tahun 1814 dan kemudian kaum misionaris Protestan sejak tahun 1851 juga telah melakukan keaktifan di Jawa terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1848 di setiap kabupaten didirikan sebuah sekolah setahun, menjadi dua, dan pada tahun 1852 menjadi 15 sekolah. Dengan demikian, tidak ada lagi pembatasan sekolah hanya untuk kalangan anak-anak Kristen saja, akan tetapi sudah sampai pada kebutuhan personil Gubernemen.
Pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1892, sekolah-sekolah bumiputra dipecah menjadi dua kelompok. Sekolah “kelas satu” merupakan sekolah istimewa bagi anak-anak pemuka rakyat atau orang-orang bumiputra yang terhormat atau kaya. Sekolah ini memberikan pendidikan selama 5 tahun dengan penambahan beberapa mata pelajaran seperti ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar dengan tangan, dan ilmu ukur tanah. Biaya sekolah maupun tingkatan tenaga pengajarnya lebih tinggi dari pada sekolah “kelas dua”. Sedangkan sekolah “kelas dua” diperuntukkan bagi penduduk bumiputra pada umumnya. Sekolah ini ditempuh selama 3 tahun pelajaran dan hampir tak berbeda denga sekolah bumiputra terdahulu yang hanya sekedar memberi pelajaran menulis, membaca, dan berhitung.
Pelajaran sekolah “kelas satu” yang lebih unggul dari pada sekolah “kelas dua” itu ternyata tidak cukup untuk menempuh ujian kleinambtenaar (pegawai rendah). Untuk menempuh ujian itu diperlukan Bahasa Belanda yang hanya diberikan di sekolah rendah Eropa (Europeesche Lagere School). Sekolah ini sangat menarik karena dapat memberikan keuntungan materiil pada lulusannya, pada hal hanya sejumlah kecil anak-anak bumiputra yang diterima di sekolah ini. Mereka tidak hanya diharuskan membayar lebih tinggi, tetapi juga harus mengetahui tata bahasa Belanda. Oleh karena itu, hanya kalangan bangsawan ataslah yang dapat menikmati pendidikan itu. Salah satu contohnya adalah Pangeran Ario Tjondronagoro IV, Bupati Kudus (1835), yang kemudian menjadi Bupati Demak pada tahun 1850-1866. Beliau adalah bupati pesisiran yang pertama kali memasukkan pendidikan Barat bagi putra-putrinya dengan jalan memanggil seorang guru privat bangsa Belanda, C.E. Kesteren, seorang bangsawan Belanda yang berfaham progresif, yang pada waktu itu menjabat sebagai redaktur surat kabar de Lokomotif di Semarang. Kondisi sosial masyarakat Jawa pada awal abad ke-20 ini diwarnai dengan adanya perbedaan-perbedaan hak pada masing-masing masyarakatnya diakibatkan oleh adanya penggolongan-penggolongan masyarakat berdasarkan kelas-kelas yang menyulitkan untuk saling berinteraksi antara kelas satu dengan lainnya tanpa dibebani unsur ewuh-pekewuh, rasa sungkan, terutama dari kelas sosial yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi. Dinding yang membatasi masing-masing kelas ini juga ditunjang oleh budaya dan bahasa Jawa yang memiliki jenjang pemakaian berdasarkan kedudukan si penutur terhadap lawan bicaranya.
Selain itu keadaan masyarakat Jawa juga menjadi semakin terbelakang dan tertinggal dari bangsa-bangsa asing lain di Jawa. Pada tanggal 17 Maret 1900, bangsa Tionghoa di Hindia mendirikan perkumpulan Tiong Hwa Hwee Kwan, dengan tujuan sebagai protes terhadap keputusan pemerintah tahun 1899 yang memberikan kedudukan bangsa Jepang sama dengan bangsa Eropa. Organisasi ini maju dengan pesatnya disertai dengan adanya dana yang penuh sehingga berhasil memajukan masyarakat Tionghoa yang ada di Jawa. Sementara itu de Indische Bond (Persatuan Hindia), yaitu organisasinya kaum Indo mulai bergerak. Mereka menutup pintu bagi kaum bumiputra, dan memperjuangkan dirinya sendiri. Karena kedua organisasi itu maju dan berhasil, maka mereka meremehkan bangsa bumiputra. Oleh karena itu, tidak ada yang memperhatikan nasib rakyat yang ditinggalkan oleh pemimpinnya itu. Pada waktu itu pula, komunitas Arab di Batavia pada tahun 1905 telah mendirikan Jam’iyyat Khair (Perserikatan bagi Kebaikan). Salah satu kegiatannya adalah membuka sebuah sekolah moderen yang pelajarannya diberikan dalam bahasa Melayu.
Kemunculan Sekolah Dokter Jawa yang kemudian namanya berubah menjadi STOVIA ini ternyata mampu merubah sejarah bangsa Jawa, sebuah bangsa yang penakut dan selalu patuh pada atasan, menjadi bangsa yang mempunyai kepribadian. Keadaan ini tidak lain disebabkan oleh adanya sistem pendidikan. Meskipun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat bumiputra, tetapi ternyata mampu membuka cakrawala baru. Keadaan masyarakat Jawa yang semakin terbelakang dan tertinggal dari bangsa-bangsa asing lain di Jawa, semakin diberinya batasan antara golongan priyayi dan rakyat dengan mendirikannya sekolah untuk perwira bumiputra yang hanya boleh dimasuki oleh anak-anak priyayi saja, serta perasaan takut para pembesar terhadap atasannya baik atasan bumiputra maupun Belanda, ternyata mendapat perhatian sebagian kecil siswa-siswa STOVIA itu.

2. STOVIA: Ladang Persemaian Nasionalisme
Sekolah Dokter Jawa didirikan Pemerintah Hindia Belanda karena pemerintah merasa kewalahan menghadapi wabah yang menyerang di daerah Jawa, terutama Banyumas, pada tahun 1800-an, dan berdasarkan pertimbangan bahwa mendidik penduduk bumiputra untuk menjadi mantri cacar lebih murah dari pada membayar tenaga dokter Eropa. Sekolah ini berada di Weltevreden, pusat kota Batavia. Di dalam perkembangannya sekolah ini mengalami perubahan-perubahan baik dalam syarat-syarat penerimaan siswa, kurikulum, lama studi, maupun gelar yang diperoleh. Berdasarkan kebijakan pada tahun 1903, yaitu diperkenankannya seluruh anak-anak di wilayah Hindia Belanda untuk memasuki sekolah itu, maka nama sekolah itu kemudian dirubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) yang disingkat STOVIA.
Ketika kebutuhan pemerintah terhadap tenaga kesehatan semakin meningkat, pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh. Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda sendiri yang berusaha untuk menarik minat para pemuda dari keluarga baik-baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan jalan memberi iming-iming sejumlah beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka harus bersedia masuk pada dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri cacar”. Akan tetapi, karena tradisi para priyayi memandang rendah terhadap pekerjaan-pekerjaan praktis seperti dokter dan guru, maka hanya sedikit saja priyayi yang tertarik pada sekolah itu. Oleh karenanya, pada tahun 1891 pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin memperoleh pendidikan sebagai Dokter Jawa diperbolehkan masuk di sekolah dasar Eropa secara gratis, dengan persyaratan bahwa anak muda itu harus cerdas, berasal dari keluarga priyayi, dan berumur tidak lebih dari tujuh tahun. Mereka akan diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan persetujuan diam-diam sesudah lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk masuk di Sekolah Dokter Jawa.Ternyata kebijakan baru itu banyak menarik perhatian kalangan anak-anak priyayi rendahan dari pada anak-anak priyayi tinggi. Kerena jika mereka berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu, maka status sosial mereka akan terangkat dari tingkat sebelumnya.
Pada mulanya ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan bagi anak-anak bumiputra dari golongan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Misalnya anak-anak bupati, patih, wedana, jaksa, dan lain-lainnya, yang haknya disamakan dengan orang Eropa. Akan tetapi, sejak tahun 1864 seiring dengan semakin tingginya kebutuhan pemerintah terhadap tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka sekolah ini juga terbuka bagi murid-murid yang pintar, yang orang tuanya tidak termasuk dalam golongan tersebut di atas. Dengan diperbolehkannya anak-anak bumiputra memasuki sekolah ini, meskipun dengan persyaratan tertentu dan terbatas pada golongan tertentu pula, Pemerintah Kolonial Belanda merasa tidak menerapkan diskriminasi rasial dalam menjalankan politik pengajarannya. Meskipun demikian, pada prakteknya banyak sekali diskriminasi yang dilakukan guru-guru Eropa itu terhadap siswa bumiputra.
Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan arus zaman, yaitu suatu zaman yang selalu mengedepankan pada keinginan untuk menjadi pegawai pangreh praja yang akan menjadikannya sebagai seorang priyayi yang berkuasa, disegani, dan disembah-sembah. Tidak demikian halnya dengan pekerjaan yang memerlukan keahlian ini. Meskipun sekolah kedokteran membebaskan para mahasiswanya dari kewajiban membayar uang sekolah dan menerima gaji yang tinggi sesudah lulus, kedudukan-kedudukan yang menarik itu tidak menyebabkan bertambah besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di bidang ini. Kemungkinan hal itu disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswanya yang terlalu ketat serta kewajiban belajar yang ekstra keras yang menjadi penghalang peminatnya dari kalangan priyayi muda ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu selalu menganggap bahwa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang miskin. Penilaian semacam itu terjadi karena pemerintah menerapkan sistem beasiswa, menggratiskan beaya pendidikan dan pemondokan, bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena itu, hanya orang tua yang kurang mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, justru di kalangan anak-anak miskin inilah muncul tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan, baik di bidang kedokteran maupun pejuang sejati.
Kunci dari munculnya tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan dari STOVIA itu rupanya tak terlepas dari tempat sekolah ini berada. Weltevreden adalah sebuah pusat kota Batavia. Pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta sebuah kota besar di Hindia yang merupakan pintu gerbang dengan dunia luar. Di lingkungan inilah berkumpul para intelektual yang memungkinkan di antara mereka untuk saling berinteraksi dan saling bertukar pikiran mengenai berbagai hal. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil itu memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modern di lingkungan sekolahnya. Batavia juga menjadi kediaman suatu kelompok intelektual non politik pribumi, yang tidak besar tetapi sedang tumbuh. Oleh karena itu wajarlah jika para pelajar STOVIA bergaul dengan para intelektual itu dengan akibat terpengaruh oleh ide-id mereka.
Tempat yang paling disenangi sebagian pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Ia tinggal di dekat STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan Douwes Dekker mempunyai arti penting. Ia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak buku bacaan dan terbuka bagi pelajar bumiputra.
Douwes Dekker pula yang menyebabkan pelajar-pelajar STOVIA seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo, mulai belajar menuangkan gagasan-gagasannya dalam surat kabar. Hal ini memungkinkan karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Ada alasan tertentu yang mnyebabkan ia memilih para pelajar itu. Terutama adalah kemampuan berbahasa Belanda dan ketrampilan menuangkan gagasan yang bagus, serta ketajaman penglihatan para pelajar itu dalam melihat kondisi sosial di lingkungan sekitarnya. Kemampuan yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang kelangsungan hidup sebuah surat kabar yang selalu menyajikan berita-berita aktual.
Perjumpaan para pelajar yang gelisah di perpustakaan Douwes Dekker ini akhirnya membuahkan suatu polemik yang ditulis oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, yang berturut-turut dimuat dalam Java Bode, sebuah harian berbahasa Belanda di Batavia. Polemik yang ditulis pada tahun 1905 itu berisi tentang kecamannya terhadap tingkah laku dan adat Jawa yang dianggapnya sebagai perintang modernisasi. Pada tahun 1905 dan tahun-tahun sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah pribumi sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat garis pemisah yang tegas antara priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan itu selalu kelihatan jelas serta selalu mengikat. Dalam keadaan apa pun suasana penghormatan itu sangat nyata. Goenawan menginginkan adanya perubahan keadaan adat-istiadat dan tata cara dalam masyarakat. Menurutnya adat yang dibuat oleh manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan tetapi, semua itu diserahkannya kepada kaum priyayi agar dapat memberikan contoh dalam membuang adat yang membuat susah itu. Adat yang telah membelenggu itu telah menjadikan bangsa Jawa tertinggal dibandingkan dengan bangsa Arab dan Cina. Kedua bangsa asing itu masing-masing telah sadar terhadap perlunya persatuan untuk meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat, terutama dalam meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat, terutama dalam hal meningkatkan perekonomian. Sementara rakyat Jawa kebanyakan merupakan masyarakat miskin dan penuh dengan penghinaan bangsa-bangsa lainnya.
Anak bangsa telah bangkit, ia mulai berani menyuarakan isi hati yang biasanya disimpannya rapat-rapat agar orang lain tidak dapat mengetahui, sebuah sikap pengendalian diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah mempunyai sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan hati nuraninya. Api kesadaran itu sedikit demi sedikit mulai muncul di kalangan pemuda terpelajar yang dapat melihat diskriminasi-diskriminasi yang ditimbulkan oleh adat dan tradisi Jawa yang penuh dengan tatanan feodal serta tahyul yang berlebih-lebihan. Hal itulah yang mengakibatkan sulitnya manusia Jawa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Kondisi masyarakat yang seperti itu yang selalu menjadi bahan perbincangan para pelajar STOVIA. Mereka sering memperbincangkan berita-berita yang dimuat dalam koran de Locomotief, Bataviaasch Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong Indie.
Api semangat itu semakin membara terlebih lagi setelah diketahui adanya berita yang menyatakan bahwa Revolusi Turki yang terjadi pada permulaan tahun 1908 yang digerakkan oleh The Young Turks dapat menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-kejadian ini besar sekali pengaruhnya bagi kalangan terpelajar bumiputra, suatu kelompok kecil lapisan baru dalam masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikiran mengenai nasib rakyat yang selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA pada malam hari setelah kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negri tersebut di atas termasuk menjadi bahan perbincangan. Demikian pula kepincangan-kepincangan di dalam negri, terutama di bidang pengajaran, pendidikan, perekonomian, dan kepangreh-prajaan kolonial menjadi bahan renungan.
Endapan-endapan pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan itu semakin mengental setelah kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang mengkampanyekan keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya dan berpengaruh agar diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat melanjutkan studinya. Dokter Jawa itu berpendapat bahwa lapisan bawah masyarakat itu perlu untuk diberi pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran itu akan dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka pikiran dan hati para pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang telah dirumuskan itu kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan di antara orang-orang yang berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa memandang kedudukan, kekayaan, atau intelektualitas sebagai salah satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar terjadi keharmonisan antara negara dan rakyat. Persatuan itu diharapkan dapat memberikan sesuatu untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu kesatuan geografi dan kultural. Dengan demikian, tujuan persatuan itu lebih luas dari sekedar bea siswa. Para pelajar itu berpendapat bahwa sebuah persatuan itu harus dapat berusaha memecahkan setiap masalah yang dihadapinya. Akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai lahirnya organisasi baru yang mereka namakan Boedi Oetomo, dengan tujuan untuk memperjuangkan nasib rakyat agar mempunyai kehidupan yang pantas.

D. KESIMPULAN
Para pelajar STOVIA adalah anak zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad ke-20. Pendidikan Barat telah memungkinkan bagi mereka untuk membentuk kontak-kontak yang kuat dengan dunia Barat. Terlebih lagi dengan kesukaan membaca, hubungan-hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan teman-teman sehalauan, serta akibat dari kondisi kolonialisme di sepanjang perjalanan kehidupan mereka itu dapat digunakan untuk melacak proses perkembangan pemahaman mereka terhadap nasionalisme. Dua tokoh penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA itu, yaitu Douwes Dekker, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya ini mampu menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu, keberadaannya di pusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo.


     II . PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA DAN UPAYA MEMPERSIAPKAN          
           KEMERDEKAAN INDONESIA
A. Latar Belakang Jepang Menguasai Indonesia
a. Modernisasi Jepang
Jepang awalnya merupakan Negara yang menganut sistem isolasi yaitu sistem dimana negara tersebut menutup diri dari pengaruh bangsa/ negara lain di luar negaranya. Baru pada tahun 1854, ketika Komodor Matthew Perry (orang Amerika Serikat) datang ke Jepang dengan tujuan untuk membuka kota pelabuhan Jepang maka Jepang terbuka bagi negara lain. Terjalin hubungan antara Jepang dan Amerika Serikat melalui perjanjian SHIMODA sehingga sejak itu pelabuhan di Jepang terbuka bagi perdagangan internasional. Saat itu yang memimpin Jepang adalah Shogun Tokugawa.
Perkembangan Jepang semakin tampak pada masa pemerintahan Pangeran Mutsuhito sebagai kaisar dengan gelar Tenno Meiji. Kaisar Meiji melakukan berbagai perubahan dalam segala bidang yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji. Restorasi Meiji adalah perubahan Meiji dalam segala bidang kehidupan masyarakat guna mengejar ketinggalan dari bangsa Barat. Pembaharuan dan kebijakan tersebut diantaranya:
Bidang Militer :
1. Jepang menerapkan wajib militer bagi semua lapisan masyarakat.
2. Membentuk tentara nasional.
Untuk mendukung kebijakan tersebut maka:
Jepang membeli peralatan dan perlengkapan militer dari negara-negara Barat

Jepang
 meniru sistem militer dari berbagai negara Barat seperti Angkatan Darat (dari Perancis dan Jerman), dan Angkatan Laut (dari Inggris)
Sehingga Jepang telah mampu memiliki tentara nasional yang modern
Bidang Pendidikan :
1. Membentuk Departemen Pengajaran
2. Memberlakukan wajib belajar bagi anak-anak usia 6-14 tahun. Di sekolah anak-anak ditanamkan rasa cinta tanah air dan kaisar
Bidang Perdagangan :
1. Jepang memodernisasi pelabuhan dan perkapalan sehingga kegiatan perdagangan dapat berkembang
2. Didirikan bank-bank
Bidang Industri :
1. Jepang mendirikan banyak pabrik yang mendukung perekonomiannya.
2. Jepang menghasilkan mesin-mesin persenjataan sendiri.
Kebijakan lain :
Dibentuk sistem pajak baru, dimana tanah milik daimyo (gubernur militer masa shogun) dibagikan pada petani sedangkan para daimyo menjadi pegawai pemerintah.
Dengan modernisasi tersebut maka Jepang menjadi negara maju, negara modern, negara besar yang sejajar dengan negara-negara Barat.

b. Akibat Modernisasi Jepang
Modernisasi Jepang tahun 1868 menyebabkan negara Jepang :
•Industri Jepang semakin berkembang dengan pesat
Jumlah penduduk semakin bertambah sementara luas lahan semakin sempit (tidak sebanding dengan jumlah penduduk)

Sebagai
• negara yang merasa telah kuat maka Jepang ingin mengikuti negara Barat yaitu berlomba untuk mendapatkan daerah jajahan. Daerah jajahan tersebut dapat digunakan sebagai daerah pemasok hasil industri dan daerah penghasil bahan baku industri.

Keinginan Jepang untuk mendapatkan daerah jajahan menyebabkan Jepang melakukan berbagai ekspansi seperti:
1) Jepang ingin menaklukkan daerah Cina maka pada 1894-1895 Jepang menyerang Cina dan terjadi perang yang dimenangkan Jepang dengan berhasil menguasai Semenanjung Liao Tsung dan Pulau Formosa (Taiwan) termasuk daerah Korea.
2) Jepang ingin menduduki Manchuria dan dengan terpaksa Jepang harus menghadapi Rusia yang saat itu berkuasa di Manchuria. Oleh karena itu terjadi perang Jepang-Rusia (1904-1905), tetapi Jepang tetap saja menang dan berhasil mendapatkan Port Arthur dan Pulau Sachalin. Kemenangan Jepang terhadap Rusia ini menyebabkan Jepang semakin kuat kedudukannya setara dengan negara-negara Barat.
3) Dalam Perang Dunia I (1914-1918) ketika Jepang harus melawan Jerman, dia berhasil menguasai daerah jajahan Jerman di Asia.
4) 1927, PM. Baron Tanaka (Jepang) merencanakan ekspansi ke Asia dan menguasai Asia Timur sebab dengan otomatis daerah Asia Selatan dapat dikuasai pula.
5) 1931 Jepang menyerang Manchuria dan dapat menguasai ± 6 bulan mendapat perlawanan Cina.
6) 1932 didirikan kerajaan Manchuria dengan Henry Pu-Yi sebagai raja (bekas raja Cina dari dinasti Manshu)
7) Pertikaian Jepang-Cina terus berkobar hingga tahun 1937 terjadi insiden di atas jembatan Marco Polo (Jepang dengan persenjataan moderennya mengadakan pendaratan besar-besaran di Cina Utara dan Tengah menyebabakan Perang Jepang-Cina.
Dari perang Jepang-Cina maka di mulainya menguasai wilayah Laut Selatan dan Asia Timur. Sementara itu negara-negara Pasifik semakin memperkuat kedudukannya.

c. Pengaruh Modernisasi Jepang di Asia Pasifik
1. Bidang Politik
Muncul gerakan nasionalisme di berbagai negara akibat kemenagan Jepang atas Rusia untuk menentang imperialisme Barat.

Semakin meningkatnya aktivitas pergerakan nasional Asia setelah berkembangnya modernisasi Jepang.

Jepang
• semakin berusaha menguasai dunia dengan semboyan “Hakko Ichiu” menurut agama Shinto menguasai negara lain merupakan sebuah tugas suci untuk memimpin bangsa lain. Selain itu Jepang adalah saudara tua bangsa Asia dan berkewajiban untuk menuntun saudara mudanya (bangsa Asia lainnya).
Melaksanakan proses Japanisasi untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Jepang menggantikan kedudukan Imperialisme Barat di Asia.

2. Bidang Militer
Tentara
 Jepang dengan pasukan “Kate”-nya (karena orang Jepang pendek) disertai dengan semangat Bushidonya yang tinggi serta dilengkapi dengan senjata modern maka jepang selalu berhasil dalam ekspansinya. Hal ini dianggap sebagai bahaya “Kuning” bagi bangsa Barat (orang Jepang berkulit kuning).
Membentuk persekutuan Jepang-Inggris “Anglo Japanese Alliance” untuk persiapan Jepang menghadapi Rusia.

Perang
 Pasifik yang diprakarsai Jepang menyebabkan negara-negara Barat mempunyai daerah jajahan di Asia dan membentuk komando gabungan (ABCD Command) meskipun tetap tidak mampu menghalangi ekspansi Jepang di Asia Tenggara.
3. Bidang Ekonomi
o Melaksanakan politik Dumping untuk merebut pasaran hasil industri, dengan sasaran penduduk Asia Tenggara yang jumlahnya banyak tetapi memiliki daya beli yang rendah. Produk-produk buatan Jepang segera membanjiri Asia.
o Barang buatan Jepang memperoleh tempat pemasaran yang luas meskipun telah dibatasi oleh negara barat. Daerah-daerah di Asia dijadikan sebagai tempat pemasaran sekaligus penghasil bahan mentah bagi industrinya.
o Perang Pasifik (1914-1945) menyebabkan Jepang ingin menguasai Asia Tenggara yang kaya bahan makanan, bahan industri sebagai wilayah supplay untuk menyukseskan Perang asia Timur Raya.
o Dengan program “Hakko Ichiu”, Jepang ingin mempropaganda terbentuknya persemakmuran bersama “Asia Timur Raya” seperti “Common Wealth of Nation” dari Inggris.
o Negara yang kaya dengan hasil bahan industri bekerjasama dengan Jepang untuk meningkatkan kemakmuran bersama.

B. MASUKNYA JEPANG KE INDONESIA
Masuknya Jepang ke Indonesia diawali dengan :
Ketika
 Perang Dunia ke II, Jepang ikut terjun dalam perang tersebut. Maka muncul dugaan berdasarkan analisis politik akan terjadi peperangan di Lautan Pasifik. Hal ini terbukti dengan meletusnya perang di Lautan Pasifik pada 8 Desember 1941 yang melibatkan Jepang di dalamnya. Perang ini disebut dengan “Perang Asia Timur Raya” atau “Perang Pasifik”.
Akibat
 dari perang tersebut Belanda yang tergabung dalam front ABCD (Amerika serikat, Brittania/ Inggris, Cina, Dutch/ Belanda) melakukan perang terhadap Jepang.
Jepang berhasil menguasai daerah Asia Tenggara yang
 lain seperti Muangthai, Filipina, Malaysia dan Birma. Karena Jepang terlalu kuat maka Hindia Belanda-pun akhirnya jatuh ke tangan Jepang setelah Belanda yang dibantu Sekutu melakukan berbagai perlawanan tetapi tetap tidak mampu mengalahkan Jepang.
Selain itu di Jawa muncul
 ramalan “Joyoboyo” yang menyatakan bahwa pada suatu saat Pulau Jawa akan dijajah oleh bangsa kulit kuning, meskipun hanya seumur jagung, tetapi setelah itu maka Indonesia akhirnya akan MERDEKA. Ramalan ini dipercaya oleh rakyat, oleh karena itu, Jepang memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kesempatan yang ada tersebut. Sehingga kedatangan Jepang ke Indonesia 1942 tersebut dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan sudah semestinya terjadi.
Jepang Menguasai Indonesia diawali dari:
Menduduki Tarakan (10 Januari 1942) kemudian Minahasa, Sulawesi, Balik Papan, dan Ambon.

Pada
 februari 1942 menduduki Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang, dan Bali. Bagi Jepang Palembang merupakan tempat yang strategis hal ini dikarenakan letak Palembang diantara Batavia sebagai pusat kekuasaan Belanda dan Singgapura yang merupakan pusat kedudukan Inggris.
Di daerah Jawa Jepang pertama mendarat di Banten kemudian ke Indramayu, Kragan (Rembang dan Tuban).

Pada 5 Maret 1942 Jepang menyerang Batavia

8 Maret 1942 Jepang menyerang Bandung dan berhasil mendudukinya setelah Belanda menyerah kepada Panglima Jepang, Imamura.
 
Sehingga sejak 9 Maret 1942 Indonesia menjadi daerah kekuasaan Jepang.


C. PENJAJAHAN JEPANG DI INDONESIA
Tentara Jepang yang dikenal dengan Bala Tentara Nippon adalah sebutan resmi pemerintah militer pada masa pemerintahan Jepang. Sejak tanggal 7 Maret 1942, tentara Jepang memegang kekuasaan militer dan segala kekuasaannya yang dipegang Gubernur Jendral masa Belanda. Kekuasaan atas wilayah Indonesia dipegang oleh 2 angkatan perang, yaitu:
1. Angkatan Darat (Rikugun)
2. Angkatan Laut (Kaigun)
Dengan kekuasaan masing-masing, yaitu:
1. Jawa dan Madura dengan pusatnya di Batavia di bawah kekuasaan Rikugun
2. Sumatera dan Semenanjung Melayu dengan pusatnya di Singapura berada di bawah kekuasaan Rikugun
3. Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian berada di bawah kekuasaan Kaigun.
Untuk menarik perhatian rakyat Indonesia maka Jepang membentuk organisasi-organisasi militer sebagai pengganti oraganisasi pergerakan yang ada di Indonesia. Organisasi tersebut diantaranya:
1. GERAKAN TIGA A
Mempunyai semboyan : Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Dipimpin oleh Syamsuddin SH. Tahun 1943, dibubarkan karena tidak mendapat simpati dari rakyat dan diganti Putera.
1. PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat)
Putera dibentuk tahun 1943 dipimpin oleh empat serangkai yaitu Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur. Tujuan dibentuk Putera yaitu untuk membantu Jepang dalam setiap perang yang dilakukannya. Tetapi Oraganisasi Putera merupakan bumerang bagi Jepang sebab anggota Putera memiliki nasionalisme yang tinggi.
1. PETA(Pembela Tanah Air)
Peta merupakan organisasi bentukan jepang yang terdiri dari pemuda Indonesia. Organisasi ini disebut pula Giyugun. Mereka mendapat latihan militer dari Jepang. Tujuannya untuk memenuhi kepentingan peperangan Jepang di Lautan Pasifik. Ternyata perkembangan Peta sangat membantu Indonesia dalam meraih kemerdekaan melalui perjuangan fisik.
Jenderal Sudirman dan A.H Nasution bpernah sebagai pemimpin PETA.
1944, dibubarkan karena terlalu bersifat nasional dan dianggap membahagiakan.
Selain itu terdapat pula organisasi bentukan Jepang yang lain, seperti: Jawa Hokokai, Cuo Sangi In, Keibondan (Barisan Pembantu Polisi), Seinendan(Barisan Pemuda), dsb.

Keberadaan Jepang di Indonesia menimbulkan perlawanan dari rakyat di berbagai daerah di Indonesia, seperti :
Daerah Aceh

Tahun 1942 terjadi perlawanan di Cot Plieng, Lhok Seumawe dipimpin Tengku Abdul Jalil, tetapi dapat dipadamkan.
Tahun 1944 muncul perlawanan di Meureu dipimpin Teuku Hamid dan dapat pula dipadamkan oleh Jepang.
Daerah Indramayu
 (Karang Ampel, Sindang)
1943 muncul perlawanan dipimpin oleh Haji Madriyan, dkk tetapi berhasil dipadamkan oleh Jepang.
Daerah Sukamanah, Tasikmalaya

1943 terjadi perlawanan dipimpin oleh Haji Zaenal Mustafa. Ia berhasil membunuh kaki tangan Jepang dan balasannya Jepang melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat.

Blitar

14 Februari 1945 terjadi pemberontakan PETA yang dipimpin oleh Supriyadi (putra bupati Blitar) yang dibantu dr. Ismail, Mudari, Suwondo. Pemberontakan ini mampu membinasakan orang-orang Jepang di Blitar, Jepang sangat terkejut lagi pula saat itu Jepang sering mengalami kekalahan dalam perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik. Akhirnya Jepang mengepung kedudukan Supriyadi. Melakukan tipu muslihat bahwa jika para pemberontak menyerah maka mereka akan dijamin keselamatannya serta akan dipenuhi segala tuntutannya. Hal ini berhasil sebab banyak anggota PETA yang menyerah. Mereka akhirnya di hukum mati maupun meninggal karena disiksa Jepang.
Daerah Kalimantan Barat

Jepang pernah mengadakan pembunuhan secara besar-besaran terhadap masyarakat ± 20.000 orang yang menjadi korban keganasan Jepang tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang dapat menyelamatkan diri dari lari ke Pulau Jawa.
Akhirnya tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada Sekutu.

D. DAMPAK PENDUDUKAN JEPANG
1. Bidang Politik
Organisasi politik di Indonesia tidak berkembang bahkan dihapuskan oleh Jepang

Didirikan/ dibentuknya berbagai organisasi Jepang

Kehidupan politik rakyat diatur oleh pemerintah Jepang

Meskipun ada organisasi politik yang masih terus berjuang menentang Jepang.

2. Bidang Ekonomi
o Sama dengan negara imperialis yang lain Jepang datang dengan masalah ekonomi yaitu untuk mencari daerah sebagai penghasil bahan mentah dan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan mencari pemasaran untuk hasil-hasil industrinya.
o Aktivitas ekonomi zaman Jepang sepenuhnya di pegang oleh Jepang.
3. Bidang Pendidikan
Pendidikan berkembang pesat di banding masa Hindia Belanda
 
Bangsa Indonesia diberi kesempatan untuk sekolah di sekolah yang dibangun pemerintah

Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar pada sekolah-sekolah

Berbagai nama diIndonesiakan

Tetapi semua yang dilakukan oleh Jepang tersebut hanya untuk menarik simpati rakyat agar mau membantu Jepang mengahadapi lawan-lawannya dalam Perang Pasifik.
4. Bidang Sosial
Jepang memperkenalkan sistem Tonorigumi (Rukun Tetangga/RT) yang tergabungdalam Ku (desa)

Kehidupan
 sosial masyarakat sangat memprihatinkan sebab rakyat harus memenuhi kebutuhan perang Jepang dalam menghadapi musuhnya.
Rakyat juga harus
 kerja paksa yang disebut dengan kerja Romusha. Dari kerja paksa tersebut menyebabkan jatuh banyak korban akibat kelaparan dan terkena penyakit.
Banyak wanita Indonesia yang dijadikan wanita penghibur “Jugun Ianfu” pada masa itu.

5. Bidang Birokrasi
Kekuasaan Jepang di Indonesia di pegang oleh kalangan militer yaitu Angkatan Darat (Rikugun) dan Angkatan Laut (Kaigun)

Sistem pemerintahan diatur berdasar aturan militer

Orang-orang
 Indonesia mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan yang lebih penting dari sebelumnya yang hanya dipegang oleh orang Belanda, dengan masih dalam pengawasan Jepang.
6. Bidang Kebudayaan
Jepang mempunyai kebiasaan menghormat ke arah matahari terbit sebagai keturunan Dewa Matahari.

Pengaruh Jepang dalam kebudayaan terlihat dalam lagu, film, dan drama sebagai alat propaganda mereka.

Bangsa
 Indonesia mengalami berbagai pembaharuan akibat didikkan Jepang yang menumbuhkan kesadaran dan keyakinan yang tinggi akan harga dirinya.
Anak-anak sekolah diberikan latihan olahraga Taiso yang baik untuk kesehatan mereka.

Setiap
 hari bagi anak-anak sekolah maupun para pegawai wajib untuk menghormati bendera (merah putih) dan menyanyikan lagu kebangsaan nasional.
Semua itu merupakan warisan kebiasaan Jepang bagi bangsa Indonesia.
7. Bidang Militer
Para
 pemuda Indonesia diberi pendidikan militer melalui organisasi PETA.
Mereka akhirnya menjadi inti kekuatan dan pergerakan perjuangan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan.



E. PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Keadaan Jepang menjelang akhir kekuasaannya, yaitu:
Jepang
 semakin terdesak dalam Perang Pasifik sebab Pulau Saipan jatuh ke tangan Amerika Serikat Juli 1944, hal ini adalah sebuah ancaman.
Dalam berbagai peperangan Jepang selalu mengalami kekalahan.

Tanggal
 9 September 1944, Perdana Menteri Kaiso, memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia untuk menarik simpati rakyat selain itu setiap kantor diperkenalkan mengibarkan bendera merah putih meskipun harus berdampingan dengan bendera Jepang.
1 Maret 1945, Jendral Kumakichi
 Harada membentuk badan khusus yang bertugas menyelidiki usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Dokuritsu Junbi Chosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan dari BPUPKI adalah untuk mempersiapkan hal penting mengenai tata pemerintahan Indonesia merdeka. Dengan anggota sebanyak 60 orang dari tokoh-tokoh Indonesia dan 7 orang bangsa Jepang. Ketuanya, KRT Radjiman Widyadiningrat, dan wakilnya, R. Surono dan satu orang dari Jepang.
BPUPKI
 diresmikan pada 29 Mei 1945 ditandai dengan pembukaan SIDANG I yang berlangsung dari 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Dimana dalam sidang ini membicarakan mengenai falsafah dasar negara Indonesia Merdeka yang kemudian dikenal dengan PANCASILA. Tokoh-tokoh yang mengusulkan tentang dasar negara tersebut adalah Muh. Yamin, Dr. Supomo, dan Ir. Soekarno.
Sidang tanggal 29 Mei 1945

Muh Yamin, mengusulkan rumusan “Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat”.
Sidang tanggal 31 Mei 1945

Dr. Supomo, mengusulkan rumusan “Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, dan Keadilan Sosial”
Sidang tanggal 1 Juni 1945

Ir. Sukarno, mengajukan rumusan“Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme/ Peri Kemanusiaan, Mufakat/ Demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa yang dikemukakan Sukarno tersebut dikenal dengan istilah Pancasila. Tanggal 1 Juni di kenal sebagai hari lahirnya Pancasila.
Sidang BPUPKI yang kedua akan diselenggarakan bulan Juli
 1945 sebelum masa reses pada tanggal 22 Juni 1945 dibentuk Panitia Sembilan/Panitian Kecil menghasilkan dokumen yang berisi asas dan tujuan negara Indonesia merdeka yang dikenal dengan “PIAGAM DJAKARTA” yang kemudian menjadi Mukadimah Undang-undang Dasar 1945.
ISI PIAGAM DJAKARTA, adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada
 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai dibentuk untuk mengganti BPUPKI. PPKI beranggotakan 21 orang dengan Ketua, Ir. Soekarno dan Wakilnya, Moh. Hatta. PPKI kemudian ditambah keanggotanya menjadi 27 orang tanpa seijin Jepang.
Pada tanggal 9
 Agustus 1945, 3 orang tokoh Indonesia yaitu Soekarno, Hatta, Radjiman Widyodiningrat berangkat ke Saigon/ Dalat di Vietnam Selatan untuk memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara Marsekal Terauchi guna menerima informasi tentang kemerdekaan Indonesia. Dimana disepakati bahwa wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas jajahan Belanda.

F. LANDASAN DASAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
1) LANDASAN DASAR NASIONAL
Tercermin dalam pembukaan UUD 1945 dan merupakan Deklarasi Kemerdekaan Indonesia

Pembukaan
 ini terdiri dari 4 alinea yang merupakan filsafat sosial dan puncak pengalaman sejarah umat manusia pada umumnya dan rakyat Indonesia pada khususnya.
Pokok isi Pembukaan UUD 1945

2) LANDASAN DASAR INTERNASIONAL
Undang-undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-undang Dasar Negera RI tanggal 18 Agustus 1945 dalam Sidang PPKI.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 disebut sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia yang disusun pada 22 Juni 1945.

Pengaruh Kebijakan Pemerintahan Jepang

Kedatangan Jepang di Indonesia dan Negara Asia lainnya memiliki maksud dan tujuan tertentu.Maksud kedatangan Jepang ke Indonesia adalah karena landasan riil dan idiil yang dimiliki oleh bangsa Jepang. Landasan riil ini antara lain karena adanya ledakan penduduk Jepang sehingga dibutuhkan tempat baru, kurangnya bahan mentah bagi industrialisasi Jepang , dan adanya pembatasan imigrasi ke Amerika dan Australia akibat kecurigaan adanya bahaya kuning.Sedangkan landasan idiilnya adalah ajaran Shintoisme yang dianut Jepang tentang Hokkaichu ,yaitu ajaran tentang kesatuan umat manusia. Jepang sebagai negara yang maju ingin mempersatukan bangsa-bangsa di Asia di bawah Kesatuan Asia Timur Raya sehingga Jepang pada awalnya mendapat banyak simpati sebagai saudara tua di antara bangsa Asia lainnya.
Untuk menyukseskan ekspansinya Jepang menggunakan banyak taktik antara lain dengan mengebom Pearl Harbor agar memutus kekuatan Amerika Serikat di Asia-Pasifik serta memudahkan untuk menguasai wilayah lainnya di Asia termasuk Indonesia. Selain itu untuk menambah kekuatan Jepang juga menggabungkan diri dengan Jerman dan Italia yang juga terlibat dalam Perang Dunia II. Persekutuan itu dikenal dengan sebutan Poros Roberto (Roma-Berlin-Tokyo).
Jepang pun mulai mengadakan aksi gempuran-gempuran dalam menguasai wilayah dan pada akhirnya Jepang pun berhasil merebut Indonesia dari kekuasaan Belanda. Keberadaan Jepang di Indonesia tidaklah lama, namun banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dibuat Jepang di Indonesia baik dalam bidang pemerintahan,ekonomi, sosial-politik,dan lainnya.
Kebijakan Pemerintahan Militer Jepang
Upaya Jepang untuk mempertahankan Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya serta menarik simpati rakyat Indonesia meliputi bidang-bidang:
• Bidang Politik
ImageDalam usaha menarik simpati bangsa Indonesia dengan tujuan agar rakyat mau membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, Jepang mengumandangkan semboyan 3A yakni: “Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia”. Hal ini menyatakan bahwa kehadiran Jepang di Asia, termasuk Indonesia adalah untuk membebaskan Asia dari penjajahan bangsa Barat, Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia yang akan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.
• Bidang Ekonomi
Untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang dan industrinya, maka Jepang melakukan eksploitasi terhadap sumber kekayaan alam Indonesia. Hal ini berupa eksploitasi dibidang hasil pertanian, perkebunan, hutan, bahan Tambang, dan lain-lain.
• Bidang Sosial Budaya
Dibidang sosial, kehadiran Jepang selain membuat rakyat menderita kemiskinan karena kekurangan sumber daya alam, hal lain juga terjadi yang berupa pemanfaatan sumber daya manusia. Pengerahan tenaga manusia untuk melakukan kerja paksa (Romusha) serta dilibatkannya para pemuda untuk masuk dalam organisasi militer maupun semi militer. Dibidang budaya terjadi keharusan menggunakan bahasa Jepang di samping bahasa Indonesia. Rakyat juga diharuskan membungkukkan badan kearah timur sebagai tanda hormat kepada kaisar di Jepang pada setiap pagi hari (Seikerei).
Dampak pendudukan Jepang di Indonesia adalah sebagai berikut.
• Keuntungan:
1. Kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menjadi birokrat.
2. Bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Status sosial pribumi mengalami kenaikan.
4. Adanya kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk memperoleh pendidikan / bersekolah.
5. Dengan berdirinya PETA, para pemuda dapat memperoleh pendidikan militer dan penanaman jiwa nasionalis.
6. dsb.
• Kerugian :
1. Semua organisasi politik dilarang untuk beraktivitas.
2. Kesengsaraan rakyat karena adanya Romusha.
3. Kontrol media cetak dan elektronik yang kuat.
4. Alam Indonesia diekspoitasi secara besar-besaran.
5. Banyak para pejuang yang dihukum mati.
6. Pemerintahan Jepang yang kejam karena berbau fascis (adanya polisi militer yang kejam)
7. Banyak wanita Indonesia yang dijadikan Jogunianfu.
8. dsb.
Di awal tahun 1945 ,Jendral McArthur ,Panglima Komando Pertahanan Pasifk Barat Daya melancarkan siasat lompat katak (leapfrogging) untuk membalas Jepang .Satu per satu wilayah yang dikuasai Jepang baik di Asia maupun Pasifik berhasil direbut kembali oleh sekutu .Tidak lama kemudian Amerika Serikat membom Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus 1945. Kedua peristiwa pemboman tersebut membuat Jepang mau tidak mau harus menyerah, apalagi Amerika Serikat yang termasuk dalam Sekutu telah mengeluarkan ultimatum bagi Jepang agar menyerah. Pada akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 (tanggal 14 Agustus 1945 waktu New York).Dengan demikian Perang Pasifik berakhir dan kekuasaan Jepang di Indonesia pun berakhir.
Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang di Bidang Pemerintahan
Pendudukan Jepang di Indonesia.pdf
Pada dasarnya pemerintahan pendudukan Jepang adalah pemerintahan militer yang sangat diktator. Untuk mengendalikan keadaan, pemerintahan dibagi menjadi beberapa bagian. Jawa dan Madura diperintah oleh Tentara ke 16 dengan pusatnya di Jakarta (dulu Batavia). Sumatera diperintah oleh Tentara ke 25 dengan pusatnya di Bukittinggi (Sumbar). Sedangkan Indonesia bagian Timur diperintah oleh Tentara ke 2 (Angkatan Laut) dengan pusatnya di Makasar (Sulsel). Pemerintahan Angkatan Darat disebut Gunseibu, dan pemerintahan Angkatan Laut disebut Minseibu.

Masing-masing daerah dibagi menjadi beberapa wilayah yang lebih kecil. Pada awalnya, Jawa dibagi menjadi tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) serta dua daerah istimewa, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Pembagian ini diang-gap tidak efektif sehingga dihapuskan. Akhirnya, Jawa dibagi menjadi 17 Karesidenan (Syu) dan diperintah oleh seorang Residen (Syucokan). Keresidenan terdiri dari kotapraja (Syi), kabupaten (Ken), kawedanan atau distrik (Gun), kecamatan (Son), dan desa (Ku).
Sumatera dibagi menjadi 10 karesidenan dan beberap sub-karesidenan (Bunsyu), distrik, dan kecamatan. Sedangkan daerah Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang dibagi menjadi tiga daerah kekuasaan, yaitu: Kalimantan, Sulawesi, dan Seram (Maluku dan Papua). Masing-masing daerah itu dibagi menjadi beberapa karesidenan, kabupaten, sub-kabupaten (Bunken), distrik, dan kecamatan.
Pembagian daerah seperti di atas dimaksudkan agar semua daerah dapat diawasi dan dikendalikan untuk kepentingan pemerintah balatentara Jepang. Namun, untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dibutuhkan jumlah personil (pegawai) yang banyak jumlahnya. Sedangkan jumlah orang Jepang yang ada di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga dalam bidang pemerintahan. Untuk mengawai dan menjalankan pemerintahan secara efektif merupakan tantangan yang berat karena terbatasnya jumlah pegawai atau orang-orang yang dapat dipercaya
untuk memegang jabatan penting dalam pemerintahan.
Untuk mengatasi kekurangan jumlah pegawai, pemerintah Jepang dapat menempuh beberapa
pilihan, di antaranya:
1. Memanfaatkan orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia. Pilihan ini sangat tidak mungkin karena Jepang sedang menanamkan sikap anti Belanda di kalangan penduduk Indonesia.
2. Menggunakan tenaga Timur Asing (Cina). Pilihan ini juga sangat berat karena Cina dianggap sebagai lawan politik Jepang yang paling berbahaya untuk mewujudkan cita-cita Jepang, yaitu membangun Asia Timur Raya.
3. Memanfaatkan penduduk Indonesia. Pilihan ini dianggap yang paling realistik karena sesuai dengan semboyan “Jepang sebagai saudara tua” yang ingin membebaskan suadara mudanya dari belenggu penjajahan bangsa Eropa. Di samping itu, pemakaian bangsa Indonesia sebagai dalih agar bangsa Indonesia benar-benar bersedia membantu untuk memenangkan perang yang sedang dilakukan Jepang.
Sebenarnya, pilihan-pilihan di atas sama-sama tidak menguntungkan. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan (bahkan terpaksa) Jepang memilih penduduk Indonesia untuk membantu menjalankan roda pemerintahan. Jepang pun dengan berat harus menyerahkan beberapa jabatan kepada orang Indonesia. Misalnya, Departemen Urusan Agama dipimpin oleh Prof. Husein Djajadiningrat, serta Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio sebagai Residen Jakarta dan Residen Bojonegoro. Di samping itu, beberapa tokoh nasional yang mendapat kepercayaan untuk ikut menjalankan roda pemerintahan adalah Ir. Soekarno, Mr. Suwandi, dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Supomo, Mochtar bin Prabu Mangkunegoro, Mr. Muh, Yamin, Prawoto Sumodilogo, dan sebagainya. Bahkan, kesempatan untuk duduk dalam Badan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), semacam
Volksraad pada zaman Belanda semakin terbuka.
Kesempatan untuk menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan Jepang dan menjalankan roda pemerintahan merupa-kan pengalaman yang berharga bagi bangsa Indonesia, terutama setelah Indonesia merdeka. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia harus mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Oleh karena itu, pengalaman pada masa pemerin-tahan Jepang merupakan modal yang sangat berguna karena bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk
mengelola organisasi besar seperti negara.



















Tugas
Pergerakaan Nasional
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Nama:hidayat
Kelas:1tkj 1        










0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates