Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah
Tarekat ini berhulu pada diri Nabi Muhammad SAW yang kemudian mengalir kepada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A, sahabat kesayangan Nabi Muhammad SAW dan khalifahnya yang pertama, yang telah menerima ilmu istimewa seperti diterangkan Nabi Muhammad SAW sendiri, "Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar"
Pola hidup bersahaja yang ditampilkan Abu Bakar ditiru para sufi pada periode selanjutnya. Menurut riwayat, Abu Bakar pernah hidup dengan sehelai kain saja. Ia pernah memegang lidahnya sendiri, seraya berkata, "Lidah inilah yang senantiasa mengancamku". Kemudian untuk menjaga dari berkata-kata yang tidak bermanfaat, Abu Bakar lazim mengulum batu kerikil.
Kedermawanan Abu Bakar juga tak terukur nilainya. Misalnya pada Perang Tabuk, Rasulullah SAW meminta kepada kaum Muslim agar mengorbankan hartanya. Maka datanglah Abu Bakar membawa hartanya dan diletakkannya di antara dua tangan Rasulullah SAW, seraya Rasulullah SAW berkata kepadanya, "Apalagi yang engkau tinggalkan bagi anak-anakmu, wahai Abu Bakar?" Jawabnya sambil tertawa, "Saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya".
Sikap kedermawanan Abu Bakar ini merupakan kerelaan berkorban di jalan Allah. Dia hanya menyandarkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal ini merupakan sikap kepasrahan yang tinggi yang kemudian dijadikan sebagai teladan bagi para sufi. Di mata para sufi, sikap-sikap Abu Bakar seperti itu merefleksikan ahwal (keadaan) yang selalu disandarkan kepada Allah semata. Inilah, yang oleh kaum sufi dianggap sebagai benih-benih akhlak para sufi.
Oleh sebab itu, kendatipun di abad 1 Hijriah orang Islam belum mengenal istilah tasawuf, tetapi benih-benihnya sudah tampak, seperti pada diri Abu Bakar. Dan pada masa itu banyak sekali ditemui perilaku atau sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, yang mencirikan pengajaran dan amalan ilmu tasawuf.
Tarekat yang diterima Abu Bakar yang nantinya populer dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah telah mengalami pergantian penyebutan beberapa kali. Dalam silsilah keguruan tarekat ini, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq berada pada urutan pertama. Periode antara Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq sampai Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Bistami, yang nama aslinya Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Bistami dan berada pada urutan kelima, dinamakan "Shiddiqiah". Periode antara Syaikh Tayfur sampai Sayyidi Syaikh Abdul Khalik Fajduani, silsilah kesembilan, dinamakan "Tayfuriah". Periode antara Khawajah Abdul Khalik Fajduani yang lahir di daerah Uzbekistan itu sampai Sayyidi Syaikh Bahauddin Naqsyabandi, silsilah kelimabelas, dinamakan "Khawajakaniah". Diambil dari istilah Khwajagan (= tuan guru yang bersilsilah). Periode antara Syaikh Bahauddin Naqsyabandi sampai Sayyidi Syaikh Nashiruddin Ubaidullah Al-Ahrar, silsilah kedelapanbelas, dinamakan "Naqsyabandiyah".
Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 10 H/16 M, pusat aktivitas Naqsyabandiyah dan daya tarik intelektualnya bergeser ke India. Sayyidi Syaikh Muaiyiduddin Muhammad Baqibillah, silsilah kedua puluh dua, yang lahir di Kabul (971 - 1012 H/1563 - 1603 M), berpetualang di Transoxiana, Samarqand, Bukhara, Kashmir dan sekitarnya, kemudian datang ke India.
Dalam suatu catatan, dia katakan "tengah membawa benih kesucian (dalam tarekat) dari Samarqand dan Bukhara dan menyemaikannya di tanah subur India." Dalam waktu singkat, lima tahun, dia mencurahkan perhatian yang sama kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dia sampaikan pesan silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para malik (tuan tanah) dan manshabdar (pejabat) dengan tingkat keefektifan yang sama. Penglihatannya tajam dalam memilih bakat terbaik di pelbagai area - dari kalangan tokoh politik Nawab Murtadha Khan, di kalangan kaum sufi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, dan dari kalangan ulama Syaikh Abd Al-Haqq - adalah murid-murid terkemuka Khawajah Muhammad Baqi.
Tarekat Naqsyabandiyah pada periode antara Syaikh Ubaidullah Al- Ahrar sampai Sayyidi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, silsilah kedua puluh tiga, dinamakan "Ahrariah". Periode antara Syaikh Ahmad Al-Faruqi sampai Sayyidi Syaikh Dhiyauddin Khalid Kurdi Al Usmani, silsilah kedua puluh sembilan, dinamakan "Mujaddidiah".
Lalu periode antara Syaikh Khalid Kurdi Al Usmani sampai dewasa ini dinamakan "Khalidiah", atau dikenal dengan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah.
Setelah itu, tarekat ini tidak mengalami perubahan penyebutan nama. Karena bagi para pengamal tasawuf di masa berikutnya, yang menjadi pusat perhatian adalah ilmu yang diajarkan dan sumber ilmu yang ditunjukkan pada untaian silsilah keguruan. Lalu, setelah Maulana Syaikh Khalid, silsilah keguruan berikutnya berturut-turut adalah Sayyidi Syaikh Abdullah Afandi, Sayyidi Syaikh Sulaiman Qarimi, kemudian Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi.
Pada Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi, yang berkedudukan di Jabal Qubaisy dan berada pada silsilah ketiga puluh dua, berguru murid-murid yang nanti menjadi penerusnya, yakni Syaikh Usman Fauzi (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh M. Hadi (Girikusumo - Jawa Tengah), putra beliau sendiri Sayyidi Syaikh Ali Ridho (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh Sulaiman (Huta Pungkut - Sumatera Barat), dan Sayyidi Syaikh Abdul Wahab Rokan (Babussalam-Aceh). Silsilah keguruan selanjutnya berada pada Sayyidi Syaikh Ali Ridho.
...sikap kepasrahan Abu Bakar As-Siddiq yang tinggi dijadikan sebagai teladan bagi para sufi.
Sekembali dari Jabal Qubaisy, Sayyidi Syaikh Sulaiman mengembangkan tarekat ini yang berpusat di Huta Pungkut-Sumatera Barat, dan mendapatkan murid yang sangat cemerlang, yakni Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Al-Khalidi (Buayan-Sumatera Barat). Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim melawat ke Jabal Qubaisy dan mendapatkan ijazah keguruan pada silsilah ketiga puluh empat. Selanjutnya kepada Sayyidi Syaikh Hasyim Al-Khalidi inilah Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berguru dan mendapatkan ijazah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dan pemegang silsilah ketiga puluh lima.
Selain dari Sayyidi Syaikh Hasyim, Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya juga mendapatkan ijazah keguruan dari Syaikh Abdul Majid (Batusangkar) dan Syaikh Syahbuddin (Sayurmatinggi) yang keduanya juga pemegang silsilah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah namun dari alur silsilah yang berbeda dengan Sayyidi Syaikh Hasyim.
Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah yang diwarisi dan diteruskan oleh Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berkembang pesat di Indonesia, Malaysia bahkan juga ada Amerika Serikat. Rumah-rumah wirid yang lazim disebut surau tumbuh berkembang hampir 700 tempat. (Baca Mozaik edisi April 2008).
Untuk mengelola tempat-tempat wirid yang tersebar itu, berikut mewadahi aktivitas sosial kemasyarakatannya, maka didirikan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya yang berpusat di Medan. Yayasan ini menaungi bidang ketarekatan dan lembaga pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
Selanjutnya ijazah keguruan Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, yang oleh para gurunya dijuluki "guru para cerdik pandai," diteruskan oleh putra pertama beliau Syaikh Drs. H. Iskandar Zulkarnain, SH.MH. Kemudian sekarang ini ijazah keguruan tersebut sampai pada putra kedua, Syaikh H. Abdul Khalik Fajduani, SH. Semenjak itu, nama tarekat dari jalur silsilah ini, lazim disebut Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dalam naungan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya.
Menurut uraian K.A. Nizami dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi (2003), Editor: Seyyed Hossein Nasr, sepanjang sejarahnya, Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua karakteristik menonjol yang menentukan peranan dan pengaruhnya; (1) Ketaatan yang ketat dan kuat pada Hukum Islam (syariat) dan Sunnah Nabi. (2) Upaya tekun untuk mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.
Tidak seperti tarekat-tarekat sufi lainnya, lanjut Nizami, Tarekat Naqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Sebaliknya, ia gigih melancarkan ikhtiar dengan pelbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pandangan mereka. "Raja adalah jiwa dan masyarakat adalah tubuh. Jika sang Raja tersesat, rakyat akan ikut tersesat." Demikian kutipan pesan yang dikatakan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi.*
Soal
Rabithah, Alam Malakut dan Alam Jabarut
· Rabithah adalah mengaitkan perjalanan ruhani
dengan Mursyid atau Syeikh yang membimbing anda. Rabithah biasanya menjadi
tradisi para Sufi ketika awal penempuhan perjalanan menuju kepada Allah, bisa
melalui Tawassul ketika berdoa, atau hadiah surat Al-Fatihah kepada
mereka. Namun cara ber-Rabithah pun juga ada aturannya sesuai dengan
petunjuk Syeikhnya. Dalam rabithah seorang murid hendaknya tidak
membayang-bayangkan wajah atau foto sang Syeikh atau sang Mursyid. Orientasinya
hanya kepada Wajah Allah saja. Sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan, “kemana
pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah.” Bukan wajah makhluk Allah, atau
wajah guru atau Mursyid.
· Dalam Robithoh disebutkan mengenai
at-Tashawwur bi-Shurotis Syeikh, yang artinya membayangkan gambar atau sosok
guru, dimaksud sesungguhnya bukannya seseorang membayangkan wajah syeikh.
Namun, ketika anda suluk dan berdzikir atau bertawajuh, tiba-tiba melintas –
tanpa anda kehendaki— wajah guru, itulah yang disebut Tashawur bishuratis
Syeikh. Bukan berusaha menghadirkan sosok Mursyid atau Syeikh.
Sebab jika
anda sedang membayangkan wajah guru anda, lalu nyawa dicabut oleh Allah ketika
itu, apakah anda tergolong Husnul Khotimah atau Su’ul Khotimah ?. Sebab di
akhir hayat anda bukan Allah yang terbayang dalam ingatan anda, tetapi wajah makhluk
Allah, yaitu Syeikh anda. Nah, renungkanlah!
· Alam Malakut adalah tahap atau derajat
ruhaniyah yang digambarkan sebagai alam atau wilayah kebajikan hakiki atau
sejatinya rasa jiwa. Disanalah dunia Ruh hanya merindukan dan menghendaki Allah
semata (tanzih), dan disanalah Alam Malakut itu menjadi taman jiwa yang hakiki,
dengan keindahan Asma’ dan sifatNya Allah yang terpantul dalam hamparan Ruh
kekasih Allah.
· Sedangkan Alam Jabarut adalah Alam Ilahi yang
menjadi hamparan Ma’rifatullah, dimana seluruh elemen satu dalam banyak dan
banyak dalam satu, menjelma dalam penyucian tasbih kepada Allah semata. Dunia
Rahasia Ilahi, itulah Alam Jabarut. Nah, di atas Alam Jabarut masih ada lagi
Alam Lahut, Alam Hahut dan Bahut serta Ahut. (Maha Ghuyubul Ghuyub) . Wallahu
A’lam.
Kita tidak
diperintah untuk memasuki alam-alam itu. Dan anda jangan berambisi untuk
memasukinya. Karena yang memasukkan ke alam-alam itu Allah jua. Bukan kehendak
kita.
Akhlakul Karimah Sebagai Manifestasi Ubudiyah
Menilik pada
maknanya pengertian Ubudiyah secara umum dapat diterjemahkan sebagai Ibadah.
Tetapi dalam makna yang lebih khusus Ubudiyah dapat dipahami sebagai
”Pengabdian”, yang tidak hanya ditujukan kepada Allah SWT semata tetapi juga
harus mampu diterjemahkan lebih lanjut kedalam bentuk pengabdian kepada Islam,
bangsa, dunia serta umat manusia dan kemanusiaan.
Macam-macam
bentuk Ubudiyah
Bentuk
Ubudiyah yang dapat kita persembahkan sebagai perwujudan pengabdian kita kepada
Guru Waliyammursyida dapat dilakukan dengan banyak cara. Yang biasa dilakukan
antara lain dalam bentuk membantu pekerjaan sang Mursyid, membangun surau atau
tempat ibadah, menjaga dan merawat tempat Ibadah, dalam kata lain ber-karya
dalam bentuk apapun selama hal itu bermanfaat bagi Islam dan Kemanusiaan. Yang
perlu ditekankan adalah kualitas dari pengabdian tersebut, apakah pengabdian
benar-benar dibangun diatas pondasi keikhlasan, ketulusan, kemurnian, tanpa
dicemari oleh pamrih apapun kecuali hanya berlandaskan ilahi anta maqshudi wa
ridhaka mathlubi.
Mengutip
fatwa (alm) YM Buya pada peringatan haul ke 2 YM Ayahanda Guru tanggal 9 Mei
2003. ”Kebesaran thariqatullah, kekuatan metafisik Islam/teknologi Al Quran
dalam tariqatullah yang diperlihatkan oleh YM Ayahanda Guru kita, seyogyanya
telah membulatkan keyakinan dan kesadaran kita agar kita semua melaksanakan
pengabdian kepada Allah. Tanpa pengabdian dan berkarya tentu hal tersebut tidak
tercapai. Dalam berjuang mengemban amanah sebagai seorang hamba Allah YM
Ayahanda Guru menetapkan mottonya yang menjiwai seluruh derap langlah beliau,
yaitu: 1. Beribadatlah sebagaimana Nabi/Rasul beribadat 2. Berprinsiplah
dalam hidup sebagai pengabdi 3. Berabdilah dalam mental sebagai pejuang 4.
Berjuanglah dalam kegigihan dan ketabahan sebagai prajurit 5. Berkaryalah dalam
pembangunan sebagai pemilik.”
Ubudiyah sebagai pilihan Pengabdian
Dalam
bingkai pemahaman Ubudiyah sebagai pengabdian dalam bentuk karya yang
dipersembahkan, teringat akan salah satu fatwa YM Buya yang sangat menarik dan
menyimpan makna yang sangat dalam, ”Maka dari itu, jangan sampai ujar-ujar
ini terjadi pada kita, yaitu: Dahulu, ketika tiang-tiang suraunya dari kayu,
ikhwannya berhati emas. Kini, ketika tiang suraunya telah dari emas, ikhwannya
berhati kayu.”
Sungguh
dalam makna fatwa di atas dan bila kita cermati fatwa tersebut mengandung
nilai-nilai Ubudiyah dalam bentuk lain yang bermuara pada ketinggian akhlak
atau dengan kata lain akhlakul karimah dari ihwan yang menjadi penghuni surau.
Apakah
keagungan dan ketinggian akhlak sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Agung
Rasulullah Saw adalah juga mengandung makna Ubudiyah dalam bentuk lain? Bila
pemahaman berikut kita sandarkan pada fatwa YM Buya di atas, tentu jawabannya
adalah Ya!
Pada fatwa
tersebut makna Ubudiyah/pengabdian dalam bentuk karya yang dilambangkan dengan tiang
surau dari emas seolah menjadi kehilangan manfaat dan kesempurnaan mana
kala kita tidak mampu mewujudkan pengabdian dalam menyempurnakan keagungan dan
ketinggian akhlak kita yang dilambangkan dengan ikhwannya berhati kayu.
Hal itu sejalan
dengan gerakan ”Islam Kaffah” dengan penekanan pada keagungan dan ketinggian
akhlak/ akhlakul karimah yang tanpa kenal lelah secara terus menerus
disosialisaikan oleh YM Abu sebagai manifestasi pengamalan perintah Allah dalam
Al Quran (Al Baqarah : 208) ”Masuklah kamu semua ke dalam Islam secara
keseluruhan.” Gerakan yang sekaligus mengembalikan pemahaman kethariqatan pada
makna sebenarnya bahwa thariqat yang bernilai berdiri di atas syariat yang
benar.
Akhlak
Yang
dimaksud dengan akhlak/moral dalam pengertian umum adalah”sebuah sistem yang
lengkap yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku
yang membuat orang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik tersebut
membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan
dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda”.
Dalam
bingkai agama Islam, para ulama mendefinisikan akhlak/moral adalah ”suatu
sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah, tanpa diawali berfikir panjang, merenung dan memaksakan diri,
seperti kemarahan seseorang yang asalnya pemaaf, maka itu bukan akhlak.
Demikian juga seorang bakhil, Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin
dipandang orang, Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak”.
Pada awalnya
terdapat perbedaan dimensi pemahaman mengenai definisi akhlak antara pemikir
barat dengan ulama Islam, dimana pemikir barat lebih menitikberatkan pada
pemahaman dunia sementara ulama Islam meliputi 2 dimensi pemahaman dunia dan
akhirat.
Dalam
perkembangannya dewasa ini baik pemikir barat ataupun ulama Islam memiliki
kesamaan pemahaman bahwa pada dasarnya akhlak mencakup/meliputi 4 dimensi
kehidupan manusia Fisik, Mental, Emosional dan Spiritual.
Mengapa
harus ber-akhlak?
Akhlak
merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dengan
Allah swt (hablumminallah) dan antar sesama (hablumminannas). Akhlak yang mulia
(akhlakul karimah) tidak lahir begitu saja sebagai kodrat manusia, atau terjadi
secara tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang serta manifetasi
seumur hidup melalui pembelajaran/pendidikan akhlak yang sistematis bersifat
menyeluruh meliputi 4 dimensi kehidupan.
Akhlak mulia
yang dikontrol oleh nilai-nilai agama Islam dapat membuat seorang muslim mampu
menjalankan tiga hal berikut dengan baik:
- Dalam berinteraksi dengan Tuhannya, yaitu dengan akidah dan ibadah yang benar disertai dengan akhlak mulia.
- Dalam berinteraksi dengan diri sendiri, yaitu dengan bersifat objektif, jujur, dan konsisten mengikuti manhaj Allah.
- Dalam berinteraksi dengan orang-orang, yaitu dengan memberikan hak-hak mereka, amanah, menunaikan kewajiban sebagaimana yang ditetapkan oleh syariat.
Dengan
kesuksesan dalam menjalani ketiga hal di atas, maka kita akan mendapatkan ridha
dari Allah, dari diri sendiri dan dari orang lain/masyarakat. Dan dengan
berpegang teguh pada nilai-nilai akhlak yang dibawa oleh Islam, maka kita mampu
mencapai kesuksesan dunia akhirat.
Posisi
Akhlak dalam Islam dan Ilmu Pengetahuan
Marilah kita
merenung sejenak. Sejak dari awal belajar Islam kita sudah dikenalkan pada
pokok keimanan dalam Islam; antara lain tentang bagaimana kita harus mengimani
Muhammad Saw sebagai utusan Allah. Dialah teladan terbaik umat manusia, maka
dekatkanlah diri kita, kehidupan dan nafas kita pada akhlak Nabi Muhammad Saw
karena sesungguhnya geraknya adalah gambaran gerak dan nafas hidup mulia.
Segala hal yang diperintahkan Allah sebagaimana tergurat di dalam Al Quran
telah menyatu dalam kesadaran tindakannya. Bahkan Allah sendiri memujinya.
”Sesungguhnya, engkau (wahai Muhammad) adalah benar-benar menampilkan akhlak
yang agung” (QS Al-Qalam : 4)
Ketinggian
dan kesempurnaan akhlak Nabi Muhammad Saw sangatlah memukau, agung dan mampu
mempesona tidak saja umat Islam bahkan kaum non Islam sekalipun. Seorang
pemikir barat George Bernard Shaw pernah mengatakan. ” Saya telah
mempelajari kehidupan Muhammad yang betul-betul mengagumkan…Saya yakin sekali,
orang seperti dia jika diserahi untuk memimpin dunia modern, tentu berhasil
menyelesaikan segala persoalan dengan cara yang dapat membawa dunia ke dalam
kesejahteraan dan kebahagiaan. Saya berani meramalkan bahwa akidah yang dibawa
Muhammad akan diterima baik di Eropa kemudian hari.”
Posisi
akhlak dalam Islam adalah dapat di ibaratkan sebagai fondasi yang melandasi
sebuah konstruksi bangunan yang bernama ”Kesuksesan Dunia Akhirat ” bagi
setiap manusia sebagai hamba Allah.
Dalam
pandangan ilmu pengetahuan akhlak dapat memberi konstribusi yang sangat besar
dalam menunjang prestasi/produktifitas. Memang banyak orang yang merasa bahwa
tidak ada kaitan secara nyata antara prestasi/produktifitas dengan akhlak,
jelas ini merupakan pandangan yang keliru. Bila kita memahami secara
sungguh-sungguh nilai-nilai akhlak mulia/akhlakul karimah, maka kita akan
menemukan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai yang dapat saling
bersinergi dalam menumbuh kembangkan potensi manusia kita.
Dengan
pemahaman seperti ini bayangkan betapa indahnya kombinasi antara keagungan/kemuliaan
akhlak seorang hamba Allah dengan ketinggian produktifitas dan efektifitasnya
dalam berkarya. Terlebih apabila kombinasi tersebut disertai dengan aktifitas
ruhaniyah/spiritual dalam bingkai tarekat yang benar dan hak melalui bimbingan
seorang wali yang Mursyid, maka dapatlah dipastikan bahwa kita akan menjadi
pribadi-pribadi yang unggul dan mendapatkan kemenangan dunia akhirat. Inilah
kemenangan dalam makna hakikat yang sebenarnya!
Bagaimana
agar dapat ber-Akhlakul karimah
Pertanyaan
mendasar apabila kita mencermati pernyataan di atas adalah, mampukah kita
mengikuti/mentauladani perilaku Rasulullah saw dalam ber-akhlakul karimah?
Seorang pemikir barat Marianne Williamson dengan indahnya menyatakan bahwa,
ketakutan kita yang paling dalam bukanlah bahwa kita ini tidak mampu.
Sebaliknya, ketakutan kita yang paling dalam adalah bahwa kita amat sangat
berpotensi/berkuasa untuk mampu. Mengingat kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan
yang dilahirkan dengan potensi/kemampuan yang sangat luar biasa.
Mengingat kodrat
manusia tersebut, maka masalahnya adalah bukan bagaimana memasukkan
pemikiran-pemikiran baru tentang akhlak ke dalam kepala kita, tetapi bagaimana
kita mampu mengeluarkan dan mengoptimalkan pemikiran-pemikiran lama sebagaimana
yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Berikut tips
bagaimana kita ber-akhlakul karimah, yang terdiri dari 1 pemahaman inti dan 3
langkah konkret:
Pemahaman
Inti, Tanamkan,
dedikasikan secara sungguh-sungguh dalam pemikiran dasar/mind set kita untuk
”Dahulukan nurani dari ego!”
3
langkah konkret,
1. Fahami
secara mendasar nilai-nilai akhlakul karimah sebagaimana dicontohkan oleh
Rasulullah saw.
2. Ajarkan
kepada orang lain dalam setiap kesempatan mengenai hal-hal yang kita fahami
mengenai akhlakul karimah tersebut.
3. Secara
sistematik dan sungguh-sungguh menerapkan/ melaksanakan hal-hal yang difahami
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana
pada lingkungan yang paling dekat dan bersifat privat, serta segerakan mulai
dari saat ini.
Dengan
pemahaman dan langkah-langkah tersebut diharapkan dapat tercipta suatu
kebiasaan yang pada akhirnya bila kita lakukan secara konsisten maka akan
terbentuk karakter/integritas akhlakul karimah dalam diri kita.
Selanjutnya
dengan implementasi akhlakul karimah/akhlak mulia maka jaminannya adalah kita
akan menjadi mukmin sempurna/pribadi unggul dan mendapatkan kemenangan dunia
akhirat. Adapun ganjaran mukmin sempurna adalah:
1. Terhormat
di mata Allah
2. Terhormat
di mata masyarakat
3. Terhormat
di mata diri sendiri
Fenomena
keagungan akhlak pada jaman Rasulullah SAW
Berikut
salah satu kisah yang pantas menjadi tauladan bagi kita pada masa Rasulullah
SAW.
Salah
seorang sahabat nabi yang terkenal dengan kealiman (tinggi ilmu) dan
kezuhudannya (sederhana), Abdullah bin Umar suatu ketika bertemu dengan seorang
pengembala kambing ditengah padang pasir yang tandus, muncul keingintahuannya
untuk mengetahui apakah ajaran Islam dalam bingkai akhlak mulia yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW sampai ke tengah padang pasir yang sangat
terpencil tersebut?
Setelah
mengucapkan salam, Abdullah bin Umar berkata kepada pengembala yang masih bocah
itu. ”Hai pengembala, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembala
ini.Bekalku sudah habis.”
”Maaf
Tuan, aku hanyalah seorang budak yang mengembalakan kambing-kambing ini. Aku
tidak bisa menjualnya. Ini bukan milikku tapi milik majikanku.” Jawab
pengembala itu.
”Ah itu
masalah yang mudah. Begini, kau jual seekor saja kambingmu padaku. Kambing yang
kau jaga ini sangat banyak, tentu akan sangat sulit bagi tuanmu untuk
menghitung jumlahnya. Atau kalaupun dia tahu ada sesekor kambing yang
berkurang, bilang saja telah dimangsa srigala padang pasir. Mudah sekali,
bukan? Kau pun bisa menikmati uangnya.” Bujuk Abdullah bin Umar dengan serius.
”Lalu,
di mana Allah? Majikanku memang tidak akan tahu dan bisa saja dibohongi, tetapi
ada Dzat Mahatahu, yang pasti melihat apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah
tidak ada?” Jawab pengembala itu mantap.
Sungguh
jawaban itu membuat Abdullah bin Umar tersentak kaget. ”Aku tidak diberi kuasa
oleh majikanku untuk menjual kambing ini. Aku hanya diperbolehkan mengembalanya
dan meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan memberi minum para
musafir yang kehausan.”
”Minumlah
Tuan, kulihat anda kehausan. Jika masih kurang bisa tambah. Jangan kuatir, susu
ini halal. Allah tahu ini halal sebab pemiliknya menyuruhku memberinya pada
musafir yang kehausan.” Tutur pengembala dengan wajah ramah.
Abdullah bin
Umar meminum susu itu dengan perasaan terharu. Dia minum sampai rasa hausnya
hilang. Setelah itu, dia mohon diri.
Dijalan,
dia tidak bisa menyembunyikan tangisnya, teringat kata-kata pengembala itu, ”Di
mana Allah? Apakah kau kira Allah tidak ada?” Dia menangis mengingat
seorang bocah pengembala kambing di tengah padang pasir yang pakaiannya kumal,
ternyata memiliki rasa takwa yang begitu dalam. Dia memiliki kejujuran yang
tinggi. Hatinya menyinari keimanan.
Akhlaknya
sungguh mulia. Sesungguhnya ajaran Rasulullah telah terpatri dalam jiwanya.
Abdullah bin Umar terus melangkahkan kakinya sambil bercucuran air mata.
Sepantasnyalah seorang manusia yang berakhlak mulia dan memiliki ketakwaan
kapada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba sahaya
manusia. Dia hanya pantas menjadi hamba Allah Swt!
Selanjutnya
Abdullah bin Umar membeli budak itu dan langsung memerdekakannya.
Akhlakul
karimah sebagai Ubudiyah
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya menjadi jelaslah bagi kita bagaimana posisi aklakul
karimah dalam Ubudiyah. Bahwa kagungan dan ketinggian akhlak kita merupakan
manifestasi lain dalam Ubudiyah/pengabdian pribadi kita sebagai hamba Allah.
Lalu kalau
demikian mengapa kita tidak berupaya dengan sekuat tenaga untuk meningkatkan
kualitas akhlak kita? Berupaya secara konsisten melakukan improvement untuk
meninggikan dan menagungkan akhlak kita sebagaimana dicerminkan olah
Rasulullah? Sementara kesadaran dalam diri kita mengatakan bahwa salah satu
bentuk terbaik dari persembahan kepada sang Guru dalam pemahaman thareqat
adalah Ubudiyah/Pengabdian!
Karena
sesungguhnya berdasarkan cerita dan pengalaman para ihwan yang secara ikhlas
dan sungguh-sungguh mengabdikan dirinya pada jalan Allah, telah banyak
pembuktian bahwa memang Tuhan tidak mau kalah budi dengan umatnya. Bahwa apa
yang kita abdikan dan sumbangsihkan kepada jalan Allah melalui pengabdian kita
kepada Mursyid dan ajarannya pasti akan terbayar! Tidak akan pernah membuat
kita tertinggal apalagi sia-sia!
Pada
dasarnya nilai-nilai akhlak mulia (Akhlakul karimah) yang dibawa Islam-jika
diamalkan secara konsisten dan penuh rasa tanggung jawab-mampu menjawab
problematika yang sedang diderita umat Islam saat ini, baik permasalahan
sosial, politik maupun ekonomi. Sejarah merupakan bukti konkret hal ini,
bagaimana umat Islam dalam masyarakat Madinah pada zaman Rasulullah Saw menjadi
masyarakat yang begitu mengagumkan dan tetap menjadi tauladan serta tolok ukur
sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, jika nilia-nilai akhlak tersebut
dilaksanakan maka hari ini dan hari depan akan menjadi saksi kebenarannya.
Perilaku
|Produk|Hasil / Output|Dampak
Ber-Akhlakul
karimah mampu mengilhami orang lain
Dengan
terwujudnya perilaku berdasarkan nilai-nilai akhlakul karimah yang tercermin
pada keagungan dan ketinggian budi pekerti pribadi-pribadi muslim tersebut,
manakala hal itu dilakukan secara konsisten dan terus menerus, pada akhirnya
dapat dipastikan bahwa pancaran cahaya dari dalam diri pribadi itu akan mampu
menyinari sekelilingnya. Mampu menjadi pendorong terciptanya perubahan bagi
orang lain dan lingkungannya, menjadi pribadi-pribadi unggul sebagaimana
dirinya.
Sejalan
dengan fatwa YM Ayahanda Guru, bahwa murid-murid tareket Naqsyabandiyah di
seluruh muka bumi ini adalah laksana batu tawajjuh yang dapat memberikan
perubahan, keberkahan dan terbukanya hijab untuk menerima petunjuk bagi siapa
saja yang berada dalam lingkungan serta berinteraksi dengannya.
Dengan
demikian setiap pribadi muslim pada umumnya dan khususnya ihwan pengamal
tareket naksyabandiyah YM Ayahanda Guru mampu menjadi Agent of Change bagi orang
lain , laksana virus yang menyebarkan nilai-nilai kebaikan sehingga akhlak
mulia/akhlakul karimah benar-benar dapat menciptakan suatu kominitas/lingkungan
dan pada akhirnya suatu negara sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah Saw
dan para sahabat beliau yang telah terbukti oleh sejarah bahwa ketinggian
akhlak kaum mukmin pada masa Rasulullah mampu menciptakan masyarakat yang
’baldatun toyibatun wa rabbun ghoffuur”.
Berikut
sepenggal kisah keagungan dan ketinggian akhlak beliau yang sangat berharga untuk
kita renungkan. Betapa konsistensi beliau terhadap nilai-nilai kemuliaan akhlak
bahkan sampai menjelang wafat sekalipun.
Saat itu
menjelang wafat, beliau mengumpulkan para sahabat, lalu beliau menyampaikan
fatwa singkat.
”Wahai kaum
muslimin, sesungguhnya aku adalah Nabimu, pemberi nasihat dan yang mengajak
kepada Allah dengan seizin-Nya. Bagimu, aku tak berdaya seperti saudara seayah
dan seibu. Siapa diantara kamu yang pernah kusakiti, bangkitlah dan balaslah
aku sebelum datang pembalasan di hari kiamat nanti.”
Awalnya,
tak ada tanggapan dari para sahabat, hingga ketiga kalinya Nabi Saw nampak
marah sembari berteriak. ”Ayo, siapa yang pernah kusakiti bangkitlah, balaslah
aku…ambil qisasnya pada diriku!”
Pada saat
itulah Ukasyah, salah seorang sahabat Nabi yang hadir pada saat itu, bangkit
dan berkata, ”Wahai Rasulullah, demi ayah ibuku yang menjadi tebusannya. Jika
engkau tidak menyerukan hal itu hingga tiga kali, tentu tidak ada seorangpun
yang dapat mendorong aku untuk menghadapmu.”
”Apa
keinginanmu ya Ukasyah?” tanya Nabi.
”Begini
Baginda, pada saat perang Badar, tiba-tiba saja unta yang kutunggangi lepas
kendali dan mendahului unta Baginda, sehingga aku keluar barisan. Aku turun
mendekat kepada Baginda. Saat itulah tiba-tiba baginda mengayunkan cambuk
ketubuhku. Aku tidak tahu, apakah Baginda sengaja memukulku atau memukul
unta.”
Meski
motifnya belum jelas, Rasulullah segera mengambil sikap tegas, balasan harus
ditunaikan. Beliau meminta Bilal untuk megambil cambuk dirumah Fatimah. Dengan
tegopoh-gopoh Bilal kembali ke majelis dengan membawa cambuk, lalu diserahkan
kepada Ukasyah. Ukasyah pun siap menunaikan qisas. Abu Bakar r.a dan Umar r.a.
dua sahabat setia Rasulullah segera bangkit menghadangnya. ”Hai Ukasyah,
sekarang kami dihadapanmu, ambillah qisasmu dari kami. Sedikitpun kami tidak
rela kamu mengambil qisas kepada Rasul.” Tetapi Rasulullah menenangkan mereka
dan meminta mereka untuk kembali duduk.
Tidak
hanya Abu Bakar dan Umar, sahabat yang lainpun Ali serta Hasan dan Husein juga
maju meminta hal yang sama kepada Ukasyah. Namun Rasulullah kembali
menenanangkan mereka. Nabi kemudian meminta Ukasyah untuk segera melaksanakan
qisas. ”Ukasyah, cambuklah aku. Lakukan jika aku pernah benar-benar melakukan
kesalahan padamu.”
”Ya Rasul,
ketika engkau memukulku, saat itu aku tidak memakai baju.” Jelas Ukasyah.
Rasulullah pun langsung menuruti, dibukanya baju beliau. Begitu melihat Rasul
tidak mengenakan bajunya, para sahabat menangis histeris. Ukasyah sendiri
bergetar hatinya, meremang bulu kuduknya dan larut dalam keagungan serta
kebesaran jiwa Nabi dihadapannya. Saat itulah dia melakukan keanehan, tidak
melakukan qisas, tetapi justru menubruk tubuh Rasulullah seraya mencium kulit
bagian perutnya sampil menangis sejadi-jadinya.
”Subhaanakaallahumma
wabihamdika, Asyhadu al-laa ilaahailla Anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaik.”
”Maha suci Engkau ya Allah. Dengan memuji-Mu saya bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Engkau. Saya memohon ampun dan bertobat kepada-Mu.”
Tarekat/Tariqat/Tariqah
Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi
yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia
Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina,
dan wilayah Dagestan, Russia.
Bermula di
Bukhara pada akhir abad ke-14,
Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam
waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya
cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani
("Pembaru Milenium kedua"). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan
tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat
Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam
beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik
dan tari[rujukan?],
serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin
kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak
konsisten).[rujukan?]
Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi
نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu
Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu
ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya
yaitu Baha-ud-Din
Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut
sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi
menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai
Emas". Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah
spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu
Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya
melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.
'idhznya
Yang Berke'== PENDIRI TARIQAT NAQSHBANDIYAH ==
BELIAU adalah
Imam Tariqat Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin
Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan
Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masihi iaitu pada abad ke 8 Hijrah
bersamaan dengan abad ke 14 Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul
‘Arifan berdekatan Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir
dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah ‘alaih dan
seterusnya menerima rahsia-rahsia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat
Sayyid Amir Kullal Rahmatullah ‘alaih. Ia menerima limpahan Faidhz dari Hadhrat
Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menerusi Hadhrat Khwajah
Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang telah 200 tahun
mendahuluinya secara Uwaisiyah.
Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku
sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir
kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk
meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”
Suara itu
menakutkan daku hingga menyebabkan daku lari keluar dari rumah. Daku berlari ke
sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Daku membasuh pakaianku lalu mendirikan Solat
dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah daku alami, dengan merasakan
seolah-olah daku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka
dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan daku tidak menyedari
sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya.
Aku telah
ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan
ini?”
Aku
menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi.”
Aku dijawab,
“Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami
kehendaki itulah yang akan terjadi.”
Dan aku pun
berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan
melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini.”
Lalu daku
menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa
sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan
dilakukan.”
Dan daku
sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan
adalah apa yang mesti berlaku.”
Lalu daku
ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami
kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai
Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan.”
Daku amat
gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan
menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci.” Dan
daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau
telah diberikan apa yang telah dikau minta.”
Beliau telah
menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari
Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri
dari lapan perkara iaitu:
Yad Kard,
Baz Gasyt,
Nigah
Dasyat, Yad Dasyat,
Hosh Dar
Dam, Nazar
Bar Qadam, Safar
Dar Watan, Khalwat
Dar Anjuman.
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya
sebelas iaitu:
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Jalan Tariqat kami adalah sangat
luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang
teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa
daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya
menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami,
dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak
langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam.”
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat
Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa
Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah.
Dia adalah
ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara
hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal
kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran
Ruhaniahnya.
Dia amat dikenali
oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang
bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia mensucikan Ruh-Ruh
manusia tanpa pengecualian menerusi napasnya yang suci. Dia memikul cahaya
Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR
RASULULLAH.
Cahaya
petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam
sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga
meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts,
Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani.
Semoga Allah
Merahmatinya Dan Mengurniakan Limpahan Fakalan Kepada Kita. Amin.
KEKHUSUSAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH
HADHRAT Imam
Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang
merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH
telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam
Rabbani, “Ketahuilah bahawa thoriqoh yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan
Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan
Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala
mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya.
Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda
Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta
menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai
kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan
dan mendahului mereka yang lain.”
Adapun
Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan
kelebihan dan keunggulan THORIQOH NAQSYABANDIYAH dengan beberapa lafaz yang
ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan
seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum
beliau menerima Silsilah THORIQOH NAQSYABANDIYAH beliau telah menempuh beberapa
jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa
Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah.
Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari
gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Beliau telah
berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling
berfaedah adalah THORIQOH NAQSYABANDIYAH dan telah memilihnya serta telah
menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran.
“Allahumma
Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq”
Terjemahan:
“Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan
dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya.”
Hadhrat Shah
Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas
hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri,
berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan
Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat
yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah.
Naqsh
bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat,
terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran
yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa
Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan
mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah
Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran
kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih
diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan
menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas
atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz
Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati.
Silsilah
‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar
As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi
‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti
Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat
yang lazim.
Tariqat ini
mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang
sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan
Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan
kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman
hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.
Dalam
THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah
berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan
Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat
Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat
dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan
Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki
tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam
Tariqat ini adalah sepertimana Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda
Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dengan hanya
duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta
biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada
maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan
berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan
ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang
hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang
lain.
Kerana
itulah Para Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH Rahimahumullah mengatakan bahawa,
“Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”.
Dan
dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah
Ma Na Khwahad Aamad.” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak
diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak
akan dapat datang.”
Yakni
barangsiapa yang menuruti THORIQOH kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya
dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari
menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya.
Di dalam
THORIQOH NAQSYABANDIYAH, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga)
menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim
Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah ianya disebut
Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat:
“Bahawa
engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.
Semoga Allah
Mengurniakan Kita Taufiq.
PERKEMBANGAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH
ADAPUN
gelaran nama THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini mula masyhur di zaman Hadhrat Shah
Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin
Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahawa nama
Tariqat Naqshbandiyah ini berbeza-beza menurut zaman.
Di zaman
Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman
Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih
dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi.
Di zaman
Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih
sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani
Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang
ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat.
Kemudian di
zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih
sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin
Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai
Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan lapan
prinsip asas Tariqat iaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh
Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman.
Kemudian
pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband
Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar
Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah.
Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah
‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah
Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf
‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Pada zaman
Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat
Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini
dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad
Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Bermula dari
zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah
‘alaih Tariqat ini mula dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif
Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini
mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman
Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih.
Kemudian
Tariqat ini dikenali dengan nama Mazhariyah sehingga ke zaman Hadhrat Qutub
Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih.
Pada zaman
Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih,
seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad
Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi
sekembalinya beliau dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya
Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah beliau menerima
isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini
dan beliau telah membawanya ke negara Timur Tengah.
Hadhrat
Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih
mula memperkenalkan amalan Suluk iaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini mula
dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah
dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebarlah ia
di serata Tanah Melayu dan Indonesia. Walaubagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat
ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah.
Adapun Para
Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat
mereka sendiri untuk membezakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti
Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah
ini telah berkembang biak dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini
telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeza, namun ikatan keruhanian dari
rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina
Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan sehingga ke Hari
Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan
kepada sekelian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini.
Dalam
perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaedah jalan yang biasa
diperkenalkan oleh Para Masyaikh Tariqat, iaitu sama ada sesebuah Tariqat itu
menuruti Tariqat Nafsani ataupun Tariqat Ruhani.
Tariqat
Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan mentarbiyahkan Nafs dan menundukkan
keakuan diri. Nafs atau keakuan diri ini adalah sifat Ego yang ada dalam diri
seseorang. Nafs dididik bagi menyelamatkan Ruh dan jalan Tariqat Nafsani ini
amat sukar dan berat kerana Salik perlu melakukan segala yang berlawanan dengan
kehendak Nafs. Ianya merupakan suatu perang Jihad dalam diri seseorang Mukmin.
Tariqat Ruhani adalah lebih mudah yang mana pada mula-mula sekali Ruh akan
disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan Nafs. Setelah Ruh disucikan dan
telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka Nafs atau Egonya dengan
secara terpaksa mahupun tidak, perlu menuruti dan mentaati Ruh.
Kebanyakan
jalan Tariqat yang terdahulu menggunakan pendekatan Tariqat Nafsani, namun
berbeza dengan Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah, mereka menggunakan
pendekatan Tariqat Ruhani iaitu dengan mentarbiyah dan mensucikan Ruh Para
Murid mereka terlebih dahulu, seterusnya barulah mensucikan Nafs.
Semoga Allah
Subhanahu Wa Ta’ala memimpin kita ke jalan Tariqat yang Haq, yang akan membawa
kita atas landasan Siratul Mustaqim sepertimana yang telah dikurniakanNya
nikmat tersebut kepada Para Nabi, Para Siddiqin, Para Syuhada dan Para Salihin.
Mudah-mudahan dengan menuruti Tariqat yang Haq itu dapat menjadikan kita insan
yang bertaqwa, beriman dan menyerah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Seorang
Penyair Sufi pernah berkata,
Seseorang
yang berasa lemah dari mendapat kefahaman adalah seorang yang mengerti; Dan
berhenti dalam menjalani perjalanan orang-orang yang berkebaikan adalah suatu
Syirik.
Apa maksudnya???
ALLAH HUWA
ALLAH HAQQ ALLAH HAYY
Riwayat Thoriqoh
THORIQOH
merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu
dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya
dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at
yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di
dalam Agama Islam.
Ilmu Tariqat
juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu
Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah
bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat
Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya
Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat
Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian
Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa
Ashabihi Wasallam.
Kemudian
ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu
Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib
Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah
Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini.
Hadhrat
Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengurniakan
Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu.
Di zaman
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang
Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah
menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak
pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan beliau hidup pada suatu zaman
yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Pada tahun
657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih
telah membangunkan suatu jalan Tariqat yang mencapai ketinggian yang terkenal
dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan
Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang
jauh.
Di dalam
kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa di zaman Hadhrat Baginda Nabi
Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar
As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah
menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah dimana upacara Bai’ah dilakukan dan majlis-majlis zikir pun
turut diadakan.
Tariqat
menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh
terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga
huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta
bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah. Lafaz jamak bagi
Tariqat ialah Taraiq atau Turuq yang bererti tenunan dari bulu yang berukuran 4
hingga 8 hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tariqat juga bererti
garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut
Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada
jenis-jenis pakaian.
Ijazah seorang Syekh dalam silsilah tarekat
Dalam
tasawuf, seperti dalam setiap disiplin Islam yang serius seperti fiqh, tajwid,
dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau 'syekh' dari siapa
mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan begitu
pada, dalam rantai master terus kembali kepada Nabi (sallallahu `alaihi wa
sallam) yang adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini
berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari
master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan
diverifikasi diinvestasikan murid - baik secara tertulis atau di depan sejumlah
saksi - untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang (murshid
ma'dhun) untuk generasi murid penerus.
Silsila
tersebut transmisi dari garis lurus dari master adalah salah satu kriteria yang
membedakan jalan sufi yang benar 'berhubungan' (tarekat muttasila), dari jalan
'diputus' tidak otentik atau, (tarekat munqati'a). Pemimpin jalan yang diputus
bisa mengklaim sebagai syekh berdasarkan izin yang diberikan oleh Syeikh dalam
keadaan diverifikasi pribadi atau lainnya, atau oleh seorang tokoh yang telah
meningal dunia ini, seperti salah satu dari orang soleh atau Nabi sendiri
(sallallahu `alaihi wa sallam), atau dalam mimpi, dan sebagainya. Praktek ini
hanya "menghangatkan hati" (biha yusta'nasu) tetapi tidak memenuhi
kondisi tasawuf yang seorang Syekh harus memiliki otorisasi ijazah yang jelas menghubungkan dia dengan Nabi (sallallahu
`alaihi wa sallam), salah satu yang bisa diverifikasi oleh orang lain daripada
dirinya sendiri. Banyak kebohongan diberitahu oleh orang-orang, dan tanpa
otorisasi atau ijazah yang bisa diverifikasi oleh publik, tarekat akan
dikompromikan oleh mereka.
Silsilah Tariqah
SETIAP hari
sewaktu terbit dan sebelum terbenam matahari, bacalah "A'uzubillahi
Minash-Syaitanir Rajim", lalu membaca "Bismillahir Rahmanir
Rahim" dan "Surah Al-Fatihah" sekali dan "Surah
Al-Ikhlas" sebanyak 3 kali beserta "Bismillahir Rahmanir Rahim",
kemudian dihadiahkan pahala bacaan tersebut kepada sekalian Ruhaniyah Para
Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah seperti berikut: "Ya
Allah, telah ku hadiahkan seumpama pahala bacaan Fatihah dan Qul Huwa Allah
kepada sekelian Arwah Muqaddasah Masyaikh Akabirin Silsilah 'Aliyah
Naqshbandiyah Mujaddidiyah." Seterusnya membaca Syajarah Tayyibah ini pada
kedua-dua waktu yang tersebut.
- 1. Syafi'ul Muznibin Rahmatan lil 'Alamin Hadhrat Muhammad Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam.
- 2. Khalifah Rasulullah Hadhrat Abu Bakar Siddiq Radhiyallahu 'Anhu.
- 3. Sahibi Rasulullah Hadhrat Salman Farisi Radhiyallahu 'Anhu.
- 4. Hadhrat Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar Radhiyallahu 'Anhum.
- 5. Hadhrat Imam Ja'afar Sadiq Radhiyallahu 'Anhu.
- 6. Hadhrat Khwajah Abu Yazid Bistami Rahmatullah 'alaihi.
- 7. Hadhrat Khwajah Abul Hassan Kharqani Rahmatullah 'alaihi.
- 8. Hadhrat Khwajah Abu 'Ali Faramadi Rahmatullah 'alaihi.
- 9. Hadhrat Khwajah Yusof Hamdani Rahmatullah 'alaihi.
- 10. Hadhrat Khwajah 'Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah 'alaihi.
- 11. Hadhrat Khwajah 'Arif Riwagari Rahmatullah 'alaihi.
- 12. Hadhrat Khwajah Mahmud Anjir Faghnawi Rahmatullah 'alaihi.
- 13. Hadhrat Khwajah 'Azizan 'Ali Ramitani Rahmatullah 'alaihi.
- 14. Hadhrat Khwajah Muhammad Baba Sammasi Rahmatullah 'alaih.
- 15. Hadhrat Khwajah Sayyid Amir Kullal Rahmatullah 'alaihi.
- 16. Hadhrat Khwajah Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah 'alaihi.
- 17. Hadhrat Khwajah 'Alauddin 'Attar Rahmatullah 'alaihi.
- 18. Hadhrat Khwajah Ya'qub Carkhi Rahmatullah 'alaihi.
- 19. Hadhrat Khwajah 'Ubaidullah Ahrar Rahmatullah 'alaihi.
- 20. Hadhrat Khwajah Muhammad Zahid Rahmatullah 'alaihi.
- 21. Hadhrat Khwajah Darwish Muhammad Rahmatullah 'alaihi.
- 22. Hadhrat Maulana Khwajah Amkangi Rahmatullah 'alaihi.
- 23. Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah 'alaihi.
- 24. Hadhrat Khwajah Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah 'alaihi.
- 25. Hadhrat Khwajah Muhammad Ma'sum Rahmatullah 'alaihi.
- 26. Hadhrat Khwajah Syeikh Saifuddin Rahmatullah 'alaihi.
- 27. Hadhrat Khwajah Sayyid Nur Muhammad Budayuni Rahmatullah 'alaihi.
- 28. Hadhrat Khwajah Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah 'alaihi.
- 29. Hadhrat Maulana Khwajah Shah ‘Abdullah Ghulam 'Ali Dehlawi Rahmatullah 'alaihi.
- 30. Hadhrat Khwajah Shah Abu Sa’id Rahmatullah 'alaihi.
- 31. Hadhrat Khwajah Shah Ahmad Sa'id Rahmatullah 'alaihi.
- 32. Hadhrat Khwajah Haji Dost Muhammad Qandahari Rahmatullah 'alaihi.
- 33. Hadhrat Khwajah Haji Muhammad 'Utsman Rahmatullah 'alaihi.
- 34. Hadhrat Khwajah Haji Muhammad Sirajuddin Rahmatullah 'alaihi.
- 35. Hadhrat Khwajah Maulana Abu Sa'ad Ahmad Khan Rahmatullah 'alaihi.
- 36. Hadhrat Khwajah Maulana Muhammad 'Abdullah Rahmatullah 'alaihi.
- 37. Hadhrat Maulana Khwajah Khan Muhammad Sahib Mudda Zilluhul 'Ali.
- 38. Hadhrat Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi 'Ufiyallahu 'Anhu Wali Walidaihi.
- 39. Bar Faqir Haqir, Khak Paey Buzurgan, La Syai Miskin ........................……………………..'Ufiya 'Anhu Par, Raham Farma Wa Muhabbat Wa Ma'rifat Wa Jam'iyat Zahiri Wa Batini Wa 'Afiyati Darain Wa Bahrahi Kamil Az Fuyudzi Wa Barkati In Buzurgan Rozi Ma Kun. Robbana Tawaffana Muslimin, Wa Alhiqna Bissolihin.
Kepada hamba
yang faqir dan hina yang di bawah telapak kaki Para Masyaikh yang tiada apa-apa
lagi miskin ……............................….………………… semoga di ampunkan,
Rahmatilah kami dan kurniakanlah Kasih Sayang dan Makrifat serta Jam'iyat Zahir
dan Batin serta ‘Afiyat di Dunia dan Akhirat dan Lautan Kesempurnaan dari
Limpahan Faidhz dan keberkatan Para Masyaikh ini.
Ya Tuhan
kami, matikanlah kami sebagai Muslim dan sertakanlah kami bersama Para Salihin.
AJARAN ASAS NAQSHBANDIYAH
TARIQAT
Naqshbandiyah mempunyai prinsip asasnya yang tersendiri yang telah diasaskan
oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan Maulana Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani
Rahmatullah ‘alaih. Ia telah meletakkan lapan prinsip asas ini sebagai dasar
Tariqat Naqshbandiyah. Prinsip-prinsip ini dinyatakannya dalam sebutan bahasa
Parsi dan mengandungi pengertian dan pangajaran yang amat tinggi nilainya.
Adapun prinsip-prinsipnya adalah seperti berikut:
- 1. Yad Kard
- 2. Baz Gasht
- 3. Nigah Dasyat
- 4. Yad Dasyat
- 5. Hosh Dar Dam
- 6. Nazar Bar Qadam
- 7. Safar Dar Watan
- 8. Khalwat Dar Anjuman
Hadhrat
Syeikh Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih yang merupakan sahabat, khalifah dan
penulis riwayat Hadhrat Maulana Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih
telah menyatakan di dalam kitabnya bahawa ajaran Tariqat Hadhrat Khwajah Maulana
Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih berkenaan zikir dan ajaran
lapan prinsip asas seperti yang dinyatakan di atas turut dianuti dan diamalkan
oleh 40 jenis Tariqat. Tariqat lain menjadikan asas ini sebagai panduan kepada
jalan kebenaran yang mulia iaitu jalan kesedaran dalam menuruti Sunnah Hadhrat
Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan meninggalkan sebarang
bentuk Bida’ah dan bermujahadah melawan hawa nafsu. Kerana itulah Hadhrat
Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih mencapai
ketinggian Ruhani dan menjadi seorang Mahaguru Tariqat dan penghulu pemimpin
keruhanian pada zamannya.
1. YAD KARD
Yad bererti
ingat yakni Zikir. Perkataan Kard pula bagi menyatakan kata kerja bagi ingat
yakni pekerjaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ianya merupakan zat
bagi zikir. Berkata Para Masyaikh, Yad Kard bermaksud melakukan zikir
mengingati Tuhan dengan menghadirkan hati. Murid yang telah melakukan Bai‘ah
dan telah ditalqinkan dengan zikir hendaklah senantiasa sibuk mengingati Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dengan kalimah zikir yang telah ditalqinkan.
Zikir yang
telah ditalqinkan oleh Syeikh adalah zikir yang akan membawa seseorang murid
itu mencapai ketinggian darjat Ruhani. Syeikh akan mentalqinkan zikir kepada
muridnya sama ada Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat secara Lisani
ataupun Qalbi. Seseorang murid hendaklah melakukan zikir yang
sebanyak-banyaknya dan sentiasa menyibukkan dirinya dengan berzikir. Pada
setiap hari, masa dan keadaan, sama ada dalam keadaaan berdiri atau duduk atau
berbaring ataupun berjalan, hendaklah sentiasa berzikir.
Pada
lazimnya seseorang yang baru menjalani Tariqat Naqshbandiyah ini, Syeikh akan
mentalqinkan kalimah Ismu Zat iaitu lafaz Allah sebagai zikir yang perlu
dilakukan pada Latifah Qalb tanpa menggerakkan lidah. Murid hendaklah berzikir
Allah Allah pada latifah tersebut sebanyak 24 ribu kali sehari semalam setiap
hari sehingga terhasilnya cahaya Warid.
Ada
sebahagian Syeikh yang menetapkan jumlah permulaan sebanyak lima ribu kali
sehari semalam dan ada juga yang menetapkannya sehingga tujuh puluh ribu kali
sehari semalam.
Seterusnya
murid hendaklah mengkhabarkan segala pengalaman Ruhaniahnya kepada Syeikh
apabila menerima Warid tersebut. Begitulah pada setiap Latifah, murid hendaklah
berzikir sebanyak-banyaknya pada kesemua Latifah seperti yang diarahkan oleh
Syeikh sehingga tercapainya Warid. Mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara
sempurna adalah dengan berzikir menghadirkan hati ke Hadhrat ZatNya.
Setelah
Zikir Ismu Zat dilakukan pada setiap Latifah dengan sempurna, Syeikh akan
mentalqinkan pula Zikir Nafi Itsbat iaitu kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH yang
perlu dilakukan sama ada secara Lisani iaitu menerusi lidah atau secara Qalbi
iaitu berzikir menerusi lidah hati.
Zikir Nafi
Itsbat perlu dilakukan menurut kaifiyatnya. Syeikh akan menentukan dalam bentuk
apa sesuatu zikir itu perlu dilakukan. Yang penting bagi Salik adalah
menyibukkan diri dengan zikir yang telah ditalqinkan oleh Syeikh sama ada ianya
Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat. Salik hendaklah memelihara zikir
dengan hati dan lidah dengan menyebut Allah Allah iaitu nama bagi Zat Tuhan
yang merangkumi kesemua Nama-NamaNya dan Sifat-SifatNya yang mulia serta dengan
menyebut Zikir Nafi Itsbat menerusi kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH dengan
sebanyak-banyaknya. Salik hendaklah melakukan Zikir Nafi Itsbat sehingga dia
mencapai kejernihan hati dan tenggelam di dalam Muraqabah. Murid hendaklah
melakukan Zikir Nafi Itsbat sebanyak 5 ribu ke 10 ribu kali setiap hari bagi
menanggalkan segala kekaratan hati. Zikir tersebut akan membersihkan hati dan
membawa seseorang itu kepada Musyahadah.
Zikir Nafi
Itsbat menurut Akabirin Naqshbandiyah, seseorang murid yang baru itu hendaklah
menutup kedua matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, menongkatkan
lidahnya ke langit-langit dan menahan napasnya. Dia hendaklah mengucapkan zikir
ini dengan hatinya bermula dari kalimah Nafi dan seterusnya kalimah Itsbat.
Bagaimanapun, bagi murid yang telah lama hendaklah membukakan kedua matanya dan
tidak perlu menahan napasnya.
Bermula dari
kalimah Nafi iaitu LA yang bererti Tiada, dia hendaklah menarik kalimah LA ini
dari bawah pusatnya ke atas hingga ke otak. Apabila kalimah LA mencapai otak,
ucapkan pula kalimah ILAHA di dalam hati yang bererti Tuhan. Kemudian hendaklah
digerakkan dari otak ke bahu kanan sambil menyebut ILLA yang bererti Melainkan,
lalu menghentakkan kalimah Itsbat iaitu ALLAH ke arah Latifah Qalb. Sewaktu
menghentakkan kalimah ALLAH ke arah Qalb, hendaklah merasakan bahawa kesan
hentakan itu mengenai kesemua Lataif di dalam tubuh badan.
Zikir yang
sebanyak-banyaknya akan membawa seseorang Salik itu mencapai kepada kehadiran
Zat Allah dalam kewujudan secara Zihni yakni di dalam pikiran. Salik hendaklah
berzikir dalam setiap napas yang keluar dan masuk. Yad Kard merupakan amalan
dipikiran yang bertujuan pikiran hendaklah sentiasa menggesa diri supaya
sentiasa ingat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melakukan zikir bagi
mengingati ZatNya. Pekerjaan berzikir mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala
adalah suatu amalan yang tiada batas dan had. Ianya boleh dikerjakan pada
sebarang keadaan, masa dan tempat. Hendaklah sentiasa memperhatikan napas
supaya setiap napas yang keluar dan masuk itu disertai ingatan terhadap Zat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
2. BAZ GASHT
Baz Gasht
bererti kembali. Menurut Para Masyaikh, maksudnya ialah seseorang yang
melakukan zikir dengan menggunakan lidah hati menyebut Allah Allah dan LA ILAHA
ILLA ALLAH, begitulah juga setelah itu hendaklah mengucapkan di dalam hati
dengan penuh khusyuk dan merendahkan diri akan ucapan ini:
“Ilahi Anta
Maqsudi, Wa Ridhoka Matlubi, A’tini Mahabbataka Wa Ma’rifataka”
Yang
bererti, “Wahai Tuhanku Engkaulah maksudku dan keredhaanMu tuntutanku,
kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Ianya
merupakan ucapan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ucapan
ini akan meningkatkan tahap kesedaran kepada kewujudan dan Keesaan Zat Tuhan,
sehingga dia mencapai suatu tahap dimana segala kewujudan
makhluk terhapus pada pandangan matanya. Apa yang dilihatnya walau ke mana jua
dia memandang, yang dilihatnya hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ucapan
kata-kata ini juga memberikan kita pengertian bahawa hanya Allah Subhanahu Wa
Ta’ala yang menjadi maksud dan matlamat kita dan tidak ada tujuan lain selain
untuk mendapatkan keredhaanNya. Salik hendaklah mengucapkan kalimah ini bagi
menghuraikan segala rahsia Keesaan Zat Tuhan dan supaya terbuka kepadanya
keunikan hakikat Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sebagai
murid, tidak boleh meninggalkan zikir kalimah ini meskipun tidak merasakan
sebarang kesan pada hati. Dia hendaklah tetap meneruskan zikir kalimah tersebut
sebagai menuruti anjuran Syeikhnya.
Makna Baz Gasht
ialah kembali kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Mulia dengan menunjukkan
penyerahan yang sempurna, mentaati segala kehendakNya dan merendahkan diri
dengan sempurna dalam memuji ZatNya. Adapun lafaz Baz Gasht dalam bahasa Parsi
seperti yang diamalkan oleh Para Akabirin Naqshabandiyah Mujaddidiyah adalah
seperti berikut:
“Khudawandah,
Maqsudi Man Tui Wa Ridhai Tu, Tarak Kardam Dunya Wa Akhirat Baraey Tu, Mahabbat
Wa Ma’rifati Khud Badih.”
Yang
bererti, “Tuhanku, maksudku hanyalah Engkau dan keredaanMu, telahku lepaskan
Dunia dan Akhirat kerana Engkau, kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Pada
permulaan, jika Salik sendiri tidak memahami hakikat kebenaran ucapan kata-kata
ini, hendaklah dia tetap juga menyebutnya kerana menyebut kata-kata itu dengan
hati yang khusyuk dan merendahkan diri akan menambahkan lagi pemahamannya dan
secara sedikit demi sedikit Salik itu akan merasai hakikat kebenaran perkataan
tersebut dan Insya Allah akan merasai kesannya. Hadhrat Baginda Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyatakan dalam doanya, “Ma Zakarnaka Haqqa
Zikrika Ya Mazkur.” Yang bererti, “Kami tidak mengingatiMu dengan hak
mengingatiMu secara yang sepatutnya, Wahai Zat yang sepatutnya diingati.”
Seseorang
Salik itu tidak akan dapat hadir ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi
zikirnya dan tidak akan dapat mencapai Musyahadah terhadap rahsia-rahsia dan
sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi zikirnya jika dia tidak berzikir
dengan sokongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menerusi ingatan Allah
Subhanahu Wa Ta’ala terhadap dirinya.
Seorang
Salik itu tidak akan dapat berzikir dengan kemampuan dirinya bahkan dia
hendaklah sentiasa menyedari bahawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala lah yang sedang
berzikir menerusi dirinya. Hadhrat Maulana Syeikh Abu Yazid Bistami Rahmatullah
‘alaih telah berkata, “Apabila daku mencapai ZatNya, daku melihat bahawa
ingatanNya terhadap diriku mendahului ingatanku terhadap diriNya.”
3. NIGAH
DASYAT
Nigah
bererti menjaga, mengawasi, memelihara dan Dasyat pula bererti melakukannya
dengan bersungguh-sungguh. Maksudnya ialah seseorang Salik itu sewaktu
melakukan zikir hendaklah sentiasa memelihara hati dari sebarang khatrah
lintasan hati dan was-was Syaitan dengan bersungguh-sungguh. Jangan biarkan
khayalan kedukaan memberi kesan kepada hati.
Setiap hari
hendaklah melapangkan masa selama sejam ke dua jam ataupun lebih untuk
memelihara hati dari segala ingatan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selain
DiriNya, jangan ada sebarang khayalan pada pikiran dan hati. Lakukan latihan
ini sehingga segala sesuatu selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, segala-galanya
menjadi lenyap.
Nigah Dasyat
juga bermakna seseorang Salik itu mesti memperhatikan hatinya dan menjaganya
dengan menghindarkan sebarang ingatan yang buruk masuk ke dalam hati. Ingatan
dan keinginan yang buruk akan menjauhkan hati dari kehadiran Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Kesufian yang sebenar adalah daya untuk memelihara hati dari ingatan
yang buruk dan memeliharanya dari sebarang keinginan yang rendah. Seseorang
yang benar-benar mengenali hatinya akan dapat mengenali Tuhannya. Di dalam
Tariqat Naqshbandiyah ini, seseorang Salik yang dapat memelihara hatinya dari
sebarang ingatan yang buruk selama 15 minit adalah merupakan suatu pencapaian
yang besar dan menjadikannya layak sebagai seorang ahli Sufi yang benar.
Hadhrat
Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih menyatakan di dalam
kitabnya Idhahut Tariqah bahawa, “Nigah Dasyat adalah merupakan syarat ketika
berzikir, bahawa ketika berzikir hendaklah menghentikan segala khayalan serta
was-was dan apabila sebarang khayalan yang selain Allah terlintas di dalam hati
maka pada waktu itu juga hendaklah dia menjauhkannya supaya khayalan Ghairullah
tidak menduduki hati.”
Hadhrat
Maulana Syeikh Abul Hassan Kharqani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Telah
berlalu 40 tahun dimana Allah sentiasa melihat hatiku dan telah
melihat tiada sesiapa pun kecuali DiriNya dan tiada ruang bilik di dalam hatiku
untuk selain dari Allah.”
Hadhrat
Syeikh Abu Bakar Al-Qittani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Aku menjadi
penjaga di pintu hatiku selama 40 tahun dan aku tidak pernah membukanya kepada
sesiapa pun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehinggakan hatiku tidak
mengenali sesiapapun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Seorang
Syeikh Sufi pernah berkata, “Oleh kerana aku telah menjaga hatiku selama sepuluh
malam, hatiku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”
4. YAD DASYAT
Yad Dasyat
bererti mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan bersungguh-sungguh dengan
Zauq Wijdani sehingga mencapai Dawam Hudhur yakni kehadiran Zat Allah secara
kekal berterusan dan berada dalam keadaan berjaga-jaga memperhatikan limpahan
Faidhz dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesedaran ini diibaratkan sebagai
Hudhur Bey Ghibat dan merupakan Nisbat Khassah Naqshbandiyah.
Yad Dasyat
juga bermakna seseorang yang berzikir itu memelihara hatinya pada setiap
penafian dan pengitsbatan di dalam setiap napas tanpa meninggalkan Kehadiran
Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ianya menghendaki agar Salik memelihara hatinya
di dalam Kehadiran Kesucian Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara berterusan.
Ini untuk membolehkannya agar dapat merasai kesedaran dan melihat Tajalli
Cahaya Zat Yang Esa atau disebut sebagai Anwaruz-Zatil-Ahadiyah.
Menurut
Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, Yad Dasyat
merupakan istilah Para Sufi bagi menerangkan keadaan maqam Syuhud atau
Musyahadah yang juga dikenali sebagai ‘Ainul Yaqin atau Dawam Hudhur dan Dawam
Agahi.
Di zaman
para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in ianya disebut sebagai Ihsan. Ia
merupakan suatu maksud di dalam Tariqah Naqshbandiyah Mujaddidiyah bagi
menghasilkan Dawam Hudhur dan Dawam Agahi dengan Hadhrat Zat Ilahi Subhanahu Wa
Ta’ala dan di samping itu berpegang dengan ‘Aqidah yang sahih menurut Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah dan melazimkan diri beramal menuruti Sunnah Nabawiyah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Jika Salik
tidak memiliki ketiga-tiga sifat ini iaitu tetap mengingati Zat Ilahi,
beri’tiqad dengan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan menuruti Sunnah Nabi
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ataupun meninggalkan salah satu darinya maka dia
adalah terkeluar dari jalan Tariqat Naqshbandiyah, Na’uzu Billahi Minha!
5. HOSH DAR
DAM
Hosh bererti
sedar, Dar bererti dalam dan Dam bererti napas, yakni sedar dalam napas.
Seseorang Salik itu hendaklah berada dalam kesedaran bahawa setiap napasnya
yang keluar masuk mestilah beserta kesedaran terhadap Kehadiran Zat Allah
Ta’ala. Jangan sampai hati menjadi lalai dan leka dari kesedaran terhadap
Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Dalam setiap napas hendaklah menyedari kehadiran
ZatNya.
Menurut
Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih
bahawa, “Seseorang Salik yang benar hendaklah menjaga dan memelihara napasnya
dari kelalaian pada setiap kali masuk dan keluarnya napas serta menetapkan
hatinya sentiasa berada dalam Kehadiran Kesucian ZatNya dan dia hendaklah
memperbaharukan napasnya dengan ibadah dan khidmat serta membawa ibadah ini
menuju kepada Tuhannya seluruh kehidupan, kerana setiap napas yang disedut dan
dihembus beserta KehadiranNya adalah hidup dan berhubung dengan Kehadiran
ZatNya Yang Suci. Setiap napas yang disedut dan dihembus dengan kelalaian
adalah mati dan terputus hubungan dari Kehadiran ZatNya Yang Suci.”
Hadhrat
Khwajah Maulana Syeikh ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih berkata, “Maksud
utama seseorang Salik di dalam Tariqah ini adalah untuk menjaga napasnya dan
seseorang yang tidak dapat menjaga napasnya dengan baik maka dikatakan
kepadanya bahawa dia telah kehilangan dirinya.”
Hadhrat
Syeikh Abul Janab Najmuddin Al-Kubra Rahmatullah ‘alaih berkta dalam kitabnya
Fawatihul Jamal bahawa, “Zikir adalah sentiasa berjalan di dalam tubuh setiap
satu ciptaan Allah sebagai memenuhi keperluan napas mereka biarpun tanpa
kehendak sebagai tanda ketaatan yang merupakan sebahagian dari penciptaan
mereka. Menerusi pernapasan mereka, bunyi huruf ‘Ha’ dari nama Allah Yang Maha
Suci berada dalam setiap napas yang keluar masuk dan ianya merupakan tanda
kewujudan Zat Yang Maha Ghaib sebagai menyatakan Keunikan dan Keesaan Zat
Tuhan. Maka itu amatlah perlu berada dalam kesedaran dan hadir dalam setiap
napas sebagai langkah untuk mengenali Zat Yang Maha Pencipta.”
Nama Allah
yang mewakili kesemua Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah
dan Af’alNya adalah terdiri dari empat huruf iaitu Alif, Lam, Lam dan Ha.
Para Sufi
berkata bahawa Zat Ghaib Mutlak adalah Allah Yang Maha Suci lagi Maha Mulia
KetinggianNya dan DiriNya dinyatakan menerusi huruf yang terakhir dari Kalimah
Allah iaitu huruf Ha. Huruf tersebut apabila ditemukan dengan huruf Alif akan
menghasilkan sebutan Ha yang memberikan makna “Dia Yang Ghaib” sebagai kata
ganti diri. Bunyi sebutan Ha itu sebagai menampilkan dan menyatakan bukti
kewujudan Zat DiriNya Yang Ghaib Mutlak (Ghaibul Huwiyyatil Mutlaqa Lillahi
‘Azza Wa Jalla). Huruf Lam yang pertama adalah bermaksud Ta‘arif atau
pengenalan dan huruf Lam yang kedua pula adalah bermaksud Muballaghah yakni
pengkhususan. Menjaga dan memelihara hati dari kelalaian akan membawa seseorang
itu kepada kesempurnaan Kehadiran Zat, dan kesempurnaan Kehadiran Zat akan
membawanya kepada kesempurnaan Musyahadah dan kesempurnaan Musyahadah akan
membawanya kepada kesempurnaan Tajalli Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan
Sifat-Sifat Allah. Seterusnya Allah akan membawanya kepada penzahiran kesemua
Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dan Sifat-SifatNya yang
lain kerana adalah dikatakan bahawa Sifat Allah itu adalah sebanyak napas-napas
manusia.
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih menegaskan bahawa hendaklah mengingati Allah pada
setiap kali keluar masuk napas dan di antara keduanya yakni masa di antara
udara disedut masuk dan dihembus keluar dan masa di antara udara dihembus
keluar dan disedut masuk. Terdapat empat ruang untuk diisikan dengan Zikrullah.
Amalan ini disebut Hosh Dar Dam yakni bezikir secara sedar dalam napas. Zikir
dalam pernapasan juga dikenali sebagai Paas Anfas di kalangan Ahli Tariqat
Chistiyah.
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqat ini dibina berasaskan napas,
maka adalah wajib bagi setiap orang untuk menjaga napasnya pada waktu menghirup
napas dan menghembuskan napas dan seterusnya menjaga napasnya pada waktu di
antara menghirup dan menghembuskan napas.”
Udara Masuk
- Allah Allah Antara - Allah Allah Udara Keluar - Allah Allah Antara - Allah
Allah
Perlu
diketahui bahawa menjaga napas dari kelalaian adalah amat sukar bagi seseorang
Salik, lantaran itu mereka hendaklah menjaganya dengan memohon Istighfar yakni
keampunan kerana memohon Istighfar akan menyucikan hatinya dan mensucikan
napasnya dan menyediakan dirinya untuk menyaksikan Tajalli penzahiran
manifestasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di mana-mana jua.
Nazar
bererti memandang, Bar bererti pada, dan Qadam pula bererti kaki. Seseorang
Salik itu ketika berjalan hendaklah sentiasa memandang ke arah kakinya dan
jangan melebihkan pandangannya ke tempat lain dan setiap kali ketika duduk
hendaklah sentiasa memandang ke hadapan sambil merendahkan pandangan. Jangan
menoleh ke kiri dan ke kanan kerana ianya akan menimbulkan fasad yang besar
dalam dirinya dan akan menghalangnya dari mencapai maksud.
Nazar Bar
Qadam bermakna ketika seseorang Salik itu sedang berjalan, dia hendaklah tetap
memperhatikan langkah kakinya. Di mana jua dia hendak meletakkan kakinya,
matanya juga perlu memandang ke arah tersebut. Tidak dibolehkan baginya
melemparkan pandangannya ke sana sini, memandang kiri dan kanan ataupun di hadapannya
kerana pandangan yang tidak baik akan menghijabkan hatinya.
Kebanyakan
hijab-hijab di hati itu terjadi kerana bayangan gambaran yang dipindahkan dari
pandangan penglihatan mata ke otak sewaktu menjalani kehidupan seharian. Ini
akan mengganggu hati dan menimbulkan keinginan memenuhi berbagai kehendak hawa
nafsu seperti yang telah tergambar di ruangan otak. Gambaran-gambaran ini
merupakan hijab-hijab bagi hati dan ianya menyekat Cahaya Kehadiran Zat Allah
Yang Maha Suci.
Kerana
itulah Para Masyaikh melarang murid mereka yang telah menyucikan hati mereka
menerusi zikir yang berterusan dari memandang ke tempat yang selain dari kaki
mereka. Hati mereka ibarat cermin yang menerima dan memantulkan setiap gambaran
dengan mudah. Ini akan mengganggu mereka dan akan menyebabkan kekotoran hati.
Maka itu,
Salik diarahkan agar merendahkan pandangan supaya mereka tidak terkena panahan
dari panahan Syaitan. Merendahkan pandangan juga menjadi tanda kerendahan diri.
Orang yang bongkak dan sombong tidak memandang ke arah kaki mereka ketika
berjalan. Ia juga merupakan tanda bagi seseorang yang menuruti jejak langkah
Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana
Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika berjalan
tidak menoleh ke kiri dan ke kanan tetapi Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya melihat ke arah kakinya, bergerak dengan
pantas menuju ke arah destinasinya. Pengertian batin yang dituntut dari prinsip
ini ialah supaya Salik bergerak dengan laju dan pantas dalam melakukan
perjalanan suluk, yang mana apa jua maqam yang terpandang olehnya maka dengan
secepat yang mungkin kakinya juga segera sampai pada kedudukan maqam tersebut.
Ia juga menjadi tanda ketinggian darjat seseorang yang mana dia tidak memandang
kepada sesuatu pun kecuali Tuhannya. Sepertimana seseorang yang hendak lekas
menuju kepada tujuannya, begitulah seorang Salik yang menuju Kehadhrat Tuhan
hendaklah lekas-lekas bergerak, dengan cepat dan pantas, tidak menoleh ke kiri
dan ke kanan, tidak memandang kepada hawa nafsu duniawi sebaliknya hanya
memandang ke arah mencapai Kehadiran Zat Tuhan Yang Suci.
Hadhrat
Maulana Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi
Rahmatullah ‘alaih telah berkata dalam suratnya yang ke-259 di dalam Maktubat,
“Pandangan mendahului langkah dan langkah menuruti pandangan. Mi’raj ke maqam
yang tinggi didahului dengan pandangan Basirah kemudian diikuti dengan langkah.
Apabila langkah telah mencapai Mi’raj tempat yang dipandang, maka kemudian
pandangan akan diangkat ke suatu maqam yang lain yang mana langkah perlu
menurutinya. Kemudian pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi dan
langkah akan menurutinya. Begitulah seterusnya sehingga pandangan mencapai
maqam kesempurnaan yang mana langkahnya akan diberhentikan. Kami katakan
bahawa, apabila langkah menuruti pandangan, murid telah mencapai maqam
kesediaan untuk menuruti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah
Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah merupakan sumber asal bagi segala langkah.”
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Jika kita memandang kesalahan
sahabat-sahabat, kita akan ditinggalkan tanpa sahabat kerana tiada seorang juapun
yang sempurna.”
Safar
bererti menjelajah, berjalan atau bersiar, Dar bererti dalam dan Watan bererti
kampung. Safar Dar Watan bermakna bersiar-siar dalam kampung dirinya yakni
kembali berjalan menuju Tuhan. Seseorang Salik itu hendaklah menjelajah dari
dunia ciptaan kepada dunia Yang Maha Pencipta.
Hadhrat
Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda yang
mafhumnya, “Daku sedang menuju Tuhanku dari suatu hal keadaan ke suatu hal
keadaan yang lebih baik dan dari suatu maqam ke suatu maqam yang lebih baik.”
Salik
hendaklah berpindah dari kehendak hawa nafsu yang dilarang kepada kehendak
untuk berada dalam Kehadiran ZatNya. Dia hendaklah berusaha meninggalkan segala
sifat-sifat Basyariyah (Kemanusiawian) yang tidak baik dan meningkatkan dirinya
dengan sifat-sifat Malakutiyah (Kemalaikatan) yang terdiri dari sepuluh maqam
iaitu:
[1] Taubat
[2] Inabat [3] Sabar [4] Syukur [5] Qana’ah [6] Wara’ [7] Taqwa [8] Taslim [9]
Tawakkal [10] Redha.
Para
Masyaikh membahagikan perjalanan ini kepada dua kategori iaitu Sair Afaqi yakni
Perjalanan Luaran dan Sair Anfusi yakni Perjalanan Dalaman. Perjalanan Luaran
adalah perjalanan dari suatu tempat ke suatu tempat mencari seorang pembimbing
Ruhani yang sempurna bagi dirinya dan akan menunjukkan jalan ke tempat yang
dimaksudkannya. Ini akan membolehkannya untuk memulakan Perjalanan Dalaman.
Seseorang
Salik apabila dia sudah menemui seorang pembimbing Ruhani yang sempurna bagi
dirinya adalah dilarang dari melakukan Perjalanan Luaran. Pada Perjalanan
Luaran ini terdapat berbagai kesukaran yang mana seseorang yang baru menuruti
jalan ini tidak dapat tidak, pasti akan terjerumus ke dalam tindakan yang
dilarang, kerana mereka adalah lemah dalam menunaikan ibadah mereka.
Perjalanan
yang bersifat dalaman pula mengkehendakkan agar seseorang Salik itu
meninggalkan segala tabiat yang buruk dan membawa adab tertib yang baik ke
dalam dirinya serta mengeluarkan dari hatinya segala keinginan Duniawi. Dia
akan diangkat dari suatu maqam yang kotor zulmat ke suatu maqam kesucian. Pada
waktu itu dia tidak perlu lagi melakukan Perjalanan Luaran. Hatinya telah
dibersihkan dan menjadikannya tulin seperti air, jernih seperti kaca, bersih
bagaikan cermin lalu menunjukkannya hakikat setiap segala suatu urusan yang
penting dalam kehidupan sehariannya tanpa memerlukan sebarang tindakan yang
bersifat luaran bagi pihak dirinya. Di dalam hatinya akan muncul segala apa
yang diperlukan olehnya dalam kehidupan ini dan kehidupan mereka yang berada di
sampingnya.
Hadhrat
Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Ketahuilah
bahawa apabila hati tertakluk dengan sesuatu selain Allah dan khayalan yang
buruk menjadi semakin kuat maka limpahan Faidhz Ilahi menjadi sukar untuk
dicapai oleh Batin. Jesteru itu dengan kalimah LA ILAHA hendaklah menafikan
segala akhlak yang buruk itu sebagai contohnya bagi penyakit hasad, sewaktu
mengucapkan LA ILAHA hendaklah menafikan hasad itu dan sewaktu mengucapkan ILLA
ALLAH hendaklah mengikrarkan cinta dan kasih sayang di dalam hati. Begitulah
ketika melakukan zikir Nafi Itsbat dengan sebanyak-banyaknya lalu menghadap
kepada Allah dengan rasa hina dan rendah diri bagi menghapuskan segala
keburukan diri sehinggalah keburukan dirinya itu benar-benar terhapus.
Begitulah juga terhadap segala rintangan Batin, ianya perlu disingkirkan supaya
terhasilnya Tasfiyah dan Tazkiyah. Latihan ini merupakan salah satu dari maksud
Safar Dar Watan.”
Khalwat
bererti bersendirian dan Anjuman bererti khalayak ramai, maka pengertiannya
ialah bersendirian dalam keramaian. Maksudnya pada zahir, Salik bergaul dengan
manusia dan pada batinnya dia kekal bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Terdapat dua
jenis khalwat iaitu Khalwat Luaran atau disebut sebagai Khalwat Saghir yakni
khalwat kecil dan Khalwat Dalaman atau disebut sebagai Khalwat Kabir yang
bermaksud khalwat besar atau disebut sebagai Jalwat. Khalwat Luaran menghendaki
Salik agar mengasingkan dirinya di tempat yang sunyi dan jauh dari kesibukan
manusia. Secara bersendirian Salik menumpukan kepada Zikirullah dan Muraqabah
untuk mencapai penyaksian Kebesaran dan Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Apabila sudah mencapai fana menerusi zikir pikir dan semua deria luaran
difanakan, pada waktu itu deria dalaman bebas meneroka ke Alam Kebesaran dan
Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini seterusnya akan membawa
kepada Khalwat Dalaman.
Khalwat
Dalaman bermaksud berkhalwat dalam kesibukan manusia. Hati Salik hendaklah
sentiasa hadir ke Hadhrat Tuhan dan hilang dari makhluk sedang jasmaninya
sedang hadir bersama mereka. Dikatakan bahawa seseorang Salik yang Haq sentiasa
sibuk dengan zikir khafi di dalam hatinya sehinggakan jika dia masuk ke dalam
majlis keramaian manusia, dia tidak mendengar suara mereka. Kerana itu ianya
dinamakan Khalwat Kabir dan Jalwat yakni berzikir dalam kesibukan manusia.
Keadaan berzikir itu mengatasi dirinya dan penzahiran Hadhrat Suci Tuhan sedang
menariknya membuatkannya tidak menghiraukan segala sesuatu yang lain kecuali
Tuhannya. Ini merupakan tingkat khalwat yang tertinggi dan dianggap sebagai
khalwat yang sebenar seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-Quran Surah An-Nur
ayat 37:
Para lelaki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayarkan zakat,
mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang.
"Rijalun
La Tulhihim Tijaratun Wala Bay’un ‘An Zikrillah," bermaksud para lelaki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah.
Inilah merupakan jalan Tariqat Naqshbandiyah. Hadhrat Khwajah Shah Bahauddin
Naqshband Qaddasallahu Sirrahu telah ditanyakan orang bahawa apakah yang
menjadi asas bagi Tariqatnya?
Beliau menjawab,
“Berdasarkan Khalwat Dar Anjuman, yakni zahir berada bersama Khalaq dan batin
hidup bersama Haq serta menempuh kehidupan dengan menganggap bahawa Khalaq
mempunyai hubungan dengan Tuhan. Sebagai Salik dia tidak boleh berhenti dari
menuju kepada maksudnya yang hakiki.”
Sepertimana
mafhum sabdaan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam, “Padaku terdapat dua sisi. Satu sisiku menghadap ke arah Penciptaku
dan satu sisi lagi menghadap ke arah makhluk ciptaan.”
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqatuna As-Suhbah Wal Khayru Fil
Jam’iyyat.” Yang bererti, “Jalan Tariqah kami adalah dengan cara bersahabat dan
kebaikan itu dalam jemaah Jam’iyat.”
Khalwat yang
utama di sisi Para Masyaikh Naqshbandiyah adalah Khalwat Dalaman kerana mereka
sentiasa berada bersama Tuhan mereka dan pada masa yang sama mereka berada
bersama dengan manusia. Adalah dikatakan bahawa seseorang beriman yang dapat
bercampur gaul dengan manusia dan menanggung berbagai masaalah dalam kehidupan adalah
lebih baik dari orang beriman yang menghindarkan dirinya dari manusia.
Hadhrat Imam
Rabbani Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Perlulah diketahui bahawa Salik pada
permulaan jalannya mungkin menggunakan khalwat luaran untuk mengasingkan
dirinya dari manusia, beribadat dan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala sehingga dia mencapai tingkat darjat yang lebih tinggi. Pada waktu itu
dia akan dinasihatkan oleh Syeikhnya seperti kata-kata Sayyid Al-Kharraz
Rahmatullah ‘alaih iaitu kesempurnaan bukanlah dalam mempamerkan karamah yang
hebat-hebat tetapi kesempurnaan yang sebenar ialah untuk duduk bersama manusia,
berjual beli, bernikah kahwin dan mendapatkan zuriat dan dalam pada itu
sekali-kali tidak meninggalkan Kehadiran Allah walaupun seketika.”
Hadhrat Shah
‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih berkata, “Daripada masamu,
jangan ada sebarang waktu pun yang engkau tidak berzikir dan bertawajjuh serta
mengharapkan Kehadiran Allah Ta’ala dan bertemulah dengan manusia dan
berzikirlah walaupun berada di dalam keramaian dan sentiasa berjaga-jaga
memperhatikan limpahan Allah.”
Berkata
Penyair, "Limpahan Faidhz Al-Haq datang tiba-tiba tetapi hatiku
memperhatikan waridnya, Biarpun di waktu sekali kerdipan mata namun diriku
sekali-kali tidak leka, Boleh jadi Dia sedang memperhatikanmu dan dikau tidak
memperhatikannya."
Hal keadaan
ini dinamakan Khalwat Dar Anjuman iaitu Kainun Haqiqat Wa Bainun Surat yakni
hakikat dirinya berzama Zat Tuhan dan tubuh badan bersama makhluk ciptaan
Tuhan. Masyaikh menggelarkannya sebagai Sufi Kain Bain. Kelapan-lapan asas
Tariqat ini diperkenalkan oleh Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani
Rahmatullah ‘alaih dan menjadi ikutan 40 Tariqat yang lain dan sehingga ke hari
ini menjadi asas yang teguh untuk seseorang hamba Allah kembali menuju kepada
Tuhannya.
Hadhrat Shah
Naqshband Rahmatullah ‘alaihi telah menerima kelapan-lapan asas Tariqat ini
dari Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani dan beliau telah menambahkan tiga
asas Tariqat iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani menjadikannya
sebelas asas.
Hosh Dar Dam
Khalwat Dar Anjuman; Yad Kard Yad Dasyat. Nazar Bar Qadam Safar Dar Watan; Baz
Gasht Nigah Dasyat.
Sentiasalah
sedar dalam napas ketika berkhalwat bersama khalayak; Kerjakanlah Zikir dan
ingatlah ZatNya dengan bersungguh-sungguh. Perhatikan setiap langkah ketika
bersafar di dalam kampung; Sekembalinya dari merayau, perhatikanlah limpahan
Ilahi bersungguh-sungguh.
Wuquf Qalbi
Wuquf ‘Adadi, Wuquf Zamani Bi Dawam Agahi.
Ingatlah
Allah tetap pada hati, bilangan dan masa dengan sentiasa sedar berjaga-jaga.
TAMBAHAN SHAH NAQSHBAND
HADHRAT Shah
Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih merupakan Imam bagi Tariqat
Naqshbandiyah dan seorang Mahaguru Tariqat yang terkemuka. Ia telah mengukuhkan
lagi jalan ini dengan tiga prinsip penting dalam Zikir Khafi sebagai tambahan
kepada lapan prinsip asas yang telah dikemukakan oleh Hadhrat Khwajah
Khwajahgan Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu:
1. WUQUF
QALBI
Mengarahkan
penumpuan terhadap hati dan hati pula mengarahkan penumpuan terhadap Allah
Subhanahu Wa Ta’ala pada setiap masa dan keadaan. Sama ada dalam keadaan
berdiri, berbaring, berjalan mahupun duduk. Hendaklah bertawajjuh kepada hati
dan hati pula tetap bertawajjuh ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wuquf
Qalbi merupakan syarat bagi zikir.
Kedudukan
Qalbi ini adalah pada kedudukan dua jari di bawah tetek kiri dan kedudukan ini
hendaklah sentiasa diberikan penumpuan dan Tawajjuh. Bayangan limpahan Nur dari
Allah hendaklah sentiasa kelihatan melimpah pada Qalbi dalam pandangan batin.
Ini
merupakan suatu kaedah Zikir Khafi yakni suatu bentuk zikir yang tersembunyi
dan tidak diketahui oleh Para Malaikat. Ia merupakan suatu kaedah zikir yang
rahsia.
2. WUQUF
‘ADADI
Sentiasa
memperhatikan bilangan ganjil ketika melakukan zikir Nafi Itsbat. Zikir Nafi
Itsbat ialah lafaz LA ILAHA ILLA ALLAH dan dilakukan di dalam hati menurut
kaifiyatnya. Dalam melakukan zikir Nafi Itsbat ini, Salik hendaklah sentiasa
mengawasi bilangan zikir Nafi Itsbatnya itu dengan memastikannya dalam jumlah
bilangan yang ganjil iaitu 7 atau 9 atau 19 atau 21 atau 23 atau sebarang
bilangan yang ganjil.
Menurut Para
Masyaikh, bilangan ganjil mempunyai rahsia yang tertentu kerana Allah adalah
Ganjil dan menyukai bilangan yang ganjil dan ianya akan menghasilkan ilmu
tentang Rahsia Allah Ta’ala. Menurut Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih,
“Memelihara bilangan di dalam zikir adalah langkah pertama dalam menghasilkan
Ilmu Laduni.”
Memelihara
bilangan bukanlah untuk jumlahnya semata-mata bahkan ianya untuk memelihara
hati dari ingatan selain Allah dan sebagai asbab untuk memberikan lebih
penumpuan dalam usahanya untuk menyempurnakan zikir yang telah diberikan oleh
Guru Murshidnya.
3. WUQUF
ZAMANI
Setiap kali
selepas menunaikan Solat, hendaklah bertawajjuh kepada hati dan sentiasa
memastikan hati dalam keadaan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Lakukan selama beberapa minit sebelum bangkit dari tempat Solat. Kemudian
setelah selang beberapa jam hendaklah menyemak semula keadaan hati bagi
memastikannya sentiasa dalam keadaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Apabila seseorang Murid itu telah naik ke peringkat menengah dalam bidang
Keruhanian maka dia hendaklah selalu memeriksa keadaan hatinya sekali pada
tiap-tiap satu jam untuk mengetahui sama ada dia ingat ataupun lalai kepada
Allah dalam masa-masa tersebut. Jika dia lalai maka hendaklah dia beristighfar
dan berazam untuk menghapuskan kelalaian itu pada masa akan datang sehinggalah
dia mencapai peringkat Dawam Hudhur atau Dawam Agahi iaitu peringkat hati yang
sentiasa hadir dan sedar ke Hadhrat ZatNya.
Ketiga-tiga
prinsip ini adalah tambahan dari Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah
‘alaih dalam membimbing sekelian para murid dan pengikutnya dan terus menjadi
amalan yang tetap dalam Tariqat Naqshbandiyah.
Beberapa Tokoh dalam Thoriqoh Naqsyabandiyah
- Imam Tariqah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Uwaisi Al-Bukhari
- Hadhrat Mawlânâ Khâlid-i Baghdâdî
- Hadrat Syaikh KRM Muhammad Irfa'i Nahrawi An Naqsyabandi Al Hajj QS (Ki Ageng Atas Angin, Kasepuhan Atas Angin Ciamis)[1]
- Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
- Syaikhul Masyaikh Khwajah Khwajahgan Pir Piran Maulana Khwajah Khan Muhammad Sahib Khanqah Sirajiah
- Maulana Ameer Muhammad Akram Awan
- Imam Shamil
- Jami
- Shaykh Said Afandi al-Chirkawi
- Shaikh Abdul Wahab Babussalam Langkat[2]
- Shaikh Umar bin Muhammad Batu Pahat[3]
- Shaikh Imam Hj Ishaq bin Hj Muhammad 'Arif al-Jawi[4]
- Shaikh Dr Hj Jahid bin Hj Sidek al-Khalidi An-Naqshabandi[5]
- Shaikh Ma'aruf Lengging
- Shaykh Nazim al-Qubrusi
- Abdullah Fa'izi ad-Daghestani
- Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin
- Shaykh Muhammad Hisham Kabbani
- Professor Sibghatullah Mojaddedi
- Haji Soofi Masood Ahmad Siddiqui Lasani Sarkar
- Ahmet Kayhan Dede
- Abdullah Isa Neil Dougan
- Irina Tweedie
- Idries Shah
- Muchsin Al-Hinduan
- Omar Ali Shah
- Hazrat Mujadid Abdul Wahab Siddiqi
- Shaykh Faiz-ul-Aqtab Siddiqi
- Syed Abdullah Shah Naqshbandi
- Mohammed Amin Kuftaro
- Khalid al-Baghdadi
- Mukhsin Bin Ali Al-Hinduan
- Prof.Dr.Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya MA An Naqsyabandy Al Khalidy QS
- Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi Naqshbandi Mujaddidi
- Hazrat Nachrawi An-Naqsyabandie QS
- Syeikh Raja Ashman Shah an-Naqshabandi
- Sheikh Nursy Al-Naqsyabandiah
- Sheikh Abdul Wahab b. Abdul Manaf ALKholidi, cicit Sheikh Abdul Wahab Rokan ALKholidi (Mursyid di Jerlun, Kuala Kangsar)
- Sheikh Hashim b. Hassan AlKholidi, Mursyid di Pekan Cendawan, Ipoh
- Sheikh Suhaimi Khalis b. Ishak Al-Kholidi, Mursyid di Greenwood, Gombak.
Beberapa tokoh Thoriqoh Naqsyabandiyah Indonesia
- 1. Hadrat Syaikh KRM Nahrawi QS yang dikenal dengan karomah2nya, juga berjasa melatih Prajurit Siliwangi pada jaman kemerdekaan.Beliau memiliki silsilah dari Kerajaan Mataram dan juga silsilah darah ke Nabi Muhammad saw.
- 2. Hadrat Syaikh KRM Muhammad Irfa'i Nahrawi An Naqsyabandi Al Hajj QS (Ki Ageng Atas Angin, Kasepuhan Atas Angin Ciamis)masih memiliki silsilah dari Kerajaan Mataram dan juga silsilah darah ke Nabi Muhammad saw[6]
- 3. 'Yang di muliakan Allah Tuan Guru Dr Syekh Salman Daim' Mursyid Tareqat Naqsbandiyah Alkholidiyah Jalaliyah Bandr Tinggi Sumatera Utara Indonesia
- 4. Tn Guru SM Karimuddin, Mursyid Pondok Pesantren Darul Hikmah Bahjoga
- 5. KH Muhammad Arifin Syah MPd, Mursyid pondok pesantren Nurul Hidayah, Sibargot.
- 6. SM Andra Najmu Assyihab,Pimpinan pondok pesantren Darul Maimanah,Manuk dadali, Sibolga..
Sedangkan
Beliau yang banyak dikenal di seluruh Nusantara: Hadrat Syech Ahmad
Shohibulwafa Tajjul Ariefin (Abah Anom) Ibni Sayyidii Syech Abdullah Mubarok
bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) Nulinggih di Patapan Kajembaran Rahmaniyah
Suryalaya Pagerageung Tasikmalaya Jawa Barat Indonesia adalah Mursyid
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Terkenal
besarnya Naqsyabandi, sehingga banyak Thoriqoh lain menambahkan wa
Naqsyabandiyah pada nama Thoriqohnya, seperti Qodiriyah wa Naqsyabandiyah,
dll....
Naqsyabandi
dikenal besar dunia karena terkenalnya kejayaan Hadrat Syaikh Khalid Al
Bagdadi, yang selain menjadi Mursyid juga sekaligus penguasa terbesar pada
jamannya. Juga Al Fatih, Sultan Muhammad II yang juga berguru kepada Guru
Mursyid Thoriqoh Naqsyabandi. Namanya telah tercatat dalam hadist sebagai
sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan.
Pendiri Tarekat Naqshabandiyah nama lengkapnya adalah
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di
Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram
tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina
Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ''Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.''
Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari 'khwaja' atau 'khoja' dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Meniti jalan spiritual
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!"
Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, "Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!"
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai "Naqshaband" (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropa dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang--sesuai namanya--merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.
Sumber : Republika
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ''Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.''
Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari 'khwaja' atau 'khoja' dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Meniti jalan spiritual
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!"
Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, "Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!"
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai "Naqshaband" (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropa dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang--sesuai namanya--merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.
Sumber : Republika
0 comments:
Post a Comment