Sunday, 17 November 2013

Khutbah Jum’at



khoirun_naim
USTADZ H KHOIRUN NAIM Lc M.E.I.
STIE ISLAM ZATSKIA
Assalamualaikum Wr Wb
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم:4)
Dari Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setelah Allah swt. menciptakan Qalam, maka hal yang pertama sekali ditulis oleh Qalam dalam Lauhul Mahfuz dengan perintah Allah swt. adalah, “Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada tuhan selain Aku dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Ku, pilihan-Ku dari semua makhluk-Ku. Barangsiapa mentaati hukum-Ku, sabar terhadap cobaan-Ku, dan bersyukur dengan ni’mat-ni’mat-Ku, niscaya Aku akan menulisnya sebagai orang yang benar dan Aku akan membangkitkannya di Hari Kiamat kelak dalam golongan orang-orang yang benar, dan barangsiapa yang tidak mentaati hukum-Ku, tidak bersukur akan ni’mat-ni’mat-Ku, dan tidak sabar terhadap cobaan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari kolong langit-Ku dan hendaklah ia mencari tuhan selain Aku.
Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa, “Ketika Qalam diperintahkan untuk menulis, “La ilaha illa Allah” maka ia pun berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah mengetahui nama-Mu yang Maha Besar, tidak ada tuhan selain Engkau. Tetapi siapakah Muhammad itu yang Engkau hubungkan namanya dengan nama-Mu?”
“Hai Qalam, demi keagungan dan kekuasaan-Ku, jika bukan karena Muhammad niscaya tidaklah Aku menciptakanmu dan tidaklah Aku menciptakan satupun dari makhluk-makhluk-Ku. Tulislah hai Qalam, “Hai anak Adam, barangsiapa taat kepada Allah, niscaya Allah akan masukkan dia ke dalam Surga dan barangsiapa durhaka kepada Allah, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.”
Dan begitulah ditulis oleh Qalam bagi tiap-tiap umat.
Ketika sampai pada umat Muhammad s.a.w., saat Qalam hendak menulis seperti yang ditulisnya bagi umat-umat yang terdahulu,
“Wahai umat Muhammad, barangsiapa taat kepada Allah, niscaya Allah akan masukkan dia ke dalam Surga dan barangsiapa durhaka kepada Allah, ….. (ketika Qalam hendak melanjutkan, “Niscaya Allah akan masukkan dia ke dalam Neraka”)
tiba-tiba datang satu teriakan,
“Beradablah Engkau hai Qalam!”
Qalam pun ketakutan dan menggeletar selama seribu tahun.
Dengan qudrat Allah, kemudian Qalam itu bertanya, “Wahai Tuhanku, apakah yang seharusnya aku tuliskan bagi umat Muhammad?”
“Tuliskan, “dan barangsiapa yang durhaka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Demikianlah Allah swt. telah memuliakan Rasulullah saw. bahkan sejak sebelum dunia ini diciptakan.
Jika kita mau menela’ah, maka akan kita dapatkan bahwa tidaklah ada satu perintah yang diturunkan oleh Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya yang dimulai oleh Allah swt. sendiri, selain perintah untuk membacakan shalawat kepada Rasulullah saw.
Allah memerintahkan kita untuk shalat, tapi Allah tidak shalat. Allah memerintahkan kita untuk puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya, tetapi Allah tidak melakukan ibadah tersebut. Akan tetapi, ketika Allah swt. memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Rasulullah saw., maka Allah swt. sendirilah yang telah memulainya terlebih dahulu bersama para malaikat-Nya.
Bukankah di dalam firman-Nya Allah telah mengingatkan,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (56الأحزاب:56)
“Sesungguhnya Allah swt. dan para malaikat-Nya telah bershalawat kepada nabi (Rasulullah Muhammad saw.), wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kalian kepada Nabi dan uacapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak bukti-bukti bahwa, Allah swt. tidak ingin nama-Nya dipisahkan dengan nama kekasih-Nya, Muhammad saw., dan merupakan bakti bahwa, betapa Allah sangat memuliakannya. Sampai-sampai Allah tidak pernah memanggil beliau dengan menyebutkan namanya sebagaimana yang Allah lakukan terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya.
Lihatlah di dalam Al-Qur’an, saat Allah memanggil Musa, Allah berfirman, “Wahai Musa…”. Saat Allah menyeru Ibrahim, Allah memanggilnya dengan namanya. Dan begitu juga dengan nabi dan rasul yang lain. Tetapi saat Allah swt. memanggil kekasih-Nya, Muhammad saw., Allah berfirman, “Wahai Nabi…” Demikianlah, satu dari sekian banyak contoh akan kemuliaan yang diberikan Allah swt. kepada Rasulullah saw.
Maka jika Allah swt saja sangat memuliakan beliau dan bershalawat untuknya, pantaskah jika kita tidak melakukan hal yang sama?! Na’udzubillah sampai mendurhakainya.
Semua itu tidak terlepas dari keagungan dan kemuliaan akhlak Rasulullah saw. yang digambarkan dengan singkat oleh Allah swt dengan firman-Nya,
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم:4)
“Dan, sesungguhnya engkau, benar-benar berada di atas akhlaq-akhlaq yang mulia”.
Dalam riwayatnya yang lain, Ibnu Abbas ra. Meriwayatkan bahwa, “Beberapa waktu setelah wafatnya Rasulullah saw., seorang arab badui datang menemui Umar bin Khaththab ra., arab badui itu berkata, “Ceritakanlah kepadaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan tersebut. Bahkan ia tidak sanggup berkata apa pun. Umar menyuruh arab badui itu untuk menemui Bilal dan menanyakan hal itu kepadanya.
Setelah bertemu Bilal dan menanyakan pertanyaan yg sama, arab badui tadi mendapatkan jawaban yang serupa, tangisan. Ya, tangisanlah jawaban Bilal ketika ia diminta untuk menceritakan tentang akhlak Rasulullah saw., Bilal menangis tersedu, ia pun tak sanggup menceritakan apa-apa. Seperti halnya Umar, Bilal hanya dapat meminta laki-laki tersebut untuk menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Laki-laki badui itu mulai heran. Dalam hatinya ia bergumam, “bukankah Umar merupakan sahabat utama Nabi, begitu pula Bilal? Tapi mengapa mereka tidak dapat menceritakannya?!. Dengan penuh harap, Badui itu pun pergi menemui Ali.
Ali menjawab pertanyaannya dengan kembali bertanya,
“Ceritakanlah kepadaku akan keindahan dunia ini!.”
“Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan semua keindahan dunia ini?”
sangkal si badui.
“Jika untuk menceritakan keindahan dunia saja engkau tidak sanggup, padahal Allah telah berfirman bahwa, sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana mungkin aku dapat melukiskan akhlak Muhammad saw., sedangkan Allah swt. Sendiri telah berfirman bahwa,
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak-akhlak yang agung! (QS. Al-Qalam [68]: 4)”
Setiap sahabat memiliki kesan tersendiri terhadap keagungan akhlak rasulullah saw. yang mereka rasakan saat berinteraksi dengan beliau. Sehingga kalaupun mereka harus menceritakan kemuliaan akhlak rasulullah, maka hanya satu sisilah yang dapat mereka sampaikan. Tidak semuanya.
Begitupun halnya denga Aisyah ra., istri yang paling dicintai oleh Rasulullah saw. itu, ketika diminta untuk menceritakan akhlak Rasullullah saw., Aisyah hanya mengatakan, “sesungguhnya akhlak Rasulullah saw. itu adalah Al-Qur’an”.
Dalam riwayat lain juga diceritakan bahwa, satu subuh, saat Aisyah terbangun dari tidurnya. Ia tidak mendapatkan Rasulullah saw. berada di sampingnya. Maka Aisyah segera membuka pintu rumah dan melihat keluar. Alangkah terkejutnya ia, tatkala mendapatkan suaminya tidur di depan rumah.
“Mengapa engkau lakukan ini ya Rasulullah?” Tanya Aisyah.
“Aku pulang larut malam dan aku khawatir mengganggu tidurmu. Karena itulah aku tidur di depan pintu.” Jawab Rasulullah saw. dengan lembut.
Demikianlah akhlak Rasulullah saw., bahkan terhadap istrinya sekalipun beliau tidak ingin mengganggu tidurnya, meskipun beliau berhak untuk mendapatkan sambutan yang baik ketika pulang. Maka marilah kita berkaca pada diri kita masing-masing. Bagaimanakah perilaku kita terhadap isteri kita?
Tidakkah kita ingat bahwa, Rasulullah saw. telah mengingatkan, “Berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sesungguhnya kamu akan ditanya tentangnya di hari akhir nanti.”
Dalam banyak riwayat yang lain kita juga dapat melihat akan kerendahan hati Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya dan bagaimana beliau lebih senang memuji mereka daripada mencari kekurangan dan kejelekan mereka.
Abu Bakar, beliau sebutkan sebagai orang yang paling lembut perangainya di antara umatnya. Umar, dijuluki sebagai orang yang paling keras (tegas) dalam mendirikan syari’at Allah. Utsman dipuji sebagai orang yang paling pemalu, bahkan lebih pemalu dari seorang gadis sekalipun. Dan Ali, beliau banggakan sebagai orang yang paling faqih dalam menentukan hukum Allah swt.
Abdullah ibnu Jarrah beliau juluki sebagai aminul ummah, Bilal beliau jamin sebagai penduduk surga, dan masih banyak lagi hadits-hadits Rasulullah saw. lain yang menerangkan, bagaimana beliau senang memotivasi sahabat-sahabatnya dengan memuji mereka.
Tapi lihatlah bagaimana kita sekarang?! Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan?!. Ah… ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Lebih dari semua itu, yang patut menjadi bahan introspeksi bagi kita adalah, kisah perbincangan antara Rasulullah saw. dan Utbah bin Rabi’ah, salah seorang dan serta pembesar kaum Quraiys.
Dalam satu kesempatan, Rasulullah saw., didatangi oleh utusan pembesar kaum Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai kemenakanku, engkau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya engkau kehendaki?. Jika engkau menghendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika engkau menginginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang engkau derita, akan kami carikan obatnya. Dan, jika engkau mendambakan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”.
Rasulullah saw., mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Rasulullah saw. pun bertanya, “Sudah selesaikah engkau, wahai Abu Walid?” “Sudah.” Jawab Utbah.
Rasulullah saw. pun segera menjawab uraian Utbah itu dengan membaca surat Al-Fushilat. Danm, ketika sampai pada ayat sajdah, Rasulullah saw. pun bersujud. Sementara Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Kita tentu tidak heran bagaimana Rasulullah saw. dapat dengan sabar mendengarkan perkataan Utbah. Sebab, kita telah mengetahui bagaimana akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain.
Yang mengherankan sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbah, si musyrik itu pun kita kalah. Utbah mau mendengarkan Rasulullah saw. dan meminta kaumnya untuk membiarkan Nabi menyelesaikan bicaranya. Bagaimana dengan kita?! Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sendiri sesama muslim. Na’udzubillah.
Wassalamualaikum wr wb

Kritik dan Sarannya silakan

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates