USTADZ H
KHOIRUN NAIM Lc M.E.I.
STIE ISLAM ZATSKIA
STIE ISLAM ZATSKIA
Assalamualaikum
Wr Wb
ÙˆَØ¥ِÙ†َّÙƒَ Ù„َعَلى Ø®ُÙ„ُÙ‚ٍ عَظِيمٍ (القلم:4)
Dari Ibnu
Abbas r.a. diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setelah Allah swt.
menciptakan Qalam, maka hal yang pertama sekali ditulis oleh Qalam dalam Lauhul
Mahfuz dengan perintah Allah swt. adalah, “Sesungguhnya Akulah Allah, tidak ada
tuhan selain Aku dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Ku, pilihan-Ku dari semua
makhluk-Ku. Barangsiapa mentaati hukum-Ku, sabar terhadap cobaan-Ku, dan
bersyukur dengan ni’mat-ni’mat-Ku, niscaya Aku akan menulisnya sebagai orang
yang benar dan Aku akan membangkitkannya di Hari Kiamat kelak dalam golongan
orang-orang yang benar, dan barangsiapa yang tidak mentaati hukum-Ku, tidak
bersukur akan ni’mat-ni’mat-Ku, dan tidak sabar terhadap cobaan-Ku, maka
hendaklah ia keluar dari kolong langit-Ku dan hendaklah ia mencari tuhan selain
Aku.
Dalam
riwayat yang lain disebutkan bahwa, “Ketika Qalam diperintahkan untuk menulis,
“La ilaha illa Allah” maka ia pun berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku
telah mengetahui nama-Mu yang Maha Besar, tidak ada tuhan selain Engkau. Tetapi
siapakah Muhammad itu yang Engkau hubungkan namanya dengan nama-Mu?”
“Hai Qalam, demi keagungan dan kekuasaan-Ku, jika bukan karena Muhammad niscaya tidaklah Aku menciptakanmu dan tidaklah Aku menciptakan satupun dari makhluk-makhluk-Ku. Tulislah hai Qalam, “Hai anak Adam, barangsiapa taat kepada Allah, niscaya Allah akan masukkan dia ke dalam Surga dan barangsiapa durhaka kepada Allah, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.”
Dan begitulah ditulis oleh Qalam bagi tiap-tiap umat.
“Hai Qalam, demi keagungan dan kekuasaan-Ku, jika bukan karena Muhammad niscaya tidaklah Aku menciptakanmu dan tidaklah Aku menciptakan satupun dari makhluk-makhluk-Ku. Tulislah hai Qalam, “Hai anak Adam, barangsiapa taat kepada Allah, niscaya Allah akan masukkan dia ke dalam Surga dan barangsiapa durhaka kepada Allah, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.”
Dan begitulah ditulis oleh Qalam bagi tiap-tiap umat.
Ketika
sampai pada umat Muhammad s.a.w., saat Qalam hendak menulis seperti yang ditulisnya
bagi umat-umat yang terdahulu,
“Wahai umat
Muhammad, barangsiapa taat kepada Allah, niscaya Allah akan masukkan dia ke
dalam Surga dan barangsiapa durhaka kepada Allah, ….. (ketika Qalam hendak
melanjutkan, “Niscaya Allah akan masukkan dia ke dalam Neraka”)
tiba-tiba
datang satu teriakan,
“Beradablah Engkau hai Qalam!”
Qalam pun ketakutan dan menggeletar selama seribu tahun.
“Beradablah Engkau hai Qalam!”
Qalam pun ketakutan dan menggeletar selama seribu tahun.
Dengan
qudrat Allah, kemudian Qalam itu bertanya, “Wahai Tuhanku, apakah yang
seharusnya aku tuliskan bagi umat Muhammad?”
“Tuliskan, “dan barangsiapa yang durhaka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Demikianlah Allah swt. telah memuliakan Rasulullah saw. bahkan sejak sebelum dunia ini diciptakan.
“Tuliskan, “dan barangsiapa yang durhaka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Demikianlah Allah swt. telah memuliakan Rasulullah saw. bahkan sejak sebelum dunia ini diciptakan.
Jika kita
mau menela’ah, maka akan kita dapatkan bahwa tidaklah ada satu perintah yang
diturunkan oleh Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya yang dimulai oleh Allah swt.
sendiri, selain perintah untuk membacakan shalawat kepada Rasulullah saw.
Allah
memerintahkan kita untuk shalat, tapi Allah tidak shalat. Allah memerintahkan
kita untuk puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya, tetapi Allah tidak
melakukan ibadah tersebut. Akan tetapi, ketika Allah swt. memerintahkan kita
untuk bershalawat kepada Rasulullah saw., maka Allah swt. sendirilah yang telah
memulainya terlebih dahulu bersama para malaikat-Nya.
Bukankah di dalam firman-Nya Allah telah mengingatkan,
Bukankah di dalam firman-Nya Allah telah mengingatkan,
Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ ÙˆَÙ…َÙ„َائِÙƒَتَÙ‡ُ ÙŠُصَÙ„ُّونَ عَÙ„َÙ‰
النَّبِÙŠِّ ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ Ø¢َÙ…َÙ†ُوا صَÙ„ُّوا عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„ِّÙ…ُوا
تَسْÙ„ِيمًا (56الأØزاب:56)
“Sesungguhnya
Allah swt. dan para malaikat-Nya telah bershalawat kepada nabi (Rasulullah
Muhammad saw.), wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kalian kepada
Nabi dan uacapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Ini hanyalah
sebagian kecil dari sekian banyak bukti-bukti bahwa, Allah swt. tidak ingin
nama-Nya dipisahkan dengan nama kekasih-Nya, Muhammad saw., dan merupakan bakti
bahwa, betapa Allah sangat memuliakannya. Sampai-sampai Allah tidak pernah
memanggil beliau dengan menyebutkan namanya sebagaimana yang Allah lakukan
terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya.
Lihatlah di
dalam Al-Qur’an, saat Allah memanggil Musa, Allah berfirman, “Wahai Musa…”.
Saat Allah menyeru Ibrahim, Allah memanggilnya dengan namanya. Dan begitu juga
dengan nabi dan rasul yang lain. Tetapi saat Allah swt. memanggil kekasih-Nya,
Muhammad saw., Allah berfirman, “Wahai Nabi…” Demikianlah, satu dari sekian
banyak contoh akan kemuliaan yang diberikan Allah swt. kepada Rasulullah saw.
Maka jika Allah swt saja sangat memuliakan beliau dan bershalawat untuknya, pantaskah jika kita tidak melakukan hal yang sama?! Na’udzubillah sampai mendurhakainya.
Semua itu tidak terlepas dari keagungan dan kemuliaan akhlak Rasulullah saw. yang digambarkan dengan singkat oleh Allah swt dengan firman-Nya,
Maka jika Allah swt saja sangat memuliakan beliau dan bershalawat untuknya, pantaskah jika kita tidak melakukan hal yang sama?! Na’udzubillah sampai mendurhakainya.
Semua itu tidak terlepas dari keagungan dan kemuliaan akhlak Rasulullah saw. yang digambarkan dengan singkat oleh Allah swt dengan firman-Nya,
ÙˆَØ¥ِÙ†َّÙƒَ Ù„َعَلى Ø®ُÙ„ُÙ‚ٍ عَظِيمٍ (القلم:4)
“Dan,
sesungguhnya engkau, benar-benar berada di atas akhlaq-akhlaq yang mulia”.
Dalam
riwayatnya yang lain, Ibnu Abbas ra. Meriwayatkan bahwa, “Beberapa waktu
setelah wafatnya Rasulullah saw., seorang arab badui datang menemui Umar bin
Khaththab ra., arab badui itu berkata, “Ceritakanlah kepadaku akhlak
Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan tersebut. Bahkan ia tidak
sanggup berkata apa pun. Umar menyuruh arab badui itu untuk menemui Bilal dan
menanyakan hal itu kepadanya.
Setelah
bertemu Bilal dan menanyakan pertanyaan yg sama, arab badui tadi mendapatkan
jawaban yang serupa, tangisan. Ya, tangisanlah jawaban Bilal ketika ia diminta
untuk menceritakan tentang akhlak Rasulullah saw., Bilal menangis tersedu, ia
pun tak sanggup menceritakan apa-apa. Seperti halnya Umar, Bilal hanya dapat
meminta laki-laki tersebut untuk menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Laki-laki badui itu mulai heran. Dalam hatinya ia bergumam, “bukankah Umar merupakan sahabat utama Nabi, begitu pula Bilal? Tapi mengapa mereka tidak dapat menceritakannya?!. Dengan penuh harap, Badui itu pun pergi menemui Ali.
Ali menjawab pertanyaannya dengan kembali bertanya,
“Ceritakanlah kepadaku akan keindahan dunia ini!.”
“Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan semua keindahan dunia ini?”
sangkal si badui.
“Jika untuk menceritakan keindahan dunia saja engkau tidak sanggup, padahal Allah telah berfirman bahwa, sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana mungkin aku dapat melukiskan akhlak Muhammad saw., sedangkan Allah swt. Sendiri telah berfirman bahwa,
Laki-laki badui itu mulai heran. Dalam hatinya ia bergumam, “bukankah Umar merupakan sahabat utama Nabi, begitu pula Bilal? Tapi mengapa mereka tidak dapat menceritakannya?!. Dengan penuh harap, Badui itu pun pergi menemui Ali.
Ali menjawab pertanyaannya dengan kembali bertanya,
“Ceritakanlah kepadaku akan keindahan dunia ini!.”
“Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan semua keindahan dunia ini?”
sangkal si badui.
“Jika untuk menceritakan keindahan dunia saja engkau tidak sanggup, padahal Allah telah berfirman bahwa, sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana mungkin aku dapat melukiskan akhlak Muhammad saw., sedangkan Allah swt. Sendiri telah berfirman bahwa,
“Dan
sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak-akhlak yang
agung! (QS. Al-Qalam [68]: 4)”
Setiap
sahabat memiliki kesan tersendiri terhadap keagungan akhlak rasulullah saw.
yang mereka rasakan saat berinteraksi dengan beliau. Sehingga kalaupun mereka
harus menceritakan kemuliaan akhlak rasulullah, maka hanya satu sisilah yang
dapat mereka sampaikan. Tidak semuanya.
Begitupun halnya denga Aisyah ra., istri yang paling dicintai oleh Rasulullah saw. itu, ketika diminta untuk menceritakan akhlak Rasullullah saw., Aisyah hanya mengatakan, “sesungguhnya akhlak Rasulullah saw. itu adalah Al-Qur’an”.
Begitupun halnya denga Aisyah ra., istri yang paling dicintai oleh Rasulullah saw. itu, ketika diminta untuk menceritakan akhlak Rasullullah saw., Aisyah hanya mengatakan, “sesungguhnya akhlak Rasulullah saw. itu adalah Al-Qur’an”.
Dalam
riwayat lain juga diceritakan bahwa, satu subuh, saat Aisyah terbangun dari
tidurnya. Ia tidak mendapatkan Rasulullah saw. berada di sampingnya. Maka
Aisyah segera membuka pintu rumah dan melihat keluar. Alangkah terkejutnya ia,
tatkala mendapatkan suaminya tidur di depan rumah.
“Mengapa engkau lakukan ini ya Rasulullah?” Tanya Aisyah.
“Aku pulang larut malam dan aku khawatir mengganggu tidurmu. Karena itulah aku tidur di depan pintu.” Jawab Rasulullah saw. dengan lembut.
Demikianlah akhlak Rasulullah saw., bahkan terhadap istrinya sekalipun beliau tidak ingin mengganggu tidurnya, meskipun beliau berhak untuk mendapatkan sambutan yang baik ketika pulang. Maka marilah kita berkaca pada diri kita masing-masing. Bagaimanakah perilaku kita terhadap isteri kita?
Tidakkah kita ingat bahwa, Rasulullah saw. telah mengingatkan, “Berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sesungguhnya kamu akan ditanya tentangnya di hari akhir nanti.”
Dalam banyak riwayat yang lain kita juga dapat melihat akan kerendahan hati Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya dan bagaimana beliau lebih senang memuji mereka daripada mencari kekurangan dan kejelekan mereka.
“Mengapa engkau lakukan ini ya Rasulullah?” Tanya Aisyah.
“Aku pulang larut malam dan aku khawatir mengganggu tidurmu. Karena itulah aku tidur di depan pintu.” Jawab Rasulullah saw. dengan lembut.
Demikianlah akhlak Rasulullah saw., bahkan terhadap istrinya sekalipun beliau tidak ingin mengganggu tidurnya, meskipun beliau berhak untuk mendapatkan sambutan yang baik ketika pulang. Maka marilah kita berkaca pada diri kita masing-masing. Bagaimanakah perilaku kita terhadap isteri kita?
Tidakkah kita ingat bahwa, Rasulullah saw. telah mengingatkan, “Berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sesungguhnya kamu akan ditanya tentangnya di hari akhir nanti.”
Dalam banyak riwayat yang lain kita juga dapat melihat akan kerendahan hati Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya dan bagaimana beliau lebih senang memuji mereka daripada mencari kekurangan dan kejelekan mereka.
Abu Bakar,
beliau sebutkan sebagai orang yang paling lembut perangainya di antara umatnya.
Umar, dijuluki sebagai orang yang paling keras (tegas) dalam mendirikan
syari’at Allah. Utsman dipuji sebagai orang yang paling pemalu, bahkan lebih
pemalu dari seorang gadis sekalipun. Dan Ali, beliau banggakan sebagai orang
yang paling faqih dalam menentukan hukum Allah swt.
Abdullah ibnu Jarrah beliau juluki sebagai aminul ummah, Bilal beliau jamin sebagai penduduk surga, dan masih banyak lagi hadits-hadits Rasulullah saw. lain yang menerangkan, bagaimana beliau senang memotivasi sahabat-sahabatnya dengan memuji mereka.
Tapi lihatlah bagaimana kita sekarang?! Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan?!. Ah… ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Lebih dari semua itu, yang patut menjadi bahan introspeksi bagi kita adalah, kisah perbincangan antara Rasulullah saw. dan Utbah bin Rabi’ah, salah seorang dan serta pembesar kaum Quraiys.
Dalam satu kesempatan, Rasulullah saw., didatangi oleh utusan pembesar kaum Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai kemenakanku, engkau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya engkau kehendaki?. Jika engkau menghendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika engkau menginginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang engkau derita, akan kami carikan obatnya. Dan, jika engkau mendambakan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”.
Rasulullah saw., mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Rasulullah saw. pun bertanya, “Sudah selesaikah engkau, wahai Abu Walid?” “Sudah.” Jawab Utbah.
Abdullah ibnu Jarrah beliau juluki sebagai aminul ummah, Bilal beliau jamin sebagai penduduk surga, dan masih banyak lagi hadits-hadits Rasulullah saw. lain yang menerangkan, bagaimana beliau senang memotivasi sahabat-sahabatnya dengan memuji mereka.
Tapi lihatlah bagaimana kita sekarang?! Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan?!. Ah… ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Lebih dari semua itu, yang patut menjadi bahan introspeksi bagi kita adalah, kisah perbincangan antara Rasulullah saw. dan Utbah bin Rabi’ah, salah seorang dan serta pembesar kaum Quraiys.
Dalam satu kesempatan, Rasulullah saw., didatangi oleh utusan pembesar kaum Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai kemenakanku, engkau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya engkau kehendaki?. Jika engkau menghendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika engkau menginginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang engkau derita, akan kami carikan obatnya. Dan, jika engkau mendambakan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”.
Rasulullah saw., mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Rasulullah saw. pun bertanya, “Sudah selesaikah engkau, wahai Abu Walid?” “Sudah.” Jawab Utbah.
Rasulullah
saw. pun segera menjawab uraian Utbah itu dengan membaca surat Al-Fushilat.
Danm, ketika sampai pada ayat sajdah, Rasulullah saw. pun bersujud. Sementara
Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Kita tentu
tidak heran bagaimana Rasulullah saw. dapat dengan sabar mendengarkan perkataan
Utbah. Sebab, kita telah mengetahui bagaimana akhlak nabi dalam menghormati
pendapat orang lain.
Yang mengherankan sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbah, si musyrik itu pun kita kalah. Utbah mau mendengarkan Rasulullah saw. dan meminta kaumnya untuk membiarkan Nabi menyelesaikan bicaranya. Bagaimana dengan kita?! Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sendiri sesama muslim. Na’udzubillah.
Yang mengherankan sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbah, si musyrik itu pun kita kalah. Utbah mau mendengarkan Rasulullah saw. dan meminta kaumnya untuk membiarkan Nabi menyelesaikan bicaranya. Bagaimana dengan kita?! Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sendiri sesama muslim. Na’udzubillah.
Wassalamualaikum
wr wb