Kritik dan Sarannya silakan
Mungkin saya tidak akan
pernah tahu cerita Raden Saleh lebih jauh lengkap dengan karya-karyanya kalau
tidak ada pameran lukisan di Galeri Nasional bertajuk “Pameran Raden Saleh dan
Awal Seni Lukis Modern Indonesia” yang diselenggarakan Goethe Institut Indonesia
bekerjasama dengan Galeri nasional dan Kedutaan Besar jerman. Pameran yang
berlangsung dari 3 – 17 Juni 2012 kemarin, tentunya memberikan banyak
pengetahuan, khususnya kepada generasi muda, mengenai besarnya nama Raden Saleh
dan betapa membanggakannya beliau sebagai anak bangsa yang sudah berkarya
mengelilingi Eropa, dan untuk pertama kali juga karya-karya Raden Saleh di
pamerkan di Indonesia.
Masuk dalam galeri nasional, sebelum masuk ke dalam ruangan tampak tulisan besar “Hormatilah Tuhan dan Cintailah Manusia, menurut pemandu di pameran tersebut, kata-kata itu tertulis dalam sebuah rumah yang dibangun oleh teman baiknya di Belanda, keluarga Serre. Sebuah paviliun bergaya Jawa oriental sebagai simbol persahabatan antara Raden Saleh dan keluarga tersebut. Adapun makna dari tulisan itu, tanda kebersamaan dari budaya yang berbeda. Suami istri Serre pun sangat menghormati kepercayaan dan kebudayaan Raden Saleh.
Tak hanya satu tulisan, ada
juga surat yang pernah dibuat oleh Raden Saleh, inti dari surat itu adalah
bagaimana ia sangat bimbang, jika ditanya harus memilih mana, Indonesia, tanah
kelahirannya atau Eropa tempat ia dibesarkan dan menimba ilmu. Dalam surat itu
Raden Saleh mengatakan mencintai kedua negara tersebut, karena biar bagaimana
pun, 25 tahun tinggal di Eropa bukan waktu yang singkat “hatiku terbagi untuk
keduanya” katanya dalam surat itu.
Kurang lebih 40 lukisan cat minyak bergaya realis, naturalis dan romantis, juga sketsa, litografi dua warna hingga surat-surat tulisan tangan Raden Saleh di pamerkan disini. Pemandangan menjadi lukisan pertama Raden Saleh, “Pemandangan Musim Dingin Belanda” dan “Kincir Angin” merupakan pemahamannya visualnya di Eropa. Kemudian ia mulai menggambar potret orang, sampai beberapa kali dipesan untuk melukis tokoh, yang dilukisnya dengan sempurna. Lukisan singa kemudian menjadi tema yang cukup lama dipelajari Raden Saleh, apalagi saat itu, lukisan singa sangat populer sehingga sangat mahal harganya.
Yang kemudian membuat saya terkagum-kagum adalah karyanya yang dibuat saat usianya masih 11 tahun. Gambar petani dengan cangkulnya, gubuk ditengah sawah, dan beberapa peralatan dapur dibuat dengan sempurna olehnya. Tak heran jika ia kemudian dikirim oleh pemerintah Belanda untuk bersekolah dan mempelajari lebih jauh seni melukis di Den Haag, Belanda. Raden Saleh belajar melukis pertama kali dengan J.Bik dari Belanda dan Antoine Payem dari Belgia.
Salah satu lukisan yang
menjadi ‘master piece’ milik Raden Saleh juga di pamerkan di Galeri Nasional,
berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Lukisannya sama dengan karya
pelukis Belanda, Nicolaas Pineman. Namun Raden Saleh memberikan interpretasi
yang berbeda. Ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia
Belanda dalam karyanya ini, jika dalam karya Pieneman menekankan pada peristiwa
menyerahnya Pangeran Diponegoro, yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan
terbentang, dengan latar belakang Jendral de Kock berdiri berkacak pinggang
menunjuk kereta tahanan. Versi Raden Saleh, Pangeran Diponegoro digambarkan
berdiri dengan pose siaga, dengan wajah bergaris keras seperti menahan marah,
dengan tangan kirinya mengepal memegang tasbih. Sementara itu, ia menggambarkan
pasukan Belanda dengan bentuk kepala lebih besar dari yang lain, dengan arti
Belanda monster dan sombong. Dalam lukisan itu, tampak Raden Saleh
menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap hormat menyaksikan suasana
penangkapan tersebut.
Masih banyak lagi lukisan yang dijelaskan satu persatu oleh si pemandu selama kurang lebih 2 jam memutari semua karya-karya Raden Saleh. Ada juga video yang menceritakan perjalanan hidup Raden Saleh secara singkat, sejak ia berangkat ke Eropa dan bertemu sahabat-sahabatnya disana. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1853, kemudian diangkat menjadi konservator dan restorator koleksi lukisan kolonial. Ia juga menyumbangkan 50 gambar untuk letografi yang kemudian dijadikan buku teks menggambar di sekolah-sekolah Jawa.
Sayang kepulangannya ke
Indonesia tak lama, karena sejak diisukan menjadi otak pemberontakan petani dan
ditangkap oleh Belanda, ia memutuskan untuk kembali ke Eropa, sampai akhir
jatuh sakit di Paris. Tahun 1879, Raden Saleh kembali ke Indonesia dan satu
tahun kemudian ia meninggal dan dikuburkan di Kampung Empang. Masih banyak
informasi rekam jejak Raden Saleh yang bisa ditemui di tempat lain, selain di
Galeri Nasional, salah satunya Kebun Raya Bogor atau bekas kediamannya di
belakang hotel Bellevue yang kini menjadi Bogor Trade Mall, diperkirakan rumah
Raden Saleh kini merupakan kantor pelayanan pajak Bogor yang jaraknya sekitar
600 meter dari pintu II Kebun Raya Bogor. Atau tempat-tempat lain yang pernah
disinggahi Raden Saleh, karena nama besar dan sejarah nya sudah sepatutnya
diketahui dan menjadi cerita sejarah bangsa ini.
Sebuah
pameran yang diharapkan membuka jendela baru tentang kehidupan dan pengaruh
Raden Saleh terhadap perkembangan seni rupa di Indonesia, digelar 3-17 Juni
2012 lalu di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran “Raden Saleh dan Awal
Seni Lukis Modern Indonesia”, menjadi pameran monografis pertama karya-karya
Sang Maestro di tanah airnya Indonesia dan sekaligus upaya pertama untuk
memperkenalkan nilai lukisan “Bapak Modernitas Jawa” ini kepada masyarakat
luas, sekaligus menjadi momentum baru untuk menelaah kontribusi keseluruhan
Raden Saleh terhadap modernisasi budaya dan pemikiran Jawa.
Sebagai pelukis, Raden Saleh pernah tinggal selama lebih dari 25 tahun di Belanda, Jerman, Prancis dan Italia. Pengalaman ini banyak memberinya wawasan dan pengetahuan luas yang memperkaya ketrampilan melukisnya. Sebagai pelukis Indonesia pertama yang mengenyam pendidikan di Eropa,
Raden Saleh membawa pulang pemahaman baru mengenai seni visual ke tanah airnya. Meski demikian, kebudayaan Jawa tetap berakar kuat dan memberi warna khas dalam setiap karyanya. Pameran ini hendak memperlihatkan bahwa Raden Saleh memulai suatu bentuk baru yang lahir, baik dari tradisi Eropa maupun dari tradisi Jawa.
Pameran ini menampilkan lebih dari 40 lukisan cat minyak dan sejumlah sketsa karya Raden Saleh. Pertunjukan multimedia mengenai kehidupan dan karya Sang Seniman juga disajikan, lengkap dengan reproduksi karya-karyanya, terutama lukisan dari koleksinya di Eropa yang tidak dapat dibawa ke Indonesia.
Monografi dan buku seni tentang Raden Saleh sedang disunting oleh Dr. Werner Kraus, ahli sejarah seni asal Jerman dan pakar seni Asia Tenggara, yang menjadi kurator pameran ini. Penerbitannya nanti akan menjadi apresiasi dan dokumentasi komprehensif pertama mengenai keseluruhan karya Raden Saleh, yang memuat lebih banyak karya dibandingkan yang tampil dalam pameran ini.
Pameran yang diselenggarakan oleh Goethe Institut bekerjasama dengan Galeri Nasional Indonesia dan Kedutaan Besar Jerman ini, menjadi acara puncak sekaligus penutup rangkaian acaara “JERIN – Jerman dan Indonesia, Kreatifitas dan Keberagaman”, yang mengetengahkan kemitraan Jerman-Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan kebudayaan sejak Oktober 2011 lalu.
Lebih dari sekedar pameran, sejumlah kegiatan terkait pun diselenggarakan untuk menyemarakkan acara ini. Sebuah lokakarya bertajuk “Seni Penyajian Seni untuk Konservator dan Penyelenggara Pameran” telah diselenggarakan pada tanggal 28-30 Mei 2012.
Pada tanggal 9-10 Juni 2012, digelar sebuah simposium internasional bertema “Hibriditas dan Modernitas”, yang bertujuan mengkaji kembali proses modernisasi dalam masyarakat Jawa, ilmu pengetahuan dan terutama seni pada pertengahan kedua abad ke-19. Diskusi ini berfokus pada kemunculan estetika dan visualitas baru dalam kebudayaan Jawa dan kebudayaan Asia Tenggara lain sebagai perbandingannya.
Peragaan busana “Raden Saleh – Pelopor Seni Lukis dan Fashion Indonesia” juga digelar secara khusus pada tanggal 9 Juni 2012, yang didedikasikan untuk mengenang Raden Saleh yang dianggap sebagai perancang busana pertama Indonesia. Goethe Institut sebagai penyelenggara mengundang sejumlah perancang busana muda Indonesia untuk berpartisipasi dalam lomba cipta busana yang diinspirasi oleh Raden Saleh. Karya-karya terbaik dari lomba tersebutlah yang ditampilkan dalam peragaan busana ini.
Temu wicara “Raden Saleh dan Seniman yang Terlupakan” juga diselenggarakan pada tanggal 16 Juni 2012. Forum ini menghadirkan Dr. Werner Kraus dan Budi N.D. Dharmawan dari National Geographic Indonesia yang membahas tentang posisi Raden Saleh dewasa ini dalam konteks seni di Indonesia.
Yang tak kalah istimewa dari acara-acara pengiring ini adalah tampilnya ki Ledjar Subroto, salah satu dalang terkemuka asal Yogyakarta. Ki Ledjar menggelar kisah lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”, salah satu lukisan Raden Saleh yang paling banyak dikenal publik, yang menampilkan dalam bentuk dan tokoh wayang khusus sesuai dengan kisah dan tema pameran ini.
Masuk dalam galeri nasional, sebelum masuk ke dalam ruangan tampak tulisan besar “Hormatilah Tuhan dan Cintailah Manusia, menurut pemandu di pameran tersebut, kata-kata itu tertulis dalam sebuah rumah yang dibangun oleh teman baiknya di Belanda, keluarga Serre. Sebuah paviliun bergaya Jawa oriental sebagai simbol persahabatan antara Raden Saleh dan keluarga tersebut. Adapun makna dari tulisan itu, tanda kebersamaan dari budaya yang berbeda. Suami istri Serre pun sangat menghormati kepercayaan dan kebudayaan Raden Saleh.
Kurang lebih 40 lukisan cat minyak bergaya realis, naturalis dan romantis, juga sketsa, litografi dua warna hingga surat-surat tulisan tangan Raden Saleh di pamerkan disini. Pemandangan menjadi lukisan pertama Raden Saleh, “Pemandangan Musim Dingin Belanda” dan “Kincir Angin” merupakan pemahamannya visualnya di Eropa. Kemudian ia mulai menggambar potret orang, sampai beberapa kali dipesan untuk melukis tokoh, yang dilukisnya dengan sempurna. Lukisan singa kemudian menjadi tema yang cukup lama dipelajari Raden Saleh, apalagi saat itu, lukisan singa sangat populer sehingga sangat mahal harganya.
Yang kemudian membuat saya terkagum-kagum adalah karyanya yang dibuat saat usianya masih 11 tahun. Gambar petani dengan cangkulnya, gubuk ditengah sawah, dan beberapa peralatan dapur dibuat dengan sempurna olehnya. Tak heran jika ia kemudian dikirim oleh pemerintah Belanda untuk bersekolah dan mempelajari lebih jauh seni melukis di Den Haag, Belanda. Raden Saleh belajar melukis pertama kali dengan J.Bik dari Belanda dan Antoine Payem dari Belgia.
Masih banyak lagi lukisan yang dijelaskan satu persatu oleh si pemandu selama kurang lebih 2 jam memutari semua karya-karya Raden Saleh. Ada juga video yang menceritakan perjalanan hidup Raden Saleh secara singkat, sejak ia berangkat ke Eropa dan bertemu sahabat-sahabatnya disana. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1853, kemudian diangkat menjadi konservator dan restorator koleksi lukisan kolonial. Ia juga menyumbangkan 50 gambar untuk letografi yang kemudian dijadikan buku teks menggambar di sekolah-sekolah Jawa.
Sebagai pelukis, Raden Saleh pernah tinggal selama lebih dari 25 tahun di Belanda, Jerman, Prancis dan Italia. Pengalaman ini banyak memberinya wawasan dan pengetahuan luas yang memperkaya ketrampilan melukisnya. Sebagai pelukis Indonesia pertama yang mengenyam pendidikan di Eropa,
Raden Saleh membawa pulang pemahaman baru mengenai seni visual ke tanah airnya. Meski demikian, kebudayaan Jawa tetap berakar kuat dan memberi warna khas dalam setiap karyanya. Pameran ini hendak memperlihatkan bahwa Raden Saleh memulai suatu bentuk baru yang lahir, baik dari tradisi Eropa maupun dari tradisi Jawa.
Pameran ini menampilkan lebih dari 40 lukisan cat minyak dan sejumlah sketsa karya Raden Saleh. Pertunjukan multimedia mengenai kehidupan dan karya Sang Seniman juga disajikan, lengkap dengan reproduksi karya-karyanya, terutama lukisan dari koleksinya di Eropa yang tidak dapat dibawa ke Indonesia.
Monografi dan buku seni tentang Raden Saleh sedang disunting oleh Dr. Werner Kraus, ahli sejarah seni asal Jerman dan pakar seni Asia Tenggara, yang menjadi kurator pameran ini. Penerbitannya nanti akan menjadi apresiasi dan dokumentasi komprehensif pertama mengenai keseluruhan karya Raden Saleh, yang memuat lebih banyak karya dibandingkan yang tampil dalam pameran ini.
Pameran yang diselenggarakan oleh Goethe Institut bekerjasama dengan Galeri Nasional Indonesia dan Kedutaan Besar Jerman ini, menjadi acara puncak sekaligus penutup rangkaian acaara “JERIN – Jerman dan Indonesia, Kreatifitas dan Keberagaman”, yang mengetengahkan kemitraan Jerman-Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan kebudayaan sejak Oktober 2011 lalu.
Lebih dari sekedar pameran, sejumlah kegiatan terkait pun diselenggarakan untuk menyemarakkan acara ini. Sebuah lokakarya bertajuk “Seni Penyajian Seni untuk Konservator dan Penyelenggara Pameran” telah diselenggarakan pada tanggal 28-30 Mei 2012.
Pada tanggal 9-10 Juni 2012, digelar sebuah simposium internasional bertema “Hibriditas dan Modernitas”, yang bertujuan mengkaji kembali proses modernisasi dalam masyarakat Jawa, ilmu pengetahuan dan terutama seni pada pertengahan kedua abad ke-19. Diskusi ini berfokus pada kemunculan estetika dan visualitas baru dalam kebudayaan Jawa dan kebudayaan Asia Tenggara lain sebagai perbandingannya.
Peragaan busana “Raden Saleh – Pelopor Seni Lukis dan Fashion Indonesia” juga digelar secara khusus pada tanggal 9 Juni 2012, yang didedikasikan untuk mengenang Raden Saleh yang dianggap sebagai perancang busana pertama Indonesia. Goethe Institut sebagai penyelenggara mengundang sejumlah perancang busana muda Indonesia untuk berpartisipasi dalam lomba cipta busana yang diinspirasi oleh Raden Saleh. Karya-karya terbaik dari lomba tersebutlah yang ditampilkan dalam peragaan busana ini.
Temu wicara “Raden Saleh dan Seniman yang Terlupakan” juga diselenggarakan pada tanggal 16 Juni 2012. Forum ini menghadirkan Dr. Werner Kraus dan Budi N.D. Dharmawan dari National Geographic Indonesia yang membahas tentang posisi Raden Saleh dewasa ini dalam konteks seni di Indonesia.
Yang tak kalah istimewa dari acara-acara pengiring ini adalah tampilnya ki Ledjar Subroto, salah satu dalang terkemuka asal Yogyakarta. Ki Ledjar menggelar kisah lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”, salah satu lukisan Raden Saleh yang paling banyak dikenal publik, yang menampilkan dalam bentuk dan tokoh wayang khusus sesuai dengan kisah dan tema pameran ini.
KARYA-KARYA RADEN SALEH
.
DISUSUN
O
L
E
H
M.Marjan
KLS:IX.2
SMP 34 PADANG.
0 comments:
Post a Comment