Kritik dan Sarannya silakan
Lukisan
seniman muda Indonesia belakangan ini menjadi buruan para kolektor Asia.
Harganya melejit hingga miliaran rupiah.
Penghujung
Mei lalu, suasana lelang yang digelar Balai Lelang Christie’s di Hong Kong
terasa begitu mencekam. Tak satu pun kata terlontar dari ratusan kolektor benda
seni yang menjadi peserta lelang tersebut. Keheningan baru pecah ketika lukisan
I Nyoman Masriadi yang bertajuk Sudah Biasa Ditelanjangi laku dengan
harga US$ 554 ribu atau sekitar Rp 5 miliar.
Bagai sebuah
pertunjukan konser, tempik sorak riuh bergema mengiringi keberhasilan seorang
kolektor memboyong lukisan kontemporer itu. Acara lelang itu juga melambungkan
nama seniman asal Bali yang kini menetap di Yogyakarta tersebut. Masriadi, 34 tahun,
menjadi buah bibir di dunia seni rupa Asia belakangan ini.
Bahkan
karya-karya Masriadi, jebolan Institut Seni Indonesia Yogyakarta,
sangat ditunggu-tunggu para kolektor. Sampai-sampai, belum sempat dia memamerkan, lukisan-lukisannya sudah laku. “Lukisan Masriadi memang terus ditunggu-tunggu dalam lelang Christie’s di Hong Kong,” kata Kepala Departemen Seni Modern dan Kontemporer Asia Tenggara Balai Lelang Christie’s, Ruoh-Ling Keong.
sangat ditunggu-tunggu para kolektor. Sampai-sampai, belum sempat dia memamerkan, lukisan-lukisannya sudah laku. “Lukisan Masriadi memang terus ditunggu-tunggu dalam lelang Christie’s di Hong Kong,” kata Kepala Departemen Seni Modern dan Kontemporer Asia Tenggara Balai Lelang Christie’s, Ruoh-Ling Keong.
Lontaran
Keong memang bukan isapan jempol belaka, sebab bukan hanya dalam lelang
Christie’s, karya-karya Masriadi juga menjadi primadona di balai lelang
internasional lainnya, Sotheby’s Hong Kong. Pada 4 Oktober lalu, lukisan Masriadi
berjudul Sorry Hero, Saya Lupa terjual sekitar Rp 6 miliar di balai
lelang itu. Selang dua hari kemudian, karya lainnya bertajuk The Man From
Bantul, The Final Round laku sekitar Rp 10 miliar di balai lelang yang
sama.
Harga itu
sungguh fantastis. Sejarah pun seolah berulang. Sekitar 10 tahun silam,
lukisan-lukisan Indonesia sempat menjadi primadona. Lukisan Raden Saleh
berjudul Berburu Rusa laku sekitar Rp 4,6 miliar di balai lelang
Christie’s Singapura. Lalu karya Affandi, Pelabuhan Rotterdam terjual
dengan harga sekitar Rp 3 miliar.
Yang
menarik, Masriadi ternyata tak sendirian. Lukisan-lukisan kontemporer karya
seniman muda Indonesia lainnya belakangan menjadi primadona di balai-balai
lelang internasional Asia, antara lain karya Agus Suwage, F.X. Harsono, Budi
Kustarto, serta lukisan karya seniman Kelompok Jendela Yogyakarta seperti Rudi
Mantofani dan Handiwirman Saputra.
Menurut
Ruoh-Ling Keong, lukisan kontemporer Indonesia diminati lantaran bertema
kehidupan yang sehari-hari dihadapi masyarakat Asia. Rupanya itu menjadi daya
tarik tersendiri bagi pencinta seni di Asia yang saat ini menjadi pembeli utama
lukisan-lukisan tersebut. Daripada melihat sosok bule dalam lukisan,
ternyata orang Asia lebih suka dengan tema yang dekat dengan mereka, kata Keong
di sela-sela acara preview benda seni lelang Christie’s untuk musim
gugur November mendatang di Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta, akhir
September lalu.
Nilai karya
seni Indonesia yang terus melambung itu, tutur Keong, mengikuti tren
peningkatan penjualan benda seni di Asia. Christie’s mencatat hasil lelang pada
Mei 2008 naik 40 persen dari lelang yang sama tahun sebelumnya. Keong melihat
fenomena itu sebagai pertanda pasar seni di Asia berkembang pesat seiring
dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.
Tingginya
minat kolektor dan dealer lukisan itu, menurut Keong, membuat Christie’s
terus menaikkan estimasi hasil penjualan lelang lukisan Indonesia. Spesialis
lukisan Asia Tenggara itu memberi gambaran, untuk karya unggulan ditaksir bisa
terjual minimal US$ 30 ribu atau sekitar Rp 300 juta.
***Fenomena melejitnya harga lukisan
kontemporer Indonesia memang mencengangkan. Betapa tidak, di tengah anjloknya
harga saham di lantai-lantai bursa, harga karya-karya seniman muda kita itu
justru meroket, seperti tak terimbas badai krisis yang tengah melanda.
Pengamat
seni Agus Dermawan T. menyatakan fenomena itu sebenarnya tak lepas dari langkah
yang diambil Balai Lelang Christie’s dan Sotheby’s, yang menggarap genre
lukisan Asia Tenggara. Menurut Agus, Christie’s sendiri pada 2000 mulai mencari
ikon-ikon baru karena mulai kehabisan stok lukisan karya old master yang
menjadi primadona, seperti milik Affandi, Lee Man Fong, dan Hendra Gunawan.
Awalnya
mereka mengisi kekosongan itu dengan lukisan maestro Vietnam, tapi memasuki
2005 stoknya mulai surut. Agus menyatakan, saat itulah balai lelang tersebut
mulai melirik seni kontemporer Indonesia setelah berkaca pada booming
seni lukis kontemporer Cina.
Christie’s
juga memindahkan tempat lelang lukisan Asia Tenggara dari Singapura ke Hong
Kong demi mendongkrak popularitasnya di pasar Asia. “Mereka menciptakan
ikon-ikon baru di pasar seni Asia sebagai bagian dari strategi pengelolaan
pasar,” kata Agus.
Maka,
muncullah karya pelukis kontemporer Indonesia dengan nilai lukisan yang
harganya terus meroket. Padahal, Agus melihat secara kualitas masih terlampau
eksperimental, artifisial, bahkan ugal-ugalan. “Karena itu saya anggap harga
itu tak selalu berkaitan langsung dengan kualitas,” ujarnya menerangkan.
Agus juga
percaya bahwa harga tinggi itu sedikit-banyak hasil “gorengan” para pemain
bisnis benda-benda seni rupa. Agus menyatakan, demi kesuksesan strategi
penciptaan ikon pelukis baru, biasanya ada kolaborasi antara pemilik lukisan,
ahli seni dan apresiasi, serta pakar sosialisasi dan pemasaran.
Lalu, untuk
menciptakan ledakan harga, Agus menambahkan, tak jarang pemilik lukisan dan
koleganya hadir dalam lelang dan membeli lukisan miliknya sendiri dengan harga
tinggi. Belakangan, para cukong seni di Hong Kong juga mulai ikut bermain. Dari
daftar hasil lelang Christie’s pada Mei 2008 terlihat peningkatan jumlah dealer
karya seni yang membeli lukisan Indonesia ketimbang tahun sebelumnya.
“Kadang ulah
para bidder ini keterlaluan,” kata Agus. Itu terlihat dari karya Affandi
yang orisinal dilibas lukisan Masriadi, yang dalam kacamata Agus gayanya meniru
Fernand Leger. Begitu juga karya Dadang Christanto yang alakadarnya, nilainya
mengungguli karya pelukis sekaliber Sudjana Keton dan Srihadi Soedarsono. Agus
menegaskan, trik pasar ini dinilainya berisiko tinggi, karena harga hasil
permainan sewaktu-waktu bisa jatuh.
Christie’s
sendiri berkeras bahwa patokan harga tinggi yang mereka susun bukanlah hasil
“gorengan” . Menurut pihak Christie’s, patokan harga itu dibuat dengan
mempertimbangkan rekam jejak perkembangan karya dan pameran pelukisnya yang
dikonsultasikan dengan dealer dan pakar seni.Apa pun, yang jelas para
seniman yang kini tengah menjadi primadona menanggapinya dingin-dingin saja.
Masriadi, misalnya, tak mau ambil pusing dengan harga lukisannya yang selangit.
Menurut Masriadi, ia tak pernah berurusan langsung dengan para kolektor dan
makelar lukisan. Dua tahun terakhir ini semua hasil karyanya ia serahkan ke
Galeri Gajah yang menentukan harga dan mengatur penjualan.
Masriadi mengingat
salah satu lukisan yang terjual miliaran rupiah di Hong Kong, awalnya dibeli
seorang kolektor dari Jakarta. Kolektor memang memburu lukisan pria kelahiran
Gianyar, Bali, itu sampai-sampai ia tak pernah bisa menggelar pameran tunggal.
Pameran karya Masriadi yang terlaksana pada Agustus lalu itu pun hasil kerja
keras Museum Seni Singapura meminjam sejumlah lukisannya dari para kolektor.
Alih-alih
senang dan bangga dengan ingar-bingar soal lukisannya, Masriadi justru merasa
terbebani dengan harga itu. Ia merasa kini tanggung jawabnya dalam melukis
justru semakin berat. “Sebenarnya, orang yang dibilang paling mahal itu
kasihan,” ujarnya datar.
Yang pasti,
pria yang biasa mengikat rambut panjangnya gaya ekor kuda itu hanya ingin
berkonsentrasi pada kegiatan melukis dan menabung agar bisa punya studio
sendiri. “Saya lebih suka dikenal sebagai pelukis terbaik daripada pelukis
termahal,” kata Masriadi sambil tertawa.
Hal senada
dilontarkan Agus Suwage. Seniman berusia 49 tahun yang lukisannya bertajuk “Oh
Plastik Oh Daging” dalam sebuah lelang dihargai lebih dari Rp 1 miliar itu
justru lebih banyak takut ketimbang senangnya. “Apa iya lukisan saya sudah
pantas dihargai segitu?” ujarnya. Memang, menurut Agus, hasil lelang
Christie’s membuatnya lebih “pede” saat menghargai lukisannya. “Saya senangnya
di situ saja. Selebihnya, saya tak terlalu peduli.”
Ya, Agus
Suwage memang pantas untuk “cuek” lantaran hasil lelang yang fantastis itu tak
mampir ke kantongnya. Hasil kerjanya yang dilego ketika berpameran tahu-tahu
muncul di lelang karya seni internasional dan harganya bisa membengkak hingga
lebih dari sepuluh kali lipat.Makanya, Agus lebih memilih mengandalkan harga
hasil tawar-menawar saat pameran. Menurut dia, hasil lelang tak bisa dengan
serta-merta menjadi ukuran yang mengindikasikan kian tingginya tingkat
apresiasi terhadap lukisan Indonesia. “Sebab, di saat lelang itu banyak pihak
yang bermain,” katanya.