Tuesday, 30 October 2012

Lukisan Kontemporer

Kritik dan Sarannya silakan



Lukisan seniman muda Indonesia belakangan ini menjadi buruan para kolektor Asia. Harganya melejit hingga miliaran rupiah.
Penghujung Mei lalu, suasana lelang yang digelar Balai Lelang Christie’s di Hong Kong terasa begitu mencekam. Tak satu pun kata terlontar dari ratusan kolektor benda seni yang menjadi peserta lelang tersebut. Keheningan baru pecah ketika lukisan I Nyoman Masriadi yang bertajuk Sudah Biasa Ditelanjangi laku dengan harga US$ 554 ribu atau sekitar Rp 5 miliar.
Bagai sebuah pertunjukan konser, tempik sorak riuh bergema mengiringi keberhasilan seorang kolektor memboyong lukisan kontemporer itu. Acara lelang itu juga melambungkan nama seniman asal Bali yang kini menetap di Yogyakarta tersebut. Masriadi, 34 tahun, menjadi buah bibir di dunia seni rupa Asia belakangan ini.
Bahkan karya-karya Masriadi, jebolan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 

sangat ditunggu-tunggu para kolektor. Sampai-sampai, belum sempat dia memamerkan, lukisan-lukisannya sudah laku. “Lukisan Masriadi memang terus ditunggu-tunggu dalam lelang Christie’s di Hong Kong,” kata Kepala Departemen Seni Modern dan Kontemporer Asia Tenggara Balai Lelang Christie’s, Ruoh-Ling Keong.
Lontaran Keong memang bukan isapan jempol belaka, sebab bukan hanya dalam lelang Christie’s, karya-karya Masriadi juga menjadi primadona di balai lelang internasional lainnya, Sotheby’s Hong Kong. Pada 4 Oktober lalu, lukisan Masriadi berjudul Sorry Hero, Saya Lupa terjual sekitar Rp 6 miliar di balai lelang itu. Selang dua hari kemudian, karya lainnya bertajuk The Man From Bantul, The Final Round laku sekitar Rp 10 miliar di balai lelang yang sama.
Harga itu sungguh fantastis. Sejarah pun seolah berulang. Sekitar 10 tahun silam, lukisan-lukisan Indonesia sempat menjadi primadona. Lukisan Raden Saleh berjudul Berburu Rusa laku sekitar Rp 4,6 miliar di balai lelang Christie’s Singapura. Lalu karya Affandi, Pelabuhan Rotterdam terjual dengan harga sekitar Rp 3 miliar.
Yang menarik, Masriadi ternyata tak sendirian. Lukisan-lukisan kontemporer karya seniman muda Indonesia lainnya belakangan menjadi primadona di balai-balai lelang internasional Asia, antara lain karya Agus Suwage, F.X. Harsono, Budi Kustarto, serta lukisan karya seniman Kelompok Jendela Yogyakarta seperti Rudi Mantofani dan Handiwirman Saputra.
Menurut Ruoh-Ling Keong, lukisan kontemporer Indonesia diminati lantaran bertema kehidupan yang sehari-hari dihadapi masyarakat Asia. Rupanya itu menjadi daya tarik tersendiri bagi pencinta seni di Asia yang saat ini menjadi pembeli utama lukisan-lukisan tersebut. Daripada melihat sosok bule dalam lukisan, ternyata orang Asia lebih suka dengan tema yang dekat dengan mereka, kata Keong di sela-sela acara preview benda seni lelang Christie’s untuk musim gugur November mendatang di Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta, akhir September lalu.
Nilai karya seni Indonesia yang terus melambung itu, tutur Keong, mengikuti tren peningkatan penjualan benda seni di Asia. Christie’s mencatat hasil lelang pada Mei 2008 naik 40 persen dari lelang yang sama tahun sebelumnya. Keong melihat fenomena itu sebagai pertanda pasar seni di Asia berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini.
Tingginya minat kolektor dan dealer lukisan itu, menurut Keong, membuat Christie’s terus menaikkan estimasi hasil penjualan lelang lukisan Indonesia. Spesialis lukisan Asia Tenggara itu memberi gambaran, untuk karya unggulan ditaksir bisa terjual minimal US$ 30 ribu atau sekitar Rp 300 juta.
***Fenomena melejitnya harga lukisan kontemporer Indonesia memang mencengangkan. Betapa tidak, di tengah anjloknya harga saham di lantai-lantai bursa, harga karya-karya seniman muda kita itu justru meroket, seperti tak terimbas badai krisis yang tengah melanda.
Pengamat seni Agus Dermawan T. menyatakan fenomena itu sebenarnya tak lepas dari langkah yang diambil Balai Lelang Christie’s dan Sotheby’s, yang menggarap genre lukisan Asia Tenggara. Menurut Agus, Christie’s sendiri pada 2000 mulai mencari ikon-ikon baru karena mulai kehabisan stok lukisan karya old master yang menjadi primadona, seperti milik Affandi, Lee Man Fong, dan Hendra Gunawan.
Awalnya mereka mengisi kekosongan itu dengan lukisan maestro Vietnam, tapi memasuki 2005 stoknya mulai surut. Agus menyatakan, saat itulah balai lelang tersebut mulai melirik seni kontemporer Indonesia setelah berkaca pada booming seni lukis kontemporer Cina.
Christie’s juga memindahkan tempat lelang lukisan Asia Tenggara dari Singapura ke Hong Kong demi mendongkrak popularitasnya di pasar Asia. “Mereka menciptakan ikon-ikon baru di pasar seni Asia sebagai bagian dari strategi pengelolaan pasar,” kata Agus.
Maka, muncullah karya pelukis kontemporer Indonesia dengan nilai lukisan yang harganya terus meroket. Padahal, Agus melihat secara kualitas masih terlampau eksperimental, artifisial, bahkan ugal-ugalan. “Karena itu saya anggap harga itu tak selalu berkaitan langsung dengan kualitas,” ujarnya menerangkan.
Agus juga percaya bahwa harga tinggi itu sedikit-banyak hasil “gorengan” para pemain bisnis benda-benda seni rupa. Agus menyatakan, demi kesuksesan strategi penciptaan ikon pelukis baru, biasanya ada kolaborasi antara pemilik lukisan, ahli seni dan apresiasi, serta pakar sosialisasi dan pemasaran.
Lalu, untuk menciptakan ledakan harga, Agus menambahkan, tak jarang pemilik lukisan dan koleganya hadir dalam lelang dan membeli lukisan miliknya sendiri dengan harga tinggi. Belakangan, para cukong seni di Hong Kong juga mulai ikut bermain. Dari daftar hasil lelang Christie’s pada Mei 2008 terlihat peningkatan jumlah dealer karya seni yang membeli lukisan Indonesia ketimbang tahun sebelumnya.
“Kadang ulah para bidder ini keterlaluan,” kata Agus. Itu terlihat dari karya Affandi yang orisinal dilibas lukisan Masriadi, yang dalam kacamata Agus gayanya meniru Fernand Leger. Begitu juga karya Dadang Christanto yang alakadarnya, nilainya mengungguli karya pelukis sekaliber Sudjana Keton dan Srihadi Soedarsono. Agus menegaskan, trik pasar ini dinilainya berisiko tinggi, karena harga hasil permainan sewaktu-waktu bisa jatuh.
Christie’s sendiri berkeras bahwa patokan harga tinggi yang mereka susun bukanlah hasil “gorengan” . Menurut pihak Christie’s, patokan harga itu dibuat dengan mempertimbangkan rekam jejak perkembangan karya dan pameran pelukisnya yang dikonsultasikan dengan dealer dan pakar seni.Apa pun, yang jelas para seniman yang kini tengah menjadi primadona menanggapinya dingin-dingin saja. Masriadi, misalnya, tak mau ambil pusing dengan harga lukisannya yang selangit. Menurut Masriadi, ia tak pernah berurusan langsung dengan para kolektor dan makelar lukisan. Dua tahun terakhir ini semua hasil karyanya ia serahkan ke Galeri Gajah yang menentukan harga dan mengatur penjualan.
Masriadi mengingat salah satu lukisan yang terjual miliaran rupiah di Hong Kong, awalnya dibeli seorang kolektor dari Jakarta. Kolektor memang memburu lukisan pria kelahiran Gianyar, Bali, itu sampai-sampai ia tak pernah bisa menggelar pameran tunggal. Pameran karya Masriadi yang terlaksana pada Agustus lalu itu pun hasil kerja keras Museum Seni Singapura meminjam sejumlah lukisannya dari para kolektor.
Alih-alih senang dan bangga dengan ingar-bingar soal lukisannya, Masriadi justru merasa terbebani dengan harga itu. Ia merasa kini tanggung jawabnya dalam melukis justru semakin berat. “Sebenarnya, orang yang dibilang paling mahal itu kasihan,” ujarnya datar.
Yang pasti, pria yang biasa mengikat rambut panjangnya gaya ekor kuda itu hanya ingin berkonsentrasi pada kegiatan melukis dan menabung agar bisa punya studio sendiri. “Saya lebih suka dikenal sebagai pelukis terbaik daripada pelukis termahal,” kata Masriadi sambil tertawa.
Hal senada dilontarkan Agus Suwage. Seniman berusia 49 tahun yang lukisannya bertajuk “Oh Plastik Oh Daging” dalam sebuah lelang dihargai lebih dari Rp 1 miliar itu justru lebih banyak takut ketimbang senangnya. “Apa iya lukisan saya sudah pantas dihargai segitu?” ujarnya. Memang, menurut Agus, hasil lelang Christie’s membuatnya lebih “pede” saat menghargai lukisannya. “Saya senangnya di situ saja. Selebihnya, saya tak terlalu peduli.”
Ya, Agus Suwage memang pantas untuk “cuek” lantaran hasil lelang yang fantastis itu tak mampir ke kantongnya. Hasil kerjanya yang dilego ketika berpameran tahu-tahu muncul di lelang karya seni internasional dan harganya bisa membengkak hingga lebih dari sepuluh kali lipat.Makanya, Agus lebih memilih mengandalkan harga hasil tawar-menawar saat pameran. Menurut dia, hasil lelang tak bisa dengan serta-merta menjadi ukuran yang mengindikasikan kian tingginya tingkat apresiasi terhadap lukisan Indonesia. “Sebab, di saat lelang itu banyak pihak yang bermain,” katanya.

Template by:

Free Blog Templates