Monday 27 August 2012

Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah


Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah
 Tarekat ini berhulu pada diri Nabi Muhammad SAW yang kemudian mengalir kepada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A, sahabat kesayangan Nabi Muhammad SAW dan khalifahnya yang pertama, yang telah menerima ilmu istimewa seperti diterangkan Nabi Muhammad SAW sendiri, "Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar"
Pola hidup bersahaja yang ditampilkan Abu Bakar ditiru para sufi pada periode selanjutnya. Menurut riwayat, Abu Bakar pernah hidup dengan sehelai kain saja. Ia pernah memegang lidahnya sendiri, seraya berkata, "Lidah inilah yang senantiasa mengancamku". Kemudian untuk menjaga dari berkata-kata yang tidak bermanfaat, Abu Bakar lazim mengulum batu kerikil.
 Kedermawanan Abu Bakar juga tak terukur nilainya. Misalnya pada Perang Tabuk, Rasulullah SAW meminta kepada kaum Muslim agar mengorbankan hartanya. Maka datanglah Abu Bakar membawa hartanya dan diletakkannya di antara dua tangan Rasulullah SAW, seraya Rasulullah SAW berkata kepadanya, "Apalagi yang engkau tinggalkan bagi anak-anakmu, wahai Abu Bakar?" Jawabnya sambil tertawa, "Saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya".
Sikap kedermawanan Abu Bakar ini merupakan kerelaan berkorban di jalan Allah. Dia hanya menyandarkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal ini merupakan sikap kepasrahan yang tinggi yang kemudian dijadikan sebagai teladan bagi para sufi. Di mata para sufi, sikap-sikap Abu Bakar seperti itu merefleksikan ahwal (keadaan) yang selalu disandarkan kepada Allah semata. Inilah, yang oleh kaum sufi dianggap sebagai benih-benih akhlak para sufi.
Oleh sebab itu, kendatipun di abad 1 Hijriah orang Islam belum mengenal istilah tasawuf, tetapi benih-benihnya sudah tampak, seperti pada diri Abu Bakar. Dan pada masa itu banyak sekali ditemui perilaku atau sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, yang mencirikan pengajaran dan amalan ilmu tasawuf.
Tarekat yang diterima Abu Bakar yang nantinya populer dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah telah mengalami pergantian penyebutan beberapa kali. Dalam silsilah keguruan tarekat ini, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq berada pada urutan pertama. Periode antara Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq sampai Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Bistami, yang nama aslinya Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Bistami dan berada pada urutan kelima, dinamakan "Shiddiqiah". Periode antara Syaikh Tayfur sampai Sayyidi Syaikh Abdul Khalik Fajduani, silsilah kesembilan, dinamakan "Tayfuriah". Periode antara Khawajah Abdul Khalik Fajduani yang lahir di daerah Uzbekistan itu sampai Sayyidi Syaikh Bahauddin Naqsyabandi, silsilah kelimabelas, dinamakan "Khawajakaniah". Diambil dari istilah Khwajagan (= tuan guru yang bersilsilah). Periode antara Syaikh Bahauddin Naqsyabandi sampai Sayyidi Syaikh Nashiruddin Ubaidullah Al-Ahrar, silsilah kedelapanbelas, dinamakan "Naqsyabandiyah".
Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 10 H/16 M, pusat aktivitas Naqsyabandiyah dan daya tarik intelektualnya bergeser ke India. Sayyidi Syaikh Muaiyiduddin Muhammad Baqibillah, silsilah kedua puluh dua, yang lahir di Kabul (971 - 1012 H/1563 - 1603 M), berpetualang di Transoxiana, Samarqand, Bukhara, Kashmir dan sekitarnya, kemudian datang ke India.
Dalam suatu catatan, dia katakan "tengah membawa benih kesucian (dalam tarekat) dari Samarqand dan Bukhara dan menyemaikannya di tanah subur India." Dalam waktu singkat, lima tahun, dia mencurahkan perhatian yang sama kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dia sampaikan pesan silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para malik (tuan tanah) dan manshabdar (pejabat) dengan tingkat keefektifan yang sama. Penglihatannya tajam dalam memilih bakat terbaik di pelbagai area - dari kalangan tokoh politik Nawab Murtadha Khan, di kalangan kaum sufi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, dan dari kalangan ulama Syaikh Abd Al-Haqq - adalah murid-murid terkemuka Khawajah Muhammad Baqi.
Tarekat Naqsyabandiyah pada periode antara Syaikh Ubaidullah Al- Ahrar sampai Sayyidi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, silsilah kedua puluh tiga, dinamakan "Ahrariah". Periode antara Syaikh Ahmad Al-Faruqi sampai Sayyidi Syaikh Dhiyauddin Khalid Kurdi Al Usmani, silsilah kedua puluh sembilan, dinamakan "Mujaddidiah".
Lalu periode antara Syaikh Khalid Kurdi Al Usmani sampai dewasa ini dinamakan "Khalidiah", atau dikenal dengan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah.
Setelah itu, tarekat ini tidak mengalami perubahan penyebutan nama. Karena bagi para pengamal tasawuf di masa berikutnya, yang menjadi pusat perhatian adalah ilmu yang diajarkan dan sumber ilmu yang ditunjukkan pada untaian silsilah keguruan. Lalu, setelah Maulana Syaikh Khalid, silsilah keguruan berikutnya berturut-turut adalah Sayyidi Syaikh Abdullah Afandi, Sayyidi Syaikh Sulaiman Qarimi, kemudian Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi.
Pada Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi, yang berkedudukan di Jabal Qubaisy dan berada pada silsilah ketiga puluh dua, berguru murid-murid yang nanti menjadi penerusnya, yakni Syaikh Usman Fauzi (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh M. Hadi (Girikusumo - Jawa Tengah), putra beliau sendiri Sayyidi Syaikh Ali Ridho (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh Sulaiman (Huta Pungkut - Sumatera Barat), dan Sayyidi Syaikh Abdul Wahab Rokan (Babussalam-Aceh). Silsilah keguruan selanjutnya berada pada Sayyidi Syaikh Ali Ridho.
...sikap kepasrahan Abu Bakar As-Siddiq yang tinggi dijadikan sebagai teladan bagi para sufi.
Sekembali dari Jabal Qubaisy, Sayyidi Syaikh Sulaiman mengembangkan tarekat ini yang berpusat di Huta Pungkut-Sumatera Barat, dan mendapatkan murid yang sangat cemerlang, yakni Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Al-Khalidi (Buayan-Sumatera Barat). Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim melawat ke Jabal Qubaisy dan mendapatkan ijazah keguruan pada silsilah ketiga puluh empat. Selanjutnya kepada Sayyidi Syaikh Hasyim Al-Khalidi inilah Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berguru dan mendapatkan ijazah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dan pemegang silsilah ketiga puluh lima.
Selain dari Sayyidi Syaikh Hasyim, Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya juga mendapatkan ijazah keguruan dari Syaikh Abdul Majid (Batusangkar) dan Syaikh Syahbuddin (Sayurmatinggi) yang keduanya juga pemegang silsilah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah namun dari alur silsilah yang berbeda dengan Sayyidi Syaikh Hasyim.
Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah yang diwarisi dan diteruskan oleh Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berkembang pesat di Indonesia, Malaysia bahkan juga ada Amerika Serikat. Rumah-rumah wirid yang lazim disebut surau tumbuh berkembang hampir 700 tempat. (Baca Mozaik edisi April 2008).
Untuk mengelola tempat-tempat wirid yang tersebar itu, berikut mewadahi aktivitas sosial kemasyarakatannya, maka didirikan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya yang berpusat di Medan. Yayasan ini menaungi bidang ketarekatan dan lembaga pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
Selanjutnya ijazah keguruan Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, yang oleh para gurunya dijuluki "guru para cerdik pandai," diteruskan oleh putra pertama beliau Syaikh Drs. H. Iskandar Zulkarnain, SH.MH. Kemudian sekarang ini ijazah keguruan tersebut sampai pada putra kedua, Syaikh H. Abdul Khalik Fajduani, SH. Semenjak itu, nama tarekat dari jalur silsilah ini, lazim disebut Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dalam naungan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya.
Menurut uraian K.A. Nizami dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi (2003), Editor: Seyyed Hossein Nasr, sepanjang sejarahnya, Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua karakteristik menonjol yang menentukan peranan dan pengaruhnya; (1) Ketaatan yang ketat dan kuat pada Hukum Islam (syariat) dan Sunnah Nabi. (2) Upaya tekun untuk mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.
Tidak seperti tarekat-tarekat sufi lainnya, lanjut Nizami, Tarekat Naqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Sebaliknya, ia gigih melancarkan ikhtiar dengan pelbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pandangan mereka. "Raja adalah jiwa dan masyarakat adalah tubuh. Jika sang Raja tersesat, rakyat akan ikut tersesat." Demikian kutipan pesan yang dikatakan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi.*


Soal Rabithah, Alam Malakut dan Alam Jabarut
·  Rabithah adalah mengaitkan perjalanan ruhani dengan Mursyid atau Syeikh yang membimbing anda. Rabithah biasanya menjadi tradisi para Sufi ketika awal penempuhan perjalanan menuju kepada Allah, bisa melalui Tawassul ketika berdoa, atau hadiah surat Al-Fatihah kepada mereka. Namun cara ber-Rabithah pun juga ada aturannya sesuai dengan petunjuk Syeikhnya. Dalam rabithah seorang murid hendaknya tidak membayang-bayangkan wajah atau foto sang Syeikh atau sang Mursyid. Orientasinya hanya kepada Wajah Allah saja. Sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan, “kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah.” Bukan wajah makhluk Allah, atau wajah guru atau Mursyid.
·  Dalam Robithoh disebutkan mengenai at-Tashawwur bi-Shurotis Syeikh, yang artinya membayangkan gambar atau sosok guru, dimaksud sesungguhnya bukannya seseorang membayangkan wajah syeikh. Namun, ketika anda suluk dan berdzikir atau bertawajuh, tiba-tiba melintas – tanpa anda kehendaki— wajah guru, itulah yang disebut Tashawur bishuratis Syeikh. Bukan berusaha menghadirkan sosok Mursyid atau Syeikh.
Sebab jika anda sedang membayangkan wajah guru anda, lalu nyawa dicabut oleh Allah ketika itu, apakah anda tergolong Husnul Khotimah atau Su’ul Khotimah ?. Sebab di akhir hayat anda bukan Allah yang terbayang dalam ingatan anda, tetapi wajah makhluk Allah, yaitu Syeikh anda. Nah, renungkanlah!
·  Alam Malakut adalah tahap atau derajat ruhaniyah yang digambarkan sebagai alam atau wilayah kebajikan hakiki atau sejatinya rasa jiwa. Disanalah dunia Ruh hanya merindukan dan menghendaki Allah semata (tanzih), dan disanalah Alam Malakut itu menjadi taman jiwa yang hakiki, dengan keindahan Asma’ dan sifatNya Allah yang terpantul dalam hamparan Ruh kekasih Allah.
·  Sedangkan Alam Jabarut adalah Alam Ilahi yang menjadi hamparan Ma’rifatullah, dimana seluruh elemen satu dalam banyak dan banyak dalam satu, menjelma dalam penyucian tasbih kepada Allah semata. Dunia Rahasia Ilahi, itulah Alam Jabarut. Nah, di atas Alam Jabarut masih ada lagi Alam Lahut, Alam Hahut dan Bahut serta Ahut. (Maha Ghuyubul Ghuyub) . Wallahu A’lam.
Kita tidak diperintah untuk memasuki alam-alam itu. Dan anda jangan berambisi untuk memasukinya. Karena yang memasukkan ke alam-alam itu Allah jua. Bukan kehendak kita. 
Akhlakul Karimah Sebagai Manifestasi Ubudiyah
Menilik pada maknanya pengertian Ubudiyah secara umum dapat diterjemahkan sebagai Ibadah. Tetapi dalam makna yang lebih khusus Ubudiyah dapat dipahami sebagai ”Pengabdian”, yang tidak hanya ditujukan kepada Allah SWT semata tetapi juga harus mampu diterjemahkan lebih lanjut kedalam bentuk pengabdian kepada Islam, bangsa, dunia serta umat manusia dan kemanusiaan.

Macam-macam bentuk Ubudiyah
Bentuk Ubudiyah yang dapat kita persembahkan sebagai perwujudan pengabdian kita kepada Guru Waliyammursyida dapat dilakukan dengan banyak cara. Yang biasa dilakukan antara lain dalam bentuk membantu pekerjaan sang Mursyid, membangun surau atau tempat ibadah, menjaga dan merawat tempat Ibadah, dalam kata lain ber-karya dalam bentuk apapun selama hal itu bermanfaat bagi Islam dan Kemanusiaan. Yang perlu ditekankan adalah kualitas dari pengabdian tersebut, apakah pengabdian benar-benar dibangun diatas pondasi keikhlasan, ketulusan, kemurnian, tanpa dicemari oleh pamrih apapun kecuali hanya berlandaskan ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi.
Mengutip fatwa (alm) YM Buya pada peringatan haul ke 2 YM Ayahanda Guru tanggal 9 Mei 2003. ”Kebesaran thariqatullah, kekuatan metafisik Islam/teknologi Al Quran dalam tariqatullah yang diperlihatkan oleh YM Ayahanda Guru kita, seyogyanya telah membulatkan keyakinan dan kesadaran kita agar kita semua melaksanakan pengabdian kepada Allah. Tanpa pengabdian dan berkarya tentu hal tersebut tidak tercapai. Dalam berjuang mengemban amanah sebagai seorang hamba Allah YM Ayahanda Guru menetapkan mottonya yang menjiwai seluruh derap langlah beliau, yaitu: 1. Beribadatlah sebagaimana Nabi/Rasul beribadat 2. Berprinsiplah dalam hidup sebagai pengabdi 3. Berabdilah dalam mental sebagai pejuang 4. Berjuanglah dalam kegigihan dan ketabahan sebagai prajurit 5. Berkaryalah dalam pembangunan sebagai pemilik.”
 Ubudiyah sebagai pilihan Pengabdian
Dalam bingkai pemahaman Ubudiyah sebagai pengabdian dalam bentuk karya yang dipersembahkan, teringat akan salah satu fatwa YM Buya yang sangat menarik dan menyimpan makna yang sangat dalam, ”Maka dari itu, jangan sampai ujar-ujar ini terjadi pada kita, yaitu: Dahulu, ketika tiang-tiang suraunya dari kayu, ikhwannya berhati emas. Kini, ketika tiang suraunya telah dari emas, ikhwannya berhati kayu.
Sungguh dalam makna fatwa di atas dan bila kita cermati fatwa tersebut mengandung nilai-nilai Ubudiyah dalam bentuk lain yang bermuara pada ketinggian akhlak atau dengan kata lain akhlakul karimah dari ihwan yang menjadi penghuni surau.
Apakah keagungan dan ketinggian akhlak sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Agung Rasulullah Saw adalah juga mengandung makna Ubudiyah dalam bentuk lain? Bila pemahaman berikut kita sandarkan pada fatwa YM Buya di atas, tentu jawabannya adalah Ya!
Pada fatwa tersebut makna Ubudiyah/pengabdian dalam bentuk karya yang dilambangkan dengan tiang surau dari emas seolah menjadi kehilangan manfaat dan kesempurnaan mana kala kita tidak mampu mewujudkan pengabdian dalam menyempurnakan keagungan dan ketinggian akhlak kita yang dilambangkan dengan ikhwannya berhati kayu.
Hal itu sejalan dengan gerakan ”Islam Kaffah” dengan penekanan pada keagungan dan ketinggian akhlak/ akhlakul karimah yang tanpa kenal lelah secara terus menerus disosialisaikan oleh YM Abu sebagai manifestasi pengamalan perintah Allah dalam Al Quran (Al Baqarah : 208) ”Masuklah kamu semua ke dalam Islam secara keseluruhan.” Gerakan yang sekaligus mengembalikan pemahaman kethariqatan pada makna sebenarnya bahwa thariqat yang bernilai berdiri di atas syariat yang benar.


Akhlak
Yang dimaksud dengan akhlak/moral dalam pengertian umum adalah”sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat orang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik tersebut membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda”.
Dalam bingkai agama Islam, para ulama mendefinisikan akhlak/moral adalah ”suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawali berfikir panjang, merenung dan memaksakan diri, seperti kemarahan seseorang yang asalnya pemaaf, maka itu bukan akhlak. Demikian juga seorang bakhil, Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin dipandang orang, Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak”.
Pada awalnya terdapat perbedaan dimensi pemahaman mengenai definisi akhlak antara pemikir barat dengan ulama Islam, dimana pemikir barat lebih menitikberatkan pada pemahaman dunia sementara ulama Islam meliputi 2 dimensi pemahaman dunia dan akhirat.
Dalam perkembangannya dewasa ini baik pemikir barat ataupun ulama Islam memiliki kesamaan pemahaman bahwa pada dasarnya akhlak mencakup/meliputi 4 dimensi kehidupan manusia Fisik, Mental, Emosional dan Spiritual.
 Mengapa harus ber-akhlak?
Akhlak merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dengan Allah swt (hablumminallah) dan antar sesama (hablumminannas). Akhlak yang mulia (akhlakul karimah) tidak lahir begitu saja sebagai kodrat manusia, atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang serta manifetasi seumur hidup melalui pembelajaran/pendidikan akhlak yang sistematis bersifat menyeluruh meliputi 4 dimensi kehidupan.
Akhlak mulia yang dikontrol oleh nilai-nilai agama Islam dapat membuat seorang muslim mampu menjalankan tiga hal berikut dengan baik:
  • Dalam berinteraksi dengan Tuhannya, yaitu dengan akidah dan ibadah yang benar disertai dengan akhlak mulia.
  • Dalam berinteraksi dengan diri sendiri, yaitu dengan bersifat objektif, jujur, dan konsisten mengikuti manhaj Allah.
  • Dalam berinteraksi dengan orang-orang, yaitu dengan memberikan hak-hak mereka, amanah, menunaikan kewajiban sebagaimana yang ditetapkan oleh syariat.
Dengan kesuksesan dalam menjalani ketiga hal di atas, maka kita akan mendapatkan ridha dari Allah, dari diri sendiri dan dari orang lain/masyarakat. Dan dengan berpegang teguh pada nilai-nilai akhlak yang dibawa oleh Islam, maka kita mampu mencapai kesuksesan dunia akhirat.


Posisi Akhlak dalam Islam dan Ilmu Pengetahuan
Marilah kita merenung sejenak. Sejak dari awal belajar Islam kita sudah dikenalkan pada pokok keimanan dalam Islam; antara lain tentang bagaimana kita harus mengimani Muhammad Saw sebagai utusan Allah. Dialah teladan terbaik umat manusia, maka dekatkanlah diri kita, kehidupan dan nafas kita pada akhlak Nabi Muhammad Saw karena sesungguhnya geraknya adalah gambaran gerak dan nafas hidup mulia. Segala hal yang diperintahkan Allah sebagaimana tergurat di dalam Al Quran telah menyatu dalam kesadaran tindakannya. Bahkan Allah sendiri memujinya. ”Sesungguhnya, engkau (wahai Muhammad) adalah benar-benar menampilkan akhlak yang agung” (QS Al-Qalam : 4)
 Ketinggian dan kesempurnaan akhlak Nabi Muhammad Saw sangatlah memukau, agung dan mampu mempesona tidak saja umat Islam bahkan kaum non Islam sekalipun. Seorang pemikir barat George Bernard Shaw pernah mengatakan. ” Saya telah mempelajari kehidupan Muhammad yang betul-betul mengagumkan…Saya yakin sekali, orang seperti dia jika diserahi untuk memimpin dunia modern, tentu berhasil menyelesaikan segala persoalan dengan cara yang dapat membawa dunia ke dalam kesejahteraan dan kebahagiaan. Saya berani meramalkan bahwa akidah yang dibawa Muhammad akan diterima baik di Eropa kemudian hari.
 Posisi akhlak dalam Islam adalah dapat di ibaratkan sebagai fondasi yang melandasi sebuah konstruksi bangunan yang bernama ”Kesuksesan Dunia Akhirat ” bagi setiap manusia sebagai hamba Allah.
 Dalam pandangan ilmu pengetahuan akhlak dapat memberi konstribusi yang sangat besar dalam menunjang prestasi/produktifitas. Memang banyak orang yang merasa bahwa tidak ada kaitan secara nyata antara prestasi/produktifitas dengan akhlak, jelas ini merupakan pandangan yang keliru. Bila kita memahami secara sungguh-sungguh nilai-nilai akhlak mulia/akhlakul karimah, maka kita akan menemukan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai yang dapat saling bersinergi dalam menumbuh kembangkan potensi manusia kita.
 Dengan pemahaman seperti ini bayangkan betapa indahnya kombinasi antara keagungan/kemuliaan akhlak seorang hamba Allah dengan ketinggian produktifitas dan efektifitasnya dalam berkarya. Terlebih apabila kombinasi tersebut disertai dengan aktifitas ruhaniyah/spiritual dalam bingkai tarekat yang benar dan hak melalui bimbingan seorang wali yang Mursyid, maka dapatlah dipastikan bahwa kita akan menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan mendapatkan kemenangan dunia akhirat. Inilah kemenangan dalam makna hakikat yang sebenarnya!
 Bagaimana agar dapat ber-Akhlakul karimah
Pertanyaan mendasar apabila kita mencermati pernyataan di atas adalah, mampukah kita mengikuti/mentauladani perilaku Rasulullah saw dalam ber-akhlakul karimah? Seorang pemikir barat Marianne Williamson dengan indahnya menyatakan bahwa, ketakutan kita yang paling dalam bukanlah bahwa kita ini tidak mampu. Sebaliknya, ketakutan kita yang paling dalam adalah bahwa kita amat sangat berpotensi/berkuasa untuk mampu. Mengingat kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan yang dilahirkan dengan potensi/kemampuan yang sangat luar biasa.

Mengingat kodrat manusia tersebut, maka masalahnya adalah bukan bagaimana memasukkan pemikiran-pemikiran baru tentang akhlak ke dalam kepala kita, tetapi bagaimana kita mampu mengeluarkan dan mengoptimalkan pemikiran-pemikiran lama sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Berikut tips bagaimana kita ber-akhlakul karimah, yang terdiri dari 1 pemahaman inti dan 3 langkah konkret:
Pemahaman Inti, Tanamkan, dedikasikan secara sungguh-sungguh dalam pemikiran dasar/mind set kita untuk ”Dahulukan nurani dari ego!”
 3 langkah konkret,
1. Fahami secara mendasar nilai-nilai akhlakul karimah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw.
2. Ajarkan kepada orang lain dalam setiap kesempatan mengenai hal-hal yang kita fahami mengenai akhlakul karimah tersebut.
3. Secara sistematik dan sungguh-sungguh menerapkan/ melaksanakan hal-hal yang difahami tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana pada lingkungan yang paling dekat dan bersifat privat, serta segerakan mulai dari saat ini.
 Dengan pemahaman dan langkah-langkah tersebut diharapkan dapat tercipta suatu kebiasaan yang pada akhirnya bila kita lakukan secara konsisten maka akan terbentuk karakter/integritas akhlakul karimah dalam diri kita.
Selanjutnya dengan implementasi akhlakul karimah/akhlak mulia maka jaminannya adalah kita akan menjadi mukmin sempurna/pribadi unggul dan mendapatkan kemenangan dunia akhirat. Adapun ganjaran mukmin sempurna adalah:
1. Terhormat di mata Allah
2. Terhormat di mata masyarakat
3. Terhormat di mata diri sendiri
 Fenomena keagungan akhlak pada jaman Rasulullah SAW
Berikut salah satu kisah yang pantas menjadi tauladan bagi kita pada masa Rasulullah SAW.
Salah seorang sahabat nabi yang terkenal dengan kealiman (tinggi ilmu) dan kezuhudannya (sederhana), Abdullah bin Umar suatu ketika bertemu dengan seorang pengembala kambing ditengah padang pasir yang tandus, muncul keingintahuannya untuk mengetahui apakah ajaran Islam dalam bingkai akhlak mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sampai ke tengah padang pasir yang sangat terpencil tersebut?
Setelah mengucapkan salam, Abdullah bin Umar berkata kepada pengembala yang masih bocah itu. ”Hai pengembala, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembala ini.Bekalku sudah habis.”
 ”Maaf Tuan, aku hanyalah seorang budak yang mengembalakan kambing-kambing ini. Aku tidak bisa menjualnya. Ini bukan milikku tapi milik majikanku.” Jawab pengembala itu.
”Ah itu masalah yang mudah. Begini, kau jual seekor saja kambingmu padaku. Kambing yang kau jaga ini sangat banyak, tentu akan sangat sulit bagi tuanmu untuk menghitung jumlahnya. Atau kalaupun dia tahu ada sesekor kambing yang berkurang, bilang saja telah dimangsa srigala padang pasir. Mudah sekali, bukan? Kau pun bisa menikmati uangnya.” Bujuk Abdullah bin Umar dengan serius.
 ”Lalu, di mana Allah? Majikanku memang tidak akan tahu dan bisa saja dibohongi, tetapi ada Dzat Mahatahu, yang pasti melihat apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak ada?” Jawab pengembala itu mantap.
Sungguh jawaban itu membuat Abdullah bin Umar tersentak kaget. ”Aku tidak diberi kuasa oleh majikanku untuk menjual kambing ini. Aku hanya diperbolehkan mengembalanya dan meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan memberi minum para musafir yang kehausan.”
 ”Minumlah Tuan, kulihat anda kehausan. Jika masih kurang bisa tambah. Jangan kuatir, susu ini halal. Allah tahu ini halal sebab pemiliknya menyuruhku memberinya pada musafir yang kehausan.” Tutur pengembala dengan wajah ramah.
Abdullah bin Umar meminum susu itu dengan perasaan terharu. Dia minum sampai rasa hausnya hilang. Setelah itu, dia mohon diri.
 Dijalan, dia tidak bisa menyembunyikan tangisnya, teringat kata-kata pengembala itu, ”Di mana Allah? Apakah kau kira Allah tidak ada?” Dia menangis mengingat seorang bocah pengembala kambing di tengah padang pasir yang pakaiannya kumal, ternyata memiliki rasa takwa yang begitu dalam. Dia memiliki kejujuran yang tinggi. Hatinya menyinari keimanan.
 Akhlaknya sungguh mulia. Sesungguhnya ajaran Rasulullah telah terpatri dalam jiwanya. Abdullah bin Umar terus melangkahkan kakinya sambil bercucuran air mata. Sepantasnyalah seorang manusia yang berakhlak mulia dan memiliki ketakwaan kapada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba sahaya manusia. Dia hanya pantas menjadi hamba Allah Swt!
Selanjutnya Abdullah bin Umar membeli budak itu dan langsung memerdekakannya.
 Akhlakul karimah sebagai Ubudiyah
Berdasarkan pembahasan sebelumnya menjadi jelaslah bagi kita bagaimana posisi aklakul karimah dalam Ubudiyah. Bahwa kagungan dan ketinggian akhlak kita merupakan manifestasi lain dalam Ubudiyah/pengabdian pribadi kita sebagai hamba Allah.
Lalu kalau demikian mengapa kita tidak berupaya dengan sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas akhlak kita? Berupaya secara konsisten melakukan improvement untuk meninggikan dan menagungkan akhlak kita sebagaimana dicerminkan olah Rasulullah? Sementara kesadaran dalam diri kita mengatakan bahwa salah satu bentuk terbaik dari persembahan kepada sang Guru dalam pemahaman thareqat adalah Ubudiyah/Pengabdian!
 Karena sesungguhnya berdasarkan cerita dan pengalaman para ihwan yang secara ikhlas dan sungguh-sungguh mengabdikan dirinya pada jalan Allah, telah banyak pembuktian bahwa memang Tuhan tidak mau kalah budi dengan umatnya. Bahwa apa yang kita abdikan dan sumbangsihkan kepada jalan Allah melalui pengabdian kita kepada Mursyid dan ajarannya pasti akan terbayar! Tidak akan pernah membuat kita tertinggal apalagi sia-sia!
 Pada dasarnya nilai-nilai akhlak mulia (Akhlakul karimah) yang dibawa Islam-jika diamalkan secara konsisten dan penuh rasa tanggung jawab-mampu menjawab problematika yang sedang diderita umat Islam saat ini, baik permasalahan sosial, politik maupun ekonomi. Sejarah merupakan bukti konkret hal ini, bagaimana umat Islam dalam masyarakat Madinah pada zaman Rasulullah Saw menjadi masyarakat yang begitu mengagumkan dan tetap menjadi tauladan serta tolok ukur sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, jika nilia-nilai akhlak tersebut dilaksanakan maka hari ini dan hari depan akan menjadi saksi kebenarannya.
 Perilaku |Produk|Hasil / Output|Dampak
 Ber-Akhlakul karimah mampu mengilhami orang lain
Dengan terwujudnya perilaku berdasarkan nilai-nilai akhlakul karimah yang tercermin pada keagungan dan ketinggian budi pekerti pribadi-pribadi muslim tersebut, manakala hal itu dilakukan secara konsisten dan terus menerus, pada akhirnya dapat dipastikan bahwa pancaran cahaya dari dalam diri pribadi itu akan mampu menyinari sekelilingnya. Mampu menjadi pendorong terciptanya perubahan bagi orang lain dan lingkungannya, menjadi pribadi-pribadi unggul sebagaimana dirinya.
Sejalan dengan fatwa YM Ayahanda Guru, bahwa murid-murid tareket Naqsyabandiyah di seluruh muka bumi ini adalah laksana batu tawajjuh yang dapat memberikan perubahan, keberkahan dan terbukanya hijab untuk menerima petunjuk bagi siapa saja yang berada dalam lingkungan serta berinteraksi dengannya. 
Dengan demikian setiap pribadi muslim pada umumnya dan khususnya ihwan pengamal tareket naksyabandiyah YM Ayahanda Guru mampu menjadi Agent of Change bagi orang lain , laksana virus yang menyebarkan nilai-nilai kebaikan sehingga akhlak mulia/akhlakul karimah benar-benar dapat menciptakan suatu kominitas/lingkungan dan pada akhirnya suatu negara sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah Saw dan para sahabat beliau yang telah terbukti oleh sejarah bahwa ketinggian akhlak kaum mukmin pada masa Rasulullah mampu menciptakan masyarakat yang ’baldatun toyibatun wa rabbun ghoffuur”.
 Berikut sepenggal kisah keagungan dan ketinggian akhlak beliau yang sangat berharga untuk kita renungkan. Betapa konsistensi beliau terhadap nilai-nilai kemuliaan akhlak bahkan sampai menjelang wafat sekalipun.
Saat itu menjelang wafat, beliau mengumpulkan para sahabat, lalu beliau menyampaikan fatwa singkat.
”Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku adalah Nabimu, pemberi nasihat dan yang mengajak kepada Allah dengan seizin-Nya. Bagimu, aku tak berdaya seperti saudara seayah dan seibu. Siapa diantara kamu yang pernah kusakiti, bangkitlah dan balaslah aku sebelum datang pembalasan di hari kiamat nanti.”
 Awalnya, tak ada tanggapan dari para sahabat, hingga ketiga kalinya Nabi Saw nampak marah sembari berteriak. ”Ayo, siapa yang pernah kusakiti bangkitlah, balaslah aku…ambil qisasnya pada diriku!”
Pada saat itulah Ukasyah, salah seorang sahabat Nabi yang hadir pada saat itu, bangkit dan berkata, ”Wahai Rasulullah, demi ayah ibuku yang menjadi tebusannya. Jika engkau tidak menyerukan hal itu hingga tiga kali, tentu tidak ada seorangpun yang dapat mendorong aku untuk menghadapmu.”
 ”Apa keinginanmu ya Ukasyah?” tanya Nabi.
”Begini Baginda, pada saat perang Badar, tiba-tiba saja unta yang kutunggangi lepas kendali dan mendahului unta Baginda, sehingga aku keluar barisan. Aku turun mendekat kepada Baginda. Saat itulah tiba-tiba baginda mengayunkan cambuk ketubuhku. Aku tidak tahu, apakah Baginda sengaja memukulku atau memukul unta.” 
Meski motifnya belum jelas, Rasulullah segera mengambil sikap tegas, balasan harus ditunaikan. Beliau meminta Bilal untuk megambil cambuk dirumah Fatimah. Dengan tegopoh-gopoh Bilal kembali ke majelis dengan membawa cambuk, lalu diserahkan kepada Ukasyah. Ukasyah pun siap menunaikan qisas. Abu Bakar r.a dan Umar r.a. dua sahabat setia Rasulullah segera bangkit menghadangnya. ”Hai Ukasyah, sekarang kami dihadapanmu, ambillah qisasmu dari kami. Sedikitpun kami tidak rela kamu mengambil qisas kepada Rasul.” Tetapi Rasulullah menenangkan mereka dan meminta mereka untuk kembali duduk.
 Tidak hanya Abu Bakar dan Umar, sahabat yang lainpun Ali serta Hasan dan Husein juga maju meminta hal yang sama kepada Ukasyah. Namun Rasulullah kembali menenanangkan mereka. Nabi kemudian meminta Ukasyah untuk segera melaksanakan qisas. ”Ukasyah, cambuklah aku. Lakukan jika aku pernah benar-benar melakukan kesalahan padamu.”
”Ya Rasul, ketika engkau memukulku, saat itu aku tidak memakai baju.” Jelas Ukasyah. Rasulullah pun langsung menuruti, dibukanya baju beliau. Begitu melihat Rasul tidak mengenakan bajunya, para sahabat menangis histeris. Ukasyah sendiri bergetar hatinya, meremang bulu kuduknya dan larut dalam keagungan serta kebesaran jiwa Nabi dihadapannya. Saat itulah dia melakukan keanehan, tidak melakukan qisas, tetapi justru menubruk tubuh Rasulullah seraya mencium kulit bagian perutnya sampil menangis sejadi-jadinya.
 ”Subhaanakaallahumma wabihamdika, Asyhadu al-laa ilaahailla Anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaik.” ”Maha suci Engkau ya Allah. Dengan memuji-Mu saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau. Saya memohon ampun dan bertobat kepada-Mu.”
Tarekat/Tariqat/Tariqah Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Dagestan, Russia.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani ("Pembaru Milenium kedua"). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari'at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari[rujukan?], serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).[rujukan?]
Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshband Bukhari. Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai "pembuat gambar", "pembuat hiasan". Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai "Jalan Rantai", atau "Rantai Emas". Perlu dicatat pula bahwa dalam Tarekat Naqsyabandiyah, silsilah spiritualnya kepada Nabi Muhammad adalah melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, sementara kebanyakan tarekat-tarekat lain silsilahnya melalui khalifah Hadhrat Sayyidina Ali bin Abu Thalib Karramallahu Wajhahu.
'idhznya Yang Berke'== PENDIRI TARIQAT NAQSHBANDIYAH ==
BELIAU adalah Imam Tariqat Hadhrat Khwajah Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah ‘alaih, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masihi iaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14 Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara. Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi Rahmatullah ‘alaih dan seterusnya menerima rahsia-rahsia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal Rahmatullah ‘alaih. Ia menerima limpahan Faidhz dari Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menerusi Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang telah 200 tahun mendahuluinya secara Uwaisiyah.
Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”
Suara itu menakutkan daku hingga menyebabkan daku lari keluar dari rumah. Daku berlari ke sebuah sungai dan terjun ke dalamnya. Daku membasuh pakaianku lalu mendirikan Solat dua raka’at dalam keadaan yang tidak pernah daku alami, dengan merasakan seolah-olah daku sedang bersalat dalam kehadiranNya. Segala-galanya terbuka dalam hatiku secara Kashaf. Seluruh alam lenyap dan daku tidak menyedari sesuatu yang lain melainkan bersalat dalam kehadiranNya.
Aku telah ditanya pada permulaan penarikan tersebut, “Mengapa kau ingin memasuki jalan ini?”
Aku menjawab, “Supaya apa sahaja yang aku katakan dan kehendaki akan terjadi.”
Aku dijawab, “Itu tidak akan berlaku. Apa sahaja yang Kami katakan dan apa sahaja yang Kami kehendaki itulah yang akan terjadi.”
Dan aku pun berkata, “Aku tidak dapat menerimanya, aku mesti diizinkan untuk mengatakan dan melakukan apa sahaja yang aku kehendaki, ataupun aku tidak mahu jalan ini.”
Lalu daku menerima jawapan, “Tidak! Apa sahaja yang Kami mahu ianya diperkatakan dan apa sahaja yang Kami mahu ianya dilakukan itulah yang mesti dikatakan dan dilakukan.”
Dan daku sekali lagi berkata, “Apa sahaja yang ku katakan dan apa sahaja yang ku lakukan adalah apa yang mesti berlaku.”
Lalu daku ditinggalkan keseorangan selama lima belas hari sehingga daku mengalami kesedihan dan tekanan yang hebat, kemudian daku mendengar satu suara, “Wahai Bahauddin, apa sahaja yang kau mahukan, Kami akan berikan.”
Daku amat gembira lalu berkata, “Aku mahu diberikan suatu jalan Tariqat yang akan menerajui sesiapa jua yang menempuhnya terus ke Hadhrat Yang Maha Suci.” Dan daku telah mengalami Musyahadah yang hebat dan mendengar suara berkata, “Dikau telah diberikan apa yang telah dikau minta.”
Beliau telah menerima limpahan Keruhanian dan prinsip dasar Tariqat Naqshbandiyah dari Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih yang terdiri dari lapan perkara iaitu:
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga lagi prinsip menjadikannya sebelas iaitu:
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Jalan Tariqat kami adalah sangat luarbiasa dan merupakan ‘Urwatil Wutsqa (Pegangan Kukuh), dengan berpegang teguh secara sempurna dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Mereka telah membawa daku ke jalan ini dengan Kekurniaan. Dari awal hingga ke akhir daku hanya menyaksikan Kekurniaan Allah bukan kerana amalan. Menerusi jalan Tariqat kami, dengan amal yang sedikit, pintu-pintu Rahmat akan terbuka dengan menuruti jejak langkah Sunnah Baginda Rasulullah Sallahllu ‘Alaihi Wasallam.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih mempunyai dua orang Khalifah besar iaitu Hadhrat Khwajah ‘Alauddin ‘Attar Rahmatullah ‘alaih dan Hadhrat Khwajah Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, pengarang kitab Risalah Qudsiyyah.
Dia adalah ibarat lautan ilmu yang tak bertepi dan dianugerahkan dengan mutiara-mutiara hikmah dari Ilmu Laduni. Dia menyucikan hati-hati manusia dengan lautan amal kebaikan. Dia menghilangkan haus sekelian Ruh dengan air dari pancuran Ruhaniahnya.
Dia amat dikenali oleh sekelian penduduk di langit dan di bumi. Dia ibarat bintang yang bergemerlapan yang dihiasi dengan mahkota petunjuk. Dia mensucikan Ruh-Ruh manusia tanpa pengecualian menerusi napasnya yang suci. Dia memikul cahaya Kenabian dan pemelihara Syari’at Muhammadiyah serta rahsia-rahsia MUHAMMADUR RASULULLAH.
Cahaya petunjuknya menerangi segala kegelapan kejahilan Raja-raja dan orang awam sehingga mereka pun datang berdiri di pintu rumahnya. Cahaya petunjuknya juga meliputi seluruh Timur dan Barat, Utara dan Selatan. Dia adalah Ghauts, Sultanul Auliya dan rantai bagi sekelian permata Ruhani.
Semoga Allah Merahmatinya Dan Mengurniakan Limpahan Fakalan Kepada Kita. Amin.
Daftar isi
KEKHUSUSAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH
HADHRAT Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih yang merupakan salah seorang dari Para Masyaikh Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH telah berkata di dalam surat-suratnya yang terhimpun di dalam Maktubat Imam Rabbani, “Ketahuilah bahawa thoriqoh yang paling Aqrab dan Asbaq dan Aufaq dan Autsaq dan Aslam dan Ahkam dan Asdaq dan Aula dan A’la dan Ajal dan Arfa’ dan Akmal dan Ajmal adalah Tariqah ‘Aliyah Naqshbandiyah, semoga Allah Ta’ala mensucikan roh-roh ahlinya dan mensucikan rahsia-rahsia Para Masyaikhnya. Mereka mencapai darjat yang tinggi dengan berpegang dan menuruti Sunnah Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menjauhkan dari perkara Bida’ah serta menempuh jalan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Mereka berjaya mencapai kehadiran limpahan Allah secara berterusan dan syuhud serta mencapai maqam kesempurnaan dan mendahului mereka yang lain.”
Adapun Hadhrat Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Rahmatullah ‘alaih telah menerangkan kelebihan dan keunggulan THORIQOH NAQSYABANDIYAH dengan beberapa lafaz yang ringkas dan padat adalah menerusi pengalaman keruhaniannya. Ia merupakan seorang pembaharu agama (Mujaddid/Reformer) pada abad ke 11 Hijrah. Sebelum beliau menerima Silsilah THORIQOH NAQSYABANDIYAH beliau telah menempuh beberapa jalan Tariqat seperti Chishtiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah dan beberapa Tariqat yang lain dengan cemerlang serta memperolehi Khilafah dan Sanad Ijazah. Ia telah menerima Tariqat Silsilah ‘Aliyah Khwajahganiyah Naqshbandiyah dari gurunya Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Beliau telah berpendapat bahawa dari kesemua jalan Tariqat, yang paling mudah dan paling berfaedah adalah THORIQOH NAQSYABANDIYAH dan telah memilihnya serta telah menunjukkan jalan ini kepada para penuntut kebenaran.
“Allahumma Ajzahu ‘Anna Jaza An Hasanan Kafiyan Muwaffiyan Li Faidhanihil Faidhi Fil Afaq”
Terjemahan: “Wahai Allah, kurniakanlah kepada kami kurnia yang baik, cukup lagi mencukupkan dengan limpahan faidhznya yang tersebar di Alam Maya.”
Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih telah bersujud selama lima belas hari di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan penuh hina dan rendah diri, berdoa memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ditemukan dengan jalan Tariqat yang mudah dan senang bagi seseorang hamba bagi mencapai Zat Maha Esa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengkabulkan doanya dan menganugerahkan Tariqat yang khas ini yang masyhur dengan nisbat Naqshband atau digelar Naqshbandiyah.
Naqsh bererti lukisan, ukiran, peta atau tanda dan Band pula bererti terpahat, terlekat, tertampal atau terpateri. Naqshband pada maknanya bererti “Ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan kalimah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di hati sanubari sehingga ianya benar-benar terpahat di dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah. Adalah dikatakan bahawa Hadhrat Shah Naqshband tekun mengukirkan Kalimah Allah di dalam hatinya sehingga ukiran kalimah tersebut telah terpahat di hatinya. Amalan zikir seumpama ini masih diamalkan dalam sebilangan besar Tariqat Naqshbandiyah iaitu dengan menggambarkan Kalimah Allah dituliskan pada hati sanubari dengan tinta emas atau perak dan membayangkan hati itu sedang menyebut Allah Allah sehingga lafaz Allah itu benar-benar terpahat di lubuk hati.
Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah ini dinisbatkan kepada Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang mana telah disepakati oleh sekalian ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai sebaik-baik manusia sesudah Para Nabi ‘Alaihimus Solatu Wassalam. Asas Tariqat ini adalah seikhlas hati menuruti Sunnah Nabawiyah dan menjauhkan diri dari segala jenis Bida’ah merupakan syarat yang lazim.
Tariqat ini mengutamakan Jazbah Suluk yang mana dengan berkat Tawajjuh seorang Syeikh yang sempurna akan terhasillah kepada seseorang penuntut itu beberapa Ahwal dan Kaifiat yang dengannya Zauq dan Shauq penuntut itu bertambah, merasakan kelazatan khas zikir dan ibadat serta memperolehi ketenangan dan ketenteraman hati. Seseorang yang mengalami tarikan Jazbah disebut sebagai Majzub.
Dalam THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini, penghasilan Faidhz dan peningkatan darjat adalah berdasarkan persahabatan dengan Syeikh dan Tawajjuh Syeikh. Bersahabat dengan Syeikh hendaklah dilakukan sebagaimana Para Sahabat berdamping dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Murid hendaklah bersahabat dengan Syeikh dengan penuh hormat. Sekadar mana kuatnya persahabatan dengan Syeikh, maka dengan kadar itulah cepatnya seseorang itu akan berjalan menaiki tangga peningkatan kesempurnaan Ruhaniah. Kaedah penghasilan Faidhz dalam Tariqat ini adalah sepertimana Para Sahabat menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majlis Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkat dengan hati yang benar dan ikhlas serta penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majlis Hadharat Naqshbandiyah, dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan maqam Syuhud dan ‘Irfan yang hanya akan diperolehi setelah begitu lama menuruti jalan-jalan Tariqat yang lain.
Kerana itulah Para Akabirin THORIQOH NAQSYABANDIYAH Rahimahumullah mengatakan bahawa, “Tariqat kami pada ‘Ain hakikatnya merupakan Tariqat Para Sahabat”.
Dan dikatakan juga, “Dar Tariqah Ma Mahrumi Nest Wa Har Keh Mahrum Ast Dar Tariqah Ma Na Khwahad Aamad.” Yang bermaksud, “Dalam Tariqat kami sesiapa pun tidak diharamkan dan barangsiapa yang telah diharamkan dalam Tariqat kami pasti tidak akan dapat datang.”
Yakni barangsiapa yang menuruti THORIQOH kami, dia takkan diharamkan dari menurutinya dan barangsiapa yang Taqdir Allah semenjak azali lagi telah diharamkan dari menuruti jalan ini, mereka itu sekali-kali takkan dapat menurutinya.
Di dalam THORIQOH NAQSYABANDIYAH, Dawam Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci yang mana di sisi Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para Sufiyah ianya disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau ‘Ainul Yaqin. Ianya merupakan hakikat:
“Bahawa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Nya”.
   Semoga Allah Mengurniakan Kita Taufiq.
PERKEMBANGAN THORIQOH NAQSYABANDIYAH
ADAPUN gelaran nama THORIQOH NAQSYABANDIYAH ini mula masyhur di zaman Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih. Menurut Hadhrat Syeikh Najmuddin Amin Al-Kurdi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Tanwirul Qulub bahawa nama Tariqat Naqshbandiyah ini berbeza-beza menurut zaman.
Di zaman Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu sehingga ke zaman Hadhrat Syeikh Taifur Bin ‘Isa Bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih dinamakan sebagai Shiddiqiyyah dan amalan khususnya adalah Zikir Khafi.
Di zaman Hadhrat Syeikh Taifur bin ‘Isa bin Abu Yazid Bustami Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan Taifuriyah dan tema khusus yang ditampilkan adalah Cinta dan Ma’rifat.
Kemudian di zaman Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dinamakan sebagai Khwajahganiyah. Pada zaman tersebut Tariqat ini telah diperkuatkan dengan lapan prinsip asas Tariqat iaitu Yad Kard, Baz Gasyt, Nigah Dasyat, Yad Dasyat, Hosh Dar Dam, Nazar Bar Qadam, Safar Dar Watan dan Khalwat Dar Anjuman.
Kemudian pada zaman Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Bukhari Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ini mulai masyhur dengan nama Naqshbandiyah. Hadhrat Imam At-Tariqah Khwajah Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menambah tiga asas sebagai penambahan dari Hadhrat Khwajah Khwajahgan ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani.
Pada zaman Hadhrat Khwajah ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih sehingga ke zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini dikenali dengan nama Ahrariyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Khwajah Muhammad Baqi Billah Rahmatullah ‘alaih.
Bermula dari zaman Hadhrat Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih Tariqat ini mula dikenali sebagai Mujaddidiyah dan ilmu tentang Lataif Fauqaniyah dan Daerah Muraqabah pun diperkenalkan. Semenjak itu Tariqat ini mulai dikenali dengan nama Naqshbandiyah Mujaddidiyah sehinggalah ke zaman Hadhrat Mirza Mazhar Jan Janan Syahid Rahmatullah ‘alaih.
Kemudian Tariqat ini dikenali dengan nama Mazhariyah sehingga ke zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih.
Pada zaman Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, seorang Syeikh dari Baghdad yang bernama Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih telah datang ke Delhi sekembalinya beliau dari Makkah untuk berbai’ah dengan Hadhrat Qutub Al-Auliya Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih setelah beliau menerima isyarah dari Ruhaniah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengambil Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah ini dan beliau telah membawanya ke negara Timur Tengah.
Hadhrat Syeikh Dhziauddin Muhammad Khalid ‘Uthmani Kurdi Al-Baghdadi Rahmatullah ‘alaih mula memperkenalkan amalan Suluk iaitu Khalwat Saghirah dan Tariqat ini mula dikenali sebagai Naqshbandiyah Khalidiyah di Timur Tengah khususnya di Makkah dan tersebar di kalangan jemaah Haji dari rantau Nusantara dan tersebarlah ia di serata Tanah Melayu dan Indonesia. Walaubagaimanapun di Tanah Hindi, Tariqat ini masih dikenali sebagai Tariqat Naqshbandiyah Mujaddidiyah.
Adapun Para Masyaikh Mutaakhirin yang datang sesudah itu sering menambahkan nama nisbat mereka sendiri untuk membezakan Silsilah antara satu dengan yang lain seperti Naqshbandiyah Khalidiyah dan Naqshbandiyah Mujaddidiyah. Silsilah Naqshbandiyah ini telah berkembang biak dari Barat hingga ke Timur. Meskipun Silsilah ini telah dikenali dengan beberapa nama yang berbeza, namun ikatan keruhanian dari rantaian emas yang telah dipelopori oleh Hadhrat Khalifah Rasulullah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu ‘Anhu akan tetap berjalan sehingga ke Hari Qiyamat menerusi keberkatan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kurniakan kepada sekelian Para Masyaikh yang ditugaskan menyambung Silsilah ini.
Dalam perjalanan mencapai kebenaran yang hakiki, terdapat dua kaedah jalan yang biasa diperkenalkan oleh Para Masyaikh Tariqat, iaitu sama ada sesebuah Tariqat itu menuruti Tariqat Nafsani ataupun Tariqat Ruhani.
Tariqat Nafsani mengambil jalan pendekatan dengan mentarbiyahkan Nafs dan menundukkan keakuan diri. Nafs atau keakuan diri ini adalah sifat Ego yang ada dalam diri seseorang. Nafs dididik bagi menyelamatkan Ruh dan jalan Tariqat Nafsani ini amat sukar dan berat kerana Salik perlu melakukan segala yang berlawanan dengan kehendak Nafs. Ianya merupakan suatu perang Jihad dalam diri seseorang Mukmin. Tariqat Ruhani adalah lebih mudah yang mana pada mula-mula sekali Ruh akan disucikan tanpa menghiraukan tentang keadaan Nafs. Setelah Ruh disucikan dan telah mengenali hakikat dirinya yang sebenar, maka Nafs atau Egonya dengan secara terpaksa mahupun tidak, perlu menuruti dan mentaati Ruh.
Kebanyakan jalan Tariqat yang terdahulu menggunakan pendekatan Tariqat Nafsani, namun berbeza dengan Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah, mereka menggunakan pendekatan Tariqat Ruhani iaitu dengan mentarbiyah dan mensucikan Ruh Para Murid mereka terlebih dahulu, seterusnya barulah mensucikan Nafs.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memimpin kita ke jalan Tariqat yang Haq, yang akan membawa kita atas landasan Siratul Mustaqim sepertimana yang telah dikurniakanNya nikmat tersebut kepada Para Nabi, Para Siddiqin, Para Syuhada dan Para Salihin. Mudah-mudahan dengan menuruti Tariqat yang Haq itu dapat menjadikan kita insan yang bertaqwa, beriman dan menyerah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Seorang Penyair Sufi pernah berkata,
Seseorang yang berasa lemah dari mendapat kefahaman adalah seorang yang mengerti; Dan berhenti dalam menjalani perjalanan orang-orang yang berkebaikan adalah suatu Syirik.
Apa maksudnya???
ALLAH HUWA ALLAH HAQQ ALLAH HAYY
Riwayat Thoriqoh
THORIQOH merupakan intipati pelajaran Ilmu Tasawwuf yang mana dengannya seseorang itu dapat menyucikan dirinya dari segala sifat-sifat yang keji dan menggantikannya dengan sifat-sifat Akhlaq yang terpuji. Ia juga merupakan Batin bagi Syari’at yang mana dengannya seseorang itu dapat memahami hakikat amalan-amalan Salih di dalam Agama Islam.
Ilmu Tariqat juga merupakan suatu jalan yang khusus untuk menuju Ma’rifat dan Haqiqat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia termasuk dalam Ilmu Mukasyafah dan merupakan Ilmu Batin, Ilmu Keruhanian dan Ilmu Mengenal Diri. Ilmu Keruhanian ini adalah bersumber dari Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang diwahyukan kepada Hadhrat Jibrail ‘Alaihissalam dan diwahyukan kepada sekelian Nabi dan Rasul khususnya Para Ulul ‘Azmi dan yang paling khusus dan sempurna adalah kepada Hadhrat Baginda Nabi Besar, Penghulu Sekelian Makhluk, Pemimpin dan Penutup Sekelian Nabi dan Rasul, Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Alihi Wa Ashabihi Wasallam.
Kemudian ilmu ini dikurniakan secara khusus oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada dua orang Sahabatnya yang unggul iaitu Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma. Melalui mereka berdualah berkembangnya sekelian Silsilah Tariqat yang muktabar di atas muka bumi sehingga ke hari ini.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengurniakan Ilmu Keruhanian yang khas kepada Hadhrat Salman Al-Farisi Radhiyallahu ‘Anhu.
Di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Tabi’in yang bernama Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu juga telah menerima limpahan Ilmu Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam meskipun dia berada dalam jarak yang jauh dan tidak pernah sampai ke Makkah dan Madinah bertemu Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan beliau hidup pada suatu zaman yang sama dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Pada tahun 657 Masihi Hadhrat Uwais Al-Qarani Radhiyallahu ‘Anhu Wa Rahmatullah ‘Alaih telah membangunkan suatu jalan Tariqat yang mencapai ketinggian yang terkenal dengan Nisbat Uwaisiyah yang mana seseorang itu boleh menerima limpahan Keruhanian dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sekelian Para Masyaikh Akabirin meskipun pada jarak dan masa yang jauh.
Di dalam kitab ‘Awariful Ma’arif ada dinyatakan bahawa di zaman Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hadhrat Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq dan Hadhrat Sayyidina ‘Ali Ibni Abi Talib Radhiyallahu ‘Anhuma telah menghidupkan perhimpunan jemaah-jemaah dimana upacara Bai’ah dilakukan dan majlis-majlis zikir pun turut diadakan.
Tariqat menurut pengertian bahasa bererti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf iaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahawa huruf Ta bererti Taubat, Ra bererti Redha dan Qaf bererti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tariqat ialah Taraiq atau Turuq yang bererti tenunan dari bulu yang berukuran 4 hingga 8 hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tariqat juga bererti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tariqat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian.
Ijazah seorang Syekh dalam silsilah tarekat
Dalam tasawuf, seperti dalam setiap disiplin Islam yang serius seperti fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau 'syekh' dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan begitu pada, dalam rantai master terus kembali kepada Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam) yang adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid - baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi - untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang (murshid ma'dhun) untuk generasi murid penerus.
Silsila tersebut transmisi dari garis lurus dari master adalah salah satu kriteria yang membedakan jalan sufi yang benar 'berhubungan' (tarekat muttasila), dari jalan 'diputus' tidak otentik atau, (tarekat munqati'a). Pemimpin jalan yang diputus bisa mengklaim sebagai syekh berdasarkan izin yang diberikan oleh Syeikh dalam keadaan diverifikasi pribadi atau lainnya, atau oleh seorang tokoh yang telah meningal dunia ini, seperti salah satu dari orang soleh atau Nabi sendiri (sallallahu `alaihi wa sallam), atau dalam mimpi, dan sebagainya. Praktek ini hanya "menghangatkan hati" (biha yusta'nasu) tetapi tidak memenuhi kondisi tasawuf yang seorang Syekh harus memiliki otorisasi ijazah yang jelas menghubungkan dia dengan Nabi (sallallahu `alaihi wa sallam), salah satu yang bisa diverifikasi oleh orang lain daripada dirinya sendiri. Banyak kebohongan diberitahu oleh orang-orang, dan tanpa otorisasi atau ijazah yang bisa diverifikasi oleh publik, tarekat akan dikompromikan oleh mereka.
Silsilah Tariqah
SETIAP hari sewaktu terbit dan sebelum terbenam matahari, bacalah "A'uzubillahi Minash-Syaitanir Rajim", lalu membaca "Bismillahir Rahmanir Rahim" dan "Surah Al-Fatihah" sekali dan "Surah Al-Ikhlas" sebanyak 3 kali beserta "Bismillahir Rahmanir Rahim", kemudian dihadiahkan pahala bacaan tersebut kepada sekalian Ruhaniyah Para Masyaikh Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah seperti berikut: "Ya Allah, telah ku hadiahkan seumpama pahala bacaan Fatihah dan Qul Huwa Allah kepada sekelian Arwah Muqaddasah Masyaikh Akabirin Silsilah 'Aliyah Naqshbandiyah Mujaddidiyah." Seterusnya membaca Syajarah Tayyibah ini pada kedua-dua waktu yang tersebut.
Kepada hamba yang faqir dan hina yang di bawah telapak kaki Para Masyaikh yang tiada apa-apa lagi miskin ……............................….………………… semoga di ampunkan, Rahmatilah kami dan kurniakanlah Kasih Sayang dan Makrifat serta Jam'iyat Zahir dan Batin serta ‘Afiyat di Dunia dan Akhirat dan Lautan Kesempurnaan dari Limpahan Faidhz dan keberkatan Para Masyaikh ini.
Ya Tuhan kami, matikanlah kami sebagai Muslim dan sertakanlah kami bersama Para Salihin.
AJARAN ASAS NAQSHBANDIYAH
TARIQAT Naqshbandiyah mempunyai prinsip asasnya yang tersendiri yang telah diasaskan oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan Maulana Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih. Ia telah meletakkan lapan prinsip asas ini sebagai dasar Tariqat Naqshbandiyah. Prinsip-prinsip ini dinyatakannya dalam sebutan bahasa Parsi dan mengandungi pengertian dan pangajaran yang amat tinggi nilainya. Adapun prinsip-prinsipnya adalah seperti berikut:
Hadhrat Syeikh Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih yang merupakan sahabat, khalifah dan penulis riwayat Hadhrat Maulana Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih telah menyatakan di dalam kitabnya bahawa ajaran Tariqat Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih berkenaan zikir dan ajaran lapan prinsip asas seperti yang dinyatakan di atas turut dianuti dan diamalkan oleh 40 jenis Tariqat. Tariqat lain menjadikan asas ini sebagai panduan kepada jalan kebenaran yang mulia iaitu jalan kesedaran dalam menuruti Sunnah Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan meninggalkan sebarang bentuk Bida’ah dan bermujahadah melawan hawa nafsu. Kerana itulah Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih mencapai ketinggian Ruhani dan menjadi seorang Mahaguru Tariqat dan penghulu pemimpin keruhanian pada zamannya.
Yad bererti ingat yakni Zikir. Perkataan Kard pula bagi menyatakan kata kerja bagi ingat yakni pekerjaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ianya merupakan zat bagi zikir. Berkata Para Masyaikh, Yad Kard bermaksud melakukan zikir mengingati Tuhan dengan menghadirkan hati. Murid yang telah melakukan Bai‘ah dan telah ditalqinkan dengan zikir hendaklah senantiasa sibuk mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan kalimah zikir yang telah ditalqinkan.
Zikir yang telah ditalqinkan oleh Syeikh adalah zikir yang akan membawa seseorang murid itu mencapai ketinggian darjat Ruhani. Syeikh akan mentalqinkan zikir kepada muridnya sama ada Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat secara Lisani ataupun Qalbi. Seseorang murid hendaklah melakukan zikir yang sebanyak-banyaknya dan sentiasa menyibukkan dirinya dengan berzikir. Pada setiap hari, masa dan keadaan, sama ada dalam keadaaan berdiri atau duduk atau berbaring ataupun berjalan, hendaklah sentiasa berzikir.
Pada lazimnya seseorang yang baru menjalani Tariqat Naqshbandiyah ini, Syeikh akan mentalqinkan kalimah Ismu Zat iaitu lafaz Allah sebagai zikir yang perlu dilakukan pada Latifah Qalb tanpa menggerakkan lidah. Murid hendaklah berzikir Allah Allah pada latifah tersebut sebanyak 24 ribu kali sehari semalam setiap hari sehingga terhasilnya cahaya Warid.
Ada sebahagian Syeikh yang menetapkan jumlah permulaan sebanyak lima ribu kali sehari semalam dan ada juga yang menetapkannya sehingga tujuh puluh ribu kali sehari semalam.
Seterusnya murid hendaklah mengkhabarkan segala pengalaman Ruhaniahnya kepada Syeikh apabila menerima Warid tersebut. Begitulah pada setiap Latifah, murid hendaklah berzikir sebanyak-banyaknya pada kesemua Latifah seperti yang diarahkan oleh Syeikh sehingga tercapainya Warid. Mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara sempurna adalah dengan berzikir menghadirkan hati ke Hadhrat ZatNya.
Setelah Zikir Ismu Zat dilakukan pada setiap Latifah dengan sempurna, Syeikh akan mentalqinkan pula Zikir Nafi Itsbat iaitu kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH yang perlu dilakukan sama ada secara Lisani iaitu menerusi lidah atau secara Qalbi iaitu berzikir menerusi lidah hati.
Zikir Nafi Itsbat perlu dilakukan menurut kaifiyatnya. Syeikh akan menentukan dalam bentuk apa sesuatu zikir itu perlu dilakukan. Yang penting bagi Salik adalah menyibukkan diri dengan zikir yang telah ditalqinkan oleh Syeikh sama ada ianya Zikir Ismu Zat ataupun Zikir Nafi Itsbat. Salik hendaklah memelihara zikir dengan hati dan lidah dengan menyebut Allah Allah iaitu nama bagi Zat Tuhan yang merangkumi kesemua Nama-NamaNya dan Sifat-SifatNya yang mulia serta dengan menyebut Zikir Nafi Itsbat menerusi kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH dengan sebanyak-banyaknya. Salik hendaklah melakukan Zikir Nafi Itsbat sehingga dia mencapai kejernihan hati dan tenggelam di dalam Muraqabah. Murid hendaklah melakukan Zikir Nafi Itsbat sebanyak 5 ribu ke 10 ribu kali setiap hari bagi menanggalkan segala kekaratan hati. Zikir tersebut akan membersihkan hati dan membawa seseorang itu kepada Musyahadah.
Zikir Nafi Itsbat menurut Akabirin Naqshbandiyah, seseorang murid yang baru itu hendaklah menutup kedua matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, menongkatkan lidahnya ke langit-langit dan menahan napasnya. Dia hendaklah mengucapkan zikir ini dengan hatinya bermula dari kalimah Nafi dan seterusnya kalimah Itsbat. Bagaimanapun, bagi murid yang telah lama hendaklah membukakan kedua matanya dan tidak perlu menahan napasnya.
Bermula dari kalimah Nafi iaitu LA yang bererti Tiada, dia hendaklah menarik kalimah LA ini dari bawah pusatnya ke atas hingga ke otak. Apabila kalimah LA mencapai otak, ucapkan pula kalimah ILAHA di dalam hati yang bererti Tuhan. Kemudian hendaklah digerakkan dari otak ke bahu kanan sambil menyebut ILLA yang bererti Melainkan, lalu menghentakkan kalimah Itsbat iaitu ALLAH ke arah Latifah Qalb. Sewaktu menghentakkan kalimah ALLAH ke arah Qalb, hendaklah merasakan bahawa kesan hentakan itu mengenai kesemua Lataif di dalam tubuh badan.
Zikir yang sebanyak-banyaknya akan membawa seseorang Salik itu mencapai kepada kehadiran Zat Allah dalam kewujudan secara Zihni yakni di dalam pikiran. Salik hendaklah berzikir dalam setiap napas yang keluar dan masuk. Yad Kard merupakan amalan dipikiran yang bertujuan pikiran hendaklah sentiasa menggesa diri supaya sentiasa ingat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan melakukan zikir bagi mengingati ZatNya. Pekerjaan berzikir mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah suatu amalan yang tiada batas dan had. Ianya boleh dikerjakan pada sebarang keadaan, masa dan tempat. Hendaklah sentiasa memperhatikan napas supaya setiap napas yang keluar dan masuk itu disertai ingatan terhadap Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Baz Gasht bererti kembali. Menurut Para Masyaikh, maksudnya ialah seseorang yang melakukan zikir dengan menggunakan lidah hati menyebut Allah Allah dan LA ILAHA ILLA ALLAH, begitulah juga setelah itu hendaklah mengucapkan di dalam hati dengan penuh khusyuk dan merendahkan diri akan ucapan ini:
“Ilahi Anta Maqsudi, Wa Ridhoka Matlubi, A’tini Mahabbataka Wa Ma’rifataka”
Yang bererti, “Wahai Tuhanku Engkaulah maksudku dan keredhaanMu tuntutanku, kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Ianya merupakan ucapan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ucapan ini akan meningkatkan tahap kesedaran kepada kewujudan dan Keesaan Zat Tuhan, sehingga dia mencapai suatu tahap dimana segala kewujudan makhluk terhapus pada pandangan matanya. Apa yang dilihatnya walau ke mana jua dia memandang, yang dilihatnya hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ucapan kata-kata ini juga memberikan kita pengertian bahawa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menjadi maksud dan matlamat kita dan tidak ada tujuan lain selain untuk mendapatkan keredhaanNya. Salik hendaklah mengucapkan kalimah ini bagi menghuraikan segala rahsia Keesaan Zat Tuhan dan supaya terbuka kepadanya keunikan hakikat Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sebagai murid, tidak boleh meninggalkan zikir kalimah ini meskipun tidak merasakan sebarang kesan pada hati. Dia hendaklah tetap meneruskan zikir kalimah tersebut sebagai menuruti anjuran Syeikhnya.
Makna Baz Gasht ialah kembali kepada Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Mulia dengan menunjukkan penyerahan yang sempurna, mentaati segala kehendakNya dan merendahkan diri dengan sempurna dalam memuji ZatNya. Adapun lafaz Baz Gasht dalam bahasa Parsi seperti yang diamalkan oleh Para Akabirin Naqshabandiyah Mujaddidiyah adalah seperti berikut:
“Khudawandah, Maqsudi Man Tui Wa Ridhai Tu, Tarak Kardam Dunya Wa Akhirat Baraey Tu, Mahabbat Wa Ma’rifati Khud Badih.”
Yang bererti, “Tuhanku, maksudku hanyalah Engkau dan keredaanMu, telahku lepaskan Dunia dan Akhirat kerana Engkau, kurniakanlah Cinta dan Makrifat ZatMu.”
Pada permulaan, jika Salik sendiri tidak memahami hakikat kebenaran ucapan kata-kata ini, hendaklah dia tetap juga menyebutnya kerana menyebut kata-kata itu dengan hati yang khusyuk dan merendahkan diri akan menambahkan lagi pemahamannya dan secara sedikit demi sedikit Salik itu akan merasai hakikat kebenaran perkataan tersebut dan Insya Allah akan merasai kesannya. Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyatakan dalam doanya, “Ma Zakarnaka Haqqa Zikrika Ya Mazkur.” Yang bererti, “Kami tidak mengingatiMu dengan hak mengingatiMu secara yang sepatutnya, Wahai Zat yang sepatutnya diingati.”
Seseorang Salik itu tidak akan dapat hadir ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi zikirnya dan tidak akan dapat mencapai Musyahadah terhadap rahsia-rahsia dan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerusi zikirnya jika dia tidak berzikir dengan sokongan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menerusi ingatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap dirinya.
Seorang Salik itu tidak akan dapat berzikir dengan kemampuan dirinya bahkan dia hendaklah sentiasa menyedari bahawa Allah Subhanahu Wa Ta’ala lah yang sedang berzikir menerusi dirinya. Hadhrat Maulana Syeikh Abu Yazid Bistami Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Apabila daku mencapai ZatNya, daku melihat bahawa ingatanNya terhadap diriku mendahului ingatanku terhadap diriNya.”
Nigah bererti menjaga, mengawasi, memelihara dan Dasyat pula bererti melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Maksudnya ialah seseorang Salik itu sewaktu melakukan zikir hendaklah sentiasa memelihara hati dari sebarang khatrah lintasan hati dan was-was Syaitan dengan bersungguh-sungguh. Jangan biarkan khayalan kedukaan memberi kesan kepada hati.
Setiap hari hendaklah melapangkan masa selama sejam ke dua jam ataupun lebih untuk memelihara hati dari segala ingatan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selain DiriNya, jangan ada sebarang khayalan pada pikiran dan hati. Lakukan latihan ini sehingga segala sesuatu selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, segala-galanya menjadi lenyap.
Nigah Dasyat juga bermakna seseorang Salik itu mesti memperhatikan hatinya dan menjaganya dengan menghindarkan sebarang ingatan yang buruk masuk ke dalam hati. Ingatan dan keinginan yang buruk akan menjauhkan hati dari kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesufian yang sebenar adalah daya untuk memelihara hati dari ingatan yang buruk dan memeliharanya dari sebarang keinginan yang rendah. Seseorang yang benar-benar mengenali hatinya akan dapat mengenali Tuhannya. Di dalam Tariqat Naqshbandiyah ini, seseorang Salik yang dapat memelihara hatinya dari sebarang ingatan yang buruk selama 15 minit adalah merupakan suatu pencapaian yang besar dan menjadikannya layak sebagai seorang ahli Sufi yang benar.
Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih menyatakan di dalam kitabnya Idhahut Tariqah bahawa, “Nigah Dasyat adalah merupakan syarat ketika berzikir, bahawa ketika berzikir hendaklah menghentikan segala khayalan serta was-was dan apabila sebarang khayalan yang selain Allah terlintas di dalam hati maka pada waktu itu juga hendaklah dia menjauhkannya supaya khayalan Ghairullah tidak menduduki hati.”
Hadhrat Maulana Syeikh Abul Hassan Kharqani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Telah berlalu 40 tahun dimana Allah sentiasa melihat hatiku dan telah melihat tiada sesiapa pun kecuali DiriNya dan tiada ruang bilik di dalam hatiku untuk selain dari Allah.”
Hadhrat Syeikh Abu Bakar Al-Qittani Rahmatullah ‘alaih pernah berkata, “Aku menjadi penjaga di pintu hatiku selama 40 tahun dan aku tidak pernah membukanya kepada sesiapa pun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehinggakan hatiku tidak mengenali sesiapapun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Seorang Syeikh Sufi pernah berkata, “Oleh kerana aku telah menjaga hatiku selama sepuluh malam, hatiku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”
Yad Dasyat bererti mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan bersungguh-sungguh dengan Zauq Wijdani sehingga mencapai Dawam Hudhur yakni kehadiran Zat Allah secara kekal berterusan dan berada dalam keadaan berjaga-jaga memperhatikan limpahan Faidhz dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesedaran ini diibaratkan sebagai Hudhur Bey Ghibat dan merupakan Nisbat Khassah Naqshbandiyah.
Yad Dasyat juga bermakna seseorang yang berzikir itu memelihara hatinya pada setiap penafian dan pengitsbatan di dalam setiap napas tanpa meninggalkan Kehadiran Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ianya menghendaki agar Salik memelihara hatinya di dalam Kehadiran Kesucian Zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara berterusan. Ini untuk membolehkannya agar dapat merasai kesedaran dan melihat Tajalli Cahaya Zat Yang Esa atau disebut sebagai Anwaruz-Zatil-Ahadiyah.
Menurut Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih, Yad Dasyat merupakan istilah Para Sufi bagi menerangkan keadaan maqam Syuhud atau Musyahadah yang juga dikenali sebagai ‘Ainul Yaqin atau Dawam Hudhur dan Dawam Agahi.
Di zaman para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in ianya disebut sebagai Ihsan. Ia merupakan suatu maksud di dalam Tariqah Naqshbandiyah Mujaddidiyah bagi menghasilkan Dawam Hudhur dan Dawam Agahi dengan Hadhrat Zat Ilahi Subhanahu Wa Ta’ala dan di samping itu berpegang dengan ‘Aqidah yang sahih menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan melazimkan diri beramal menuruti Sunnah Nabawiyah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Jika Salik tidak memiliki ketiga-tiga sifat ini iaitu tetap mengingati Zat Ilahi, beri’tiqad dengan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan menuruti Sunnah Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ataupun meninggalkan salah satu darinya maka dia adalah terkeluar dari jalan Tariqat Naqshbandiyah, Na’uzu Billahi Minha!
Hosh bererti sedar, Dar bererti dalam dan Dam bererti napas, yakni sedar dalam napas. Seseorang Salik itu hendaklah berada dalam kesedaran bahawa setiap napasnya yang keluar masuk mestilah beserta kesedaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Jangan sampai hati menjadi lalai dan leka dari kesedaran terhadap Kehadiran Zat Allah Ta’ala. Dalam setiap napas hendaklah menyedari kehadiran ZatNya.
Menurut Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih bahawa, “Seseorang Salik yang benar hendaklah menjaga dan memelihara napasnya dari kelalaian pada setiap kali masuk dan keluarnya napas serta menetapkan hatinya sentiasa berada dalam Kehadiran Kesucian ZatNya dan dia hendaklah memperbaharukan napasnya dengan ibadah dan khidmat serta membawa ibadah ini menuju kepada Tuhannya seluruh kehidupan, kerana setiap napas yang disedut dan dihembus beserta KehadiranNya adalah hidup dan berhubung dengan Kehadiran ZatNya Yang Suci. Setiap napas yang disedut dan dihembus dengan kelalaian adalah mati dan terputus hubungan dari Kehadiran ZatNya Yang Suci.”
Hadhrat Khwajah Maulana Syeikh ‘Ubaidullah Ahrar Rahmatullah ‘alaih berkata, “Maksud utama seseorang Salik di dalam Tariqah ini adalah untuk menjaga napasnya dan seseorang yang tidak dapat menjaga napasnya dengan baik maka dikatakan kepadanya bahawa dia telah kehilangan dirinya.”
Hadhrat Syeikh Abul Janab Najmuddin Al-Kubra Rahmatullah ‘alaih berkta dalam kitabnya Fawatihul Jamal bahawa, “Zikir adalah sentiasa berjalan di dalam tubuh setiap satu ciptaan Allah sebagai memenuhi keperluan napas mereka biarpun tanpa kehendak sebagai tanda ketaatan yang merupakan sebahagian dari penciptaan mereka. Menerusi pernapasan mereka, bunyi huruf ‘Ha’ dari nama Allah Yang Maha Suci berada dalam setiap napas yang keluar masuk dan ianya merupakan tanda kewujudan Zat Yang Maha Ghaib sebagai menyatakan Keunikan dan Keesaan Zat Tuhan. Maka itu amatlah perlu berada dalam kesedaran dan hadir dalam setiap napas sebagai langkah untuk mengenali Zat Yang Maha Pencipta.”
Nama Allah yang mewakili kesemua Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dan Af’alNya adalah terdiri dari empat huruf iaitu Alif, Lam, Lam dan Ha.
Para Sufi berkata bahawa Zat Ghaib Mutlak adalah Allah Yang Maha Suci lagi Maha Mulia KetinggianNya dan DiriNya dinyatakan menerusi huruf yang terakhir dari Kalimah Allah iaitu huruf Ha. Huruf tersebut apabila ditemukan dengan huruf Alif akan menghasilkan sebutan Ha yang memberikan makna “Dia Yang Ghaib” sebagai kata ganti diri. Bunyi sebutan Ha itu sebagai menampilkan dan menyatakan bukti kewujudan Zat DiriNya Yang Ghaib Mutlak (Ghaibul Huwiyyatil Mutlaqa Lillahi ‘Azza Wa Jalla). Huruf Lam yang pertama adalah bermaksud Ta‘arif atau pengenalan dan huruf Lam yang kedua pula adalah bermaksud Muballaghah yakni pengkhususan. Menjaga dan memelihara hati dari kelalaian akan membawa seseorang itu kepada kesempurnaan Kehadiran Zat, dan kesempurnaan Kehadiran Zat akan membawanya kepada kesempurnaan Musyahadah dan kesempurnaan Musyahadah akan membawanya kepada kesempurnaan Tajalli Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Seterusnya Allah akan membawanya kepada penzahiran kesemua Sembilan Puluh Sembilan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah dan Sifat-SifatNya yang lain kerana adalah dikatakan bahawa Sifat Allah itu adalah sebanyak napas-napas manusia.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih menegaskan bahawa hendaklah mengingati Allah pada setiap kali keluar masuk napas dan di antara keduanya yakni masa di antara udara disedut masuk dan dihembus keluar dan masa di antara udara dihembus keluar dan disedut masuk. Terdapat empat ruang untuk diisikan dengan Zikrullah. Amalan ini disebut Hosh Dar Dam yakni bezikir secara sedar dalam napas. Zikir dalam pernapasan juga dikenali sebagai Paas Anfas di kalangan Ahli Tariqat Chistiyah.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqat ini dibina berasaskan napas, maka adalah wajib bagi setiap orang untuk menjaga napasnya pada waktu menghirup napas dan menghembuskan napas dan seterusnya menjaga napasnya pada waktu di antara menghirup dan menghembuskan napas.”
Udara Masuk - Allah Allah Antara - Allah Allah Udara Keluar - Allah Allah Antara - Allah Allah
Perlu diketahui bahawa menjaga napas dari kelalaian adalah amat sukar bagi seseorang Salik, lantaran itu mereka hendaklah menjaganya dengan memohon Istighfar yakni keampunan kerana memohon Istighfar akan menyucikan hatinya dan mensucikan napasnya dan menyediakan dirinya untuk menyaksikan Tajalli penzahiran manifestasi Allah Subhanahu Wa Ta’ala di mana-mana jua.
Nazar bererti memandang, Bar bererti pada, dan Qadam pula bererti kaki. Seseorang Salik itu ketika berjalan hendaklah sentiasa memandang ke arah kakinya dan jangan melebihkan pandangannya ke tempat lain dan setiap kali ketika duduk hendaklah sentiasa memandang ke hadapan sambil merendahkan pandangan. Jangan menoleh ke kiri dan ke kanan kerana ianya akan menimbulkan fasad yang besar dalam dirinya dan akan menghalangnya dari mencapai maksud.
Nazar Bar Qadam bermakna ketika seseorang Salik itu sedang berjalan, dia hendaklah tetap memperhatikan langkah kakinya. Di mana jua dia hendak meletakkan kakinya, matanya juga perlu memandang ke arah tersebut. Tidak dibolehkan baginya melemparkan pandangannya ke sana sini, memandang kiri dan kanan ataupun di hadapannya kerana pandangan yang tidak baik akan menghijabkan hatinya.
Kebanyakan hijab-hijab di hati itu terjadi kerana bayangan gambaran yang dipindahkan dari pandangan penglihatan mata ke otak sewaktu menjalani kehidupan seharian. Ini akan mengganggu hati dan menimbulkan keinginan memenuhi berbagai kehendak hawa nafsu seperti yang telah tergambar di ruangan otak. Gambaran-gambaran ini merupakan hijab-hijab bagi hati dan ianya menyekat Cahaya Kehadiran Zat Allah Yang Maha Suci.
Kerana itulah Para Masyaikh melarang murid mereka yang telah menyucikan hati mereka menerusi zikir yang berterusan dari memandang ke tempat yang selain dari kaki mereka. Hati mereka ibarat cermin yang menerima dan memantulkan setiap gambaran dengan mudah. Ini akan mengganggu mereka dan akan menyebabkan kekotoran hati.
Maka itu, Salik diarahkan agar merendahkan pandangan supaya mereka tidak terkena panahan dari panahan Syaitan. Merendahkan pandangan juga menjadi tanda kerendahan diri. Orang yang bongkak dan sombong tidak memandang ke arah kaki mereka ketika berjalan. Ia juga merupakan tanda bagi seseorang yang menuruti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika berjalan tidak menoleh ke kiri dan ke kanan tetapi Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya melihat ke arah kakinya, bergerak dengan pantas menuju ke arah destinasinya. Pengertian batin yang dituntut dari prinsip ini ialah supaya Salik bergerak dengan laju dan pantas dalam melakukan perjalanan suluk, yang mana apa jua maqam yang terpandang olehnya maka dengan secepat yang mungkin kakinya juga segera sampai pada kedudukan maqam tersebut. Ia juga menjadi tanda ketinggian darjat seseorang yang mana dia tidak memandang kepada sesuatu pun kecuali Tuhannya. Sepertimana seseorang yang hendak lekas menuju kepada tujuannya, begitulah seorang Salik yang menuju Kehadhrat Tuhan hendaklah lekas-lekas bergerak, dengan cepat dan pantas, tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak memandang kepada hawa nafsu duniawi sebaliknya hanya memandang ke arah mencapai Kehadiran Zat Tuhan Yang Suci.
Hadhrat Maulana Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani Syeikh Ahmad Faruqi Sirhindi Rahmatullah ‘alaih telah berkata dalam suratnya yang ke-259 di dalam Maktubat, “Pandangan mendahului langkah dan langkah menuruti pandangan. Mi’raj ke maqam yang tinggi didahului dengan pandangan Basirah kemudian diikuti dengan langkah. Apabila langkah telah mencapai Mi’raj tempat yang dipandang, maka kemudian pandangan akan diangkat ke suatu maqam yang lain yang mana langkah perlu menurutinya. Kemudian pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi dan langkah akan menurutinya. Begitulah seterusnya sehingga pandangan mencapai maqam kesempurnaan yang mana langkahnya akan diberhentikan. Kami katakan bahawa, apabila langkah menuruti pandangan, murid telah mencapai maqam kesediaan untuk menuruti jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jejak langkah Hadhrat Baginda Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah merupakan sumber asal bagi segala langkah.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Jika kita memandang kesalahan sahabat-sahabat, kita akan ditinggalkan tanpa sahabat kerana tiada seorang juapun yang sempurna.”
Safar bererti menjelajah, berjalan atau bersiar, Dar bererti dalam dan Watan bererti kampung. Safar Dar Watan bermakna bersiar-siar dalam kampung dirinya yakni kembali berjalan menuju Tuhan. Seseorang Salik itu hendaklah menjelajah dari dunia ciptaan kepada dunia Yang Maha Pencipta.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda yang mafhumnya, “Daku sedang menuju Tuhanku dari suatu hal keadaan ke suatu hal keadaan yang lebih baik dan dari suatu maqam ke suatu maqam yang lebih baik.”
Salik hendaklah berpindah dari kehendak hawa nafsu yang dilarang kepada kehendak untuk berada dalam Kehadiran ZatNya. Dia hendaklah berusaha meninggalkan segala sifat-sifat Basyariyah (Kemanusiawian) yang tidak baik dan meningkatkan dirinya dengan sifat-sifat Malakutiyah (Kemalaikatan) yang terdiri dari sepuluh maqam iaitu:
[1] Taubat [2] Inabat [3] Sabar [4] Syukur [5] Qana’ah [6] Wara’ [7] Taqwa [8] Taslim [9] Tawakkal [10] Redha.
Para Masyaikh membahagikan perjalanan ini kepada dua kategori iaitu Sair Afaqi yakni Perjalanan Luaran dan Sair Anfusi yakni Perjalanan Dalaman. Perjalanan Luaran adalah perjalanan dari suatu tempat ke suatu tempat mencari seorang pembimbing Ruhani yang sempurna bagi dirinya dan akan menunjukkan jalan ke tempat yang dimaksudkannya. Ini akan membolehkannya untuk memulakan Perjalanan Dalaman.
Seseorang Salik apabila dia sudah menemui seorang pembimbing Ruhani yang sempurna bagi dirinya adalah dilarang dari melakukan Perjalanan Luaran. Pada Perjalanan Luaran ini terdapat berbagai kesukaran yang mana seseorang yang baru menuruti jalan ini tidak dapat tidak, pasti akan terjerumus ke dalam tindakan yang dilarang, kerana mereka adalah lemah dalam menunaikan ibadah mereka.
Perjalanan yang bersifat dalaman pula mengkehendakkan agar seseorang Salik itu meninggalkan segala tabiat yang buruk dan membawa adab tertib yang baik ke dalam dirinya serta mengeluarkan dari hatinya segala keinginan Duniawi. Dia akan diangkat dari suatu maqam yang kotor zulmat ke suatu maqam kesucian. Pada waktu itu dia tidak perlu lagi melakukan Perjalanan Luaran. Hatinya telah dibersihkan dan menjadikannya tulin seperti air, jernih seperti kaca, bersih bagaikan cermin lalu menunjukkannya hakikat setiap segala suatu urusan yang penting dalam kehidupan sehariannya tanpa memerlukan sebarang tindakan yang bersifat luaran bagi pihak dirinya. Di dalam hatinya akan muncul segala apa yang diperlukan olehnya dalam kehidupan ini dan kehidupan mereka yang berada di sampingnya.
Hadhrat Maulana Shah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Ketahuilah bahawa apabila hati tertakluk dengan sesuatu selain Allah dan khayalan yang buruk menjadi semakin kuat maka limpahan Faidhz Ilahi menjadi sukar untuk dicapai oleh Batin. Jesteru itu dengan kalimah LA ILAHA hendaklah menafikan segala akhlak yang buruk itu sebagai contohnya bagi penyakit hasad, sewaktu mengucapkan LA ILAHA hendaklah menafikan hasad itu dan sewaktu mengucapkan ILLA ALLAH hendaklah mengikrarkan cinta dan kasih sayang di dalam hati. Begitulah ketika melakukan zikir Nafi Itsbat dengan sebanyak-banyaknya lalu menghadap kepada Allah dengan rasa hina dan rendah diri bagi menghapuskan segala keburukan diri sehinggalah keburukan dirinya itu benar-benar terhapus. Begitulah juga terhadap segala rintangan Batin, ianya perlu disingkirkan supaya terhasilnya Tasfiyah dan Tazkiyah. Latihan ini merupakan salah satu dari maksud Safar Dar Watan.”
Khalwat bererti bersendirian dan Anjuman bererti khalayak ramai, maka pengertiannya ialah bersendirian dalam keramaian. Maksudnya pada zahir, Salik bergaul dengan manusia dan pada batinnya dia kekal bersama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Terdapat dua jenis khalwat iaitu Khalwat Luaran atau disebut sebagai Khalwat Saghir yakni khalwat kecil dan Khalwat Dalaman atau disebut sebagai Khalwat Kabir yang bermaksud khalwat besar atau disebut sebagai Jalwat. Khalwat Luaran menghendaki Salik agar mengasingkan dirinya di tempat yang sunyi dan jauh dari kesibukan manusia. Secara bersendirian Salik menumpukan kepada Zikirullah dan Muraqabah untuk mencapai penyaksian Kebesaran dan Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila sudah mencapai fana menerusi zikir pikir dan semua deria luaran difanakan, pada waktu itu deria dalaman bebas meneroka ke Alam Kebesaran dan Keagungan Kerajaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini seterusnya akan membawa kepada Khalwat Dalaman.
Khalwat Dalaman bermaksud berkhalwat dalam kesibukan manusia. Hati Salik hendaklah sentiasa hadir ke Hadhrat Tuhan dan hilang dari makhluk sedang jasmaninya sedang hadir bersama mereka. Dikatakan bahawa seseorang Salik yang Haq sentiasa sibuk dengan zikir khafi di dalam hatinya sehinggakan jika dia masuk ke dalam majlis keramaian manusia, dia tidak mendengar suara mereka. Kerana itu ianya dinamakan Khalwat Kabir dan Jalwat yakni berzikir dalam kesibukan manusia. Keadaan berzikir itu mengatasi dirinya dan penzahiran Hadhrat Suci Tuhan sedang menariknya membuatkannya tidak menghiraukan segala sesuatu yang lain kecuali Tuhannya. Ini merupakan tingkat khalwat yang tertinggi dan dianggap sebagai khalwat yang sebenar seperti yang dinyatakan dalam ayat Al-Quran Surah An-Nur ayat 37:
Para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang hati dan penglihatan menjadi goncang.
"Rijalun La Tulhihim Tijaratun Wala Bay’un ‘An Zikrillah," bermaksud para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah. Inilah merupakan jalan Tariqat Naqshbandiyah. Hadhrat Khwajah Shah Bahauddin Naqshband Qaddasallahu Sirrahu telah ditanyakan orang bahawa apakah yang menjadi asas bagi Tariqatnya?
Beliau menjawab, “Berdasarkan Khalwat Dar Anjuman, yakni zahir berada bersama Khalaq dan batin hidup bersama Haq serta menempuh kehidupan dengan menganggap bahawa Khalaq mempunyai hubungan dengan Tuhan. Sebagai Salik dia tidak boleh berhenti dari menuju kepada maksudnya yang hakiki.”
Sepertimana mafhum sabdaan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Padaku terdapat dua sisi. Satu sisiku menghadap ke arah Penciptaku dan satu sisi lagi menghadap ke arah makhluk ciptaan.”
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih berkata, “Tariqatuna As-Suhbah Wal Khayru Fil Jam’iyyat.” Yang bererti, “Jalan Tariqah kami adalah dengan cara bersahabat dan kebaikan itu dalam jemaah Jam’iyat.”
Khalwat yang utama di sisi Para Masyaikh Naqshbandiyah adalah Khalwat Dalaman kerana mereka sentiasa berada bersama Tuhan mereka dan pada masa yang sama mereka berada bersama dengan manusia. Adalah dikatakan bahawa seseorang beriman yang dapat bercampur gaul dengan manusia dan menanggung berbagai masaalah dalam kehidupan adalah lebih baik dari orang beriman yang menghindarkan dirinya dari manusia.
Hadhrat Imam Rabbani Rahmatullah ‘alaih telah berkata, “Perlulah diketahui bahawa Salik pada permulaan jalannya mungkin menggunakan khalwat luaran untuk mengasingkan dirinya dari manusia, beribadat dan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga dia mencapai tingkat darjat yang lebih tinggi. Pada waktu itu dia akan dinasihatkan oleh Syeikhnya seperti kata-kata Sayyid Al-Kharraz Rahmatullah ‘alaih iaitu kesempurnaan bukanlah dalam mempamerkan karamah yang hebat-hebat tetapi kesempurnaan yang sebenar ialah untuk duduk bersama manusia, berjual beli, bernikah kahwin dan mendapatkan zuriat dan dalam pada itu sekali-kali tidak meninggalkan Kehadiran Allah walaupun seketika.”
Hadhrat Shah ‘Abdullah Ghulam ‘Ali Dehlawi Rahmatullah ‘alaih berkata, “Daripada masamu, jangan ada sebarang waktu pun yang engkau tidak berzikir dan bertawajjuh serta mengharapkan Kehadiran Allah Ta’ala dan bertemulah dengan manusia dan berzikirlah walaupun berada di dalam keramaian dan sentiasa berjaga-jaga memperhatikan limpahan Allah.”
Berkata Penyair, "Limpahan Faidhz Al-Haq datang tiba-tiba tetapi hatiku memperhatikan waridnya, Biarpun di waktu sekali kerdipan mata namun diriku sekali-kali tidak leka, Boleh jadi Dia sedang memperhatikanmu dan dikau tidak memperhatikannya."
Hal keadaan ini dinamakan Khalwat Dar Anjuman iaitu Kainun Haqiqat Wa Bainun Surat yakni hakikat dirinya berzama Zat Tuhan dan tubuh badan bersama makhluk ciptaan Tuhan. Masyaikh menggelarkannya sebagai Sufi Kain Bain. Kelapan-lapan asas Tariqat ini diperkenalkan oleh Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih dan menjadi ikutan 40 Tariqat yang lain dan sehingga ke hari ini menjadi asas yang teguh untuk seseorang hamba Allah kembali menuju kepada Tuhannya.
Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaihi telah menerima kelapan-lapan asas Tariqat ini dari Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani dan beliau telah menambahkan tiga asas Tariqat iaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani menjadikannya sebelas asas.
Hosh Dar Dam Khalwat Dar Anjuman; Yad Kard Yad Dasyat. Nazar Bar Qadam Safar Dar Watan; Baz Gasht Nigah Dasyat.
Sentiasalah sedar dalam napas ketika berkhalwat bersama khalayak; Kerjakanlah Zikir dan ingatlah ZatNya dengan bersungguh-sungguh. Perhatikan setiap langkah ketika bersafar di dalam kampung; Sekembalinya dari merayau, perhatikanlah limpahan Ilahi bersungguh-sungguh.
Wuquf Qalbi Wuquf ‘Adadi, Wuquf Zamani Bi Dawam Agahi.
Ingatlah Allah tetap pada hati, bilangan dan masa dengan sentiasa sedar berjaga-jaga.
TAMBAHAN SHAH NAQSHBAND
HADHRAT Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih merupakan Imam bagi Tariqat Naqshbandiyah dan seorang Mahaguru Tariqat yang terkemuka. Ia telah mengukuhkan lagi jalan ini dengan tiga prinsip penting dalam Zikir Khafi sebagai tambahan kepada lapan prinsip asas yang telah dikemukakan oleh Hadhrat Khwajah Khwajahgan Syeikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih iaitu:
Mengarahkan penumpuan terhadap hati dan hati pula mengarahkan penumpuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada setiap masa dan keadaan. Sama ada dalam keadaan berdiri, berbaring, berjalan mahupun duduk. Hendaklah bertawajjuh kepada hati dan hati pula tetap bertawajjuh ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wuquf Qalbi merupakan syarat bagi zikir.
Kedudukan Qalbi ini adalah pada kedudukan dua jari di bawah tetek kiri dan kedudukan ini hendaklah sentiasa diberikan penumpuan dan Tawajjuh. Bayangan limpahan Nur dari Allah hendaklah sentiasa kelihatan melimpah pada Qalbi dalam pandangan batin.
Ini merupakan suatu kaedah Zikir Khafi yakni suatu bentuk zikir yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh Para Malaikat. Ia merupakan suatu kaedah zikir yang rahsia.
Sentiasa memperhatikan bilangan ganjil ketika melakukan zikir Nafi Itsbat. Zikir Nafi Itsbat ialah lafaz LA ILAHA ILLA ALLAH dan dilakukan di dalam hati menurut kaifiyatnya. Dalam melakukan zikir Nafi Itsbat ini, Salik hendaklah sentiasa mengawasi bilangan zikir Nafi Itsbatnya itu dengan memastikannya dalam jumlah bilangan yang ganjil iaitu 7 atau 9 atau 19 atau 21 atau 23 atau sebarang bilangan yang ganjil.
Menurut Para Masyaikh, bilangan ganjil mempunyai rahsia yang tertentu kerana Allah adalah Ganjil dan menyukai bilangan yang ganjil dan ianya akan menghasilkan ilmu tentang Rahsia Allah Ta’ala. Menurut Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih, “Memelihara bilangan di dalam zikir adalah langkah pertama dalam menghasilkan Ilmu Laduni.”
Memelihara bilangan bukanlah untuk jumlahnya semata-mata bahkan ianya untuk memelihara hati dari ingatan selain Allah dan sebagai asbab untuk memberikan lebih penumpuan dalam usahanya untuk menyempurnakan zikir yang telah diberikan oleh Guru Murshidnya.
Setiap kali selepas menunaikan Solat, hendaklah bertawajjuh kepada hati dan sentiasa memastikan hati dalam keadaan bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lakukan selama beberapa minit sebelum bangkit dari tempat Solat. Kemudian setelah selang beberapa jam hendaklah menyemak semula keadaan hati bagi memastikannya sentiasa dalam keadaan mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila seseorang Murid itu telah naik ke peringkat menengah dalam bidang Keruhanian maka dia hendaklah selalu memeriksa keadaan hatinya sekali pada tiap-tiap satu jam untuk mengetahui sama ada dia ingat ataupun lalai kepada Allah dalam masa-masa tersebut. Jika dia lalai maka hendaklah dia beristighfar dan berazam untuk menghapuskan kelalaian itu pada masa akan datang sehinggalah dia mencapai peringkat Dawam Hudhur atau Dawam Agahi iaitu peringkat hati yang sentiasa hadir dan sedar ke Hadhrat ZatNya.
Ketiga-tiga prinsip ini adalah tambahan dari Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih dalam membimbing sekelian para murid dan pengikutnya dan terus menjadi amalan yang tetap dalam Tariqat Naqshbandiyah.
Beberapa Tokoh dalam Thoriqoh Naqsyabandiyah
Beberapa tokoh Thoriqoh Naqsyabandiyah Indonesia
Sedangkan Beliau yang banyak dikenal di seluruh Nusantara: Hadrat Syech Ahmad Shohibulwafa Tajjul Ariefin (Abah Anom) Ibni Sayyidii Syech Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) Nulinggih di Patapan Kajembaran Rahmaniyah Suryalaya Pagerageung Tasikmalaya Jawa Barat Indonesia adalah Mursyid Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Terkenal besarnya Naqsyabandi, sehingga banyak Thoriqoh lain menambahkan wa Naqsyabandiyah pada nama Thoriqohnya, seperti Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, dll....
Naqsyabandi dikenal besar dunia karena terkenalnya kejayaan Hadrat Syaikh Khalid Al Bagdadi, yang selain menjadi Mursyid juga sekaligus penguasa terbesar pada jamannya. Juga Al Fatih, Sultan Muhammad II yang juga berguru kepada Guru Mursyid Thoriqoh Naqsyabandi. Namanya telah tercatat dalam hadist sebagai sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan.
Pendiri Tarekat Naqshabandiyah nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA.

Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ''Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.''

Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.

Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari 'khwaja' atau 'khoja' dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.

Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.

Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"

Meniti jalan spiritual

Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.

Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.

Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.

Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!"

Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.

Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.

Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.

Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.

Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, "Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!"

Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.

Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai "Naqshaband" (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.

Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropa dan Amerika.

Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang--sesuai namanya--merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.

Sumber : Republika


0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates